"Jika kita berupaya sekuat tenaga untuk menemukan sesuatu, dan pada titik akhir upaya itu hasilnya malah nihil, maka sebenarnya kita telah menemukan yang kita cari dalam diri kita sendiri, yakni kenyataan, kenyataan yang harus dihadapi sepahit apapun keadaannya."
- Andrea Hirata
⚓
Bibirku bergetar, dan jiwaku pun juga terasa sudah tak berada ditempatnya.
"M...mutasi?" Tenggorokanku tercekat.
"Betul, mbak. Sudah dipindahtugaskan." Ia berkata dengan amat yakin.
Aku menghela napas, sebelum berkata, "Kemana? Dipindahkan...kemana?" Kini mataku terasa panas dan perlahan menjadi buram akibat tumpukan air mata yang seakan saling mendesak untuk keluar.
Tentara itu mengamatiku selama beberapa saat, yang agaknya bingung melihat keadaanku yang pucat secara tiba-tiba seperti sekarang. "Soal itu, saya kurang tau, Mbak. Dalam satu waktu, biasanya banyak yang dimutasikan. Siapa saja orangnya dan kemana dipindahkannya, itu berbeda-beda. Saya tidak hapal." Ujarnya dengan wajah yang merasa bersalah.
"Akan kembali? Apa mereka yang di mutasi...akan kembali kesini lagi?" Aku menyentuh tangan tentara itu spontan.
"Tidak bisa dipastikan. Tapi kebanyakan, jarang ada yang kembali lagi."
Di detik Ia mengatakannya, di detik itu juga, aku seperti dibuat lupa bagaimana caranya bernapas.
Aku menatapnya tak percaya, tapi sayangnya, aku memang harus percaya, "Oh...terimakasih," Air mata yang sedari tadi sudah berusaha untuk kutahan, akhirnya tumpah dan terjun juga. Aku menutup mulut untuk meredam segala suara kesedihanku ini. Aku seperti hilang kesadaran lagi. Aku benar-benar hilang kesempatan entah yang keberapa kalinya, dan kini, tak akan pernah bisa ku kembalikan lagi untuk selama-lamanya.
"Mbak...kenapa? Saya antar pulang, ya?" Aku menggeleng kuat. Aku menolak bantuannya. Tetap mempertahankan posisiku hingga akhirnya aku merasa lututku kini terasa lemas. Aku terduduk dengan tidak memperdulikan apapun.
"Mbak, ini gerimis. Segera pulang, mbak." Ia seperti kekeh ingin membantuku, tapi aku terus saja menolak dengan menganggukkan kepala dan mencoba tersenyum ke arahnya, "Terimakasih, saya nggak papa." Ujarku sambil mengangkat kelima jariku ke arahnya lalu mengangguk dengan deraian air mata yang mengucur melewati kedua pipiku.
Ia terlihat tak tega meninggalkanku dengan keadaan seburuk ini. Tapi Ia juga terlihat seperti dikejar waktu. Dengan tatapan bingung, Ia memegang pundakku, "Kalau gitu, saya permisi ya, mbak." Pamitnya seraya menaruh hp-ku tepat di sampingku dengan amat perlahan, karena tak ingin menambah retakan yang kuduga sudah berada di banyak sisi. Kemudian aku hanya mengangguk lagi tapi tanpa menatap kearahnya.
Beberapa orang yang berjalan kaki, kini sudah mengubah temponya menjadi berlari kecil dengan melewatiku, sambil menggunakan apa saja untuk dapat melindungi kepalanya dari hantaman hujan yang langsung menyapanya. Tapi anehnya, aku sangat suka dan bersyukur jika hujan turun di saat-saat seperti ini. Tuhan mendatangkannya disaat yang begitu tepat, sehingga deraian air hujan yang turun membasahi kulit pipiku, bisa menyatu dengan air mataku yang juga sudah sama derasnya.
Aku menyedekap hp-ku dengan kedua tangan. Tak berjalan, tapi juga tak berlari. Mensyukuri, tapi juga tak menikmati. Aku membiarkan air hujan ini lolos begitu saja, menyapu kepala hingga ujung kakiku yang terbalut sepatu biru gelap secara bertubi-tubi.
Mengapa...aku selalu se-menyedihkan ini?
Aku sadar, bahwa aku telah melakukan kesalahan besar. Amat besar, kepadaku, dan kepada Adam juga. Aku menyakiti hatiku sendiri, dan aku juga sudah melukai hatinya di waktu yang bersamaan.
Aku terlalu malu untuk mengakui bahwa aku menyukainya, aku terlalu gengsi untuk menanyakan bagaimana keadaannya saat itu, padahal aku sangat amat mengkhawatirkannya. Dan mataku, juga sudah tertutup oleh rasa benciku, sehingga aku tak menyadari bahwa sebenarnya, aku mencintainya.
Dari detik pertama aku bertemu dengannya, aku melihatnya, dan aku menatapnya, aku sudah membencinya.
Tapi ternyata, setelah selama ini, aku baru merasa tersadarkan. Bahwa disaat rasa benci itu datang, disaat itu pula rasa cinta pun hadir.
Seragam lorengnya itulah, yang selalu membutakan kedua mataku. Sepatu hitam beratnya itulah yang selalu membangkitkan rasa marah dan kebencian dalam diriku.
Tapi sekali lagi, aku sadar. Aku hanya membenci seragamnya, bukan yang memakainya.
Tetapi bagaimana ketika bagian hitam dan putih itu datang dan hadir dalam hidupku secara bersamaan dan tak dapat dipisahkan? Tolong beritahu, apa yang harus aku lakukan?
Aku sudah hidup di dalam warna abu-abu selama ini. Aku selalu berusaha dan mencoba untuk menghadirkan warna lain dalam hidupku, tapi aku tak bisa. Aku merasa bahwa hatiku benar-benar menolak warna lain.
Sedangkan hitam dan putih yang kucintai ini, benar-benar tak dapat kupilih salah satunya. Jika aku memilih hidup bersama warna putihnya, maka aku juga harus siap untuk menerima warna hitam dalam hidupnya. Tentu aku pun harus belajar untuk mulai mencintai kedua sisi yang Ia miliki.
Atau, warna hitam yang kusebutkan tadi, hanya ada di dalam pikiranku? Bahwa sebenarnya, itu bukanlah berwarna hitam, melainkan berwarna putih juga.
Aku begitu larut dalam kalutnya berbagai bayangan dan penyesalan yang kualami sekarang ini, hingga aku tak menyadari, bahwa telah berdiri seseorang dari balik punggungku, sambil mengarahkan sebuah payung lebar tepat di atas kepalaku.
Aku mengamatinya sejenak, masih dengan kepalaku yang terangkat keatas, rupanya payung ini begitu indah berwarna seperti pelangi.
Pelangi?
Aku menggeser pandanganku sedikit ke kanan, ke bawah. Lalu kutemukan seseorang dengan sepasang sepatu hitam yang membungkus kedua kakinya.
Aku begitu terkejut, sehingga aku buru-buru menoleh.
Dan ketika aku sudah memandang seseorang itu, aku mengernyitkan dahi, karena telah mendapati dirinya sebagai pahlawan untukku hari ini.
Entah bagaimana caranya, Ia disini.
***
Updated, Supaya kalian #dirumahaja
Stay safe all♡
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Alasan [HIATUS]
Romance"Apakah sebuah kesalahan jika saya memiliki profesi dengan seragam seperti ini? Saya mencintai negara saya, dan saya berusaha untuk menjaga negara ini seperti apa yang saya lakukan sekarang, bersama seragam ini. Lalu tidak bisa kah saya melakukan ha...