Bagian 15

4.4K 273 7
                                    

"Kesadaran adalah matahari. Kesabaran adalah bumi. Keberanian menjadi cakrawala, dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata"

- W.S. Rendra

                               ⚓

Bahu yang bergetar. Napas yang menderu, serta wajah yang memerah. Itulah keadaanku yang mungkin dapat kudefiniskan dari pantulan di dalam kedua bola mataku. Aku masih tetap menutup wajahku dengan kedua tangan. Karena alangkah lebih indahnya jika aku tak menunjukkan wajah menyedihkan ini di hadapan orang-orang yang menyayangiku.

Tapi aku selalu merasa hangat, aku selalu merasa terjaga dan aku selalu merasa disayangi. Pelukan yang kencang, dan rangkulan yang tak kunjung kendur. Itulah mereka. Yang bersedia melingkupiku, hingga tetesan terakhir air mataku.

Sebenarnya separuh air mataku yang tumpah, bukan kutangisi untuk dirinya. Tapi untuk diriku sendiri. Aku menangisi diriku sendiri. Aku bahkan baru sadar, mengapa aku menangis untuk dirinya yang bahkan tak pantas untuk kutangisi? Mengapa aku juga bisa-bisanya berharap begitu lebih terhadap dirinya yang kuyakini tak mungkin akan memprioritaskanku? ini bahkan belum ada apa-apanya, tapi mengapa aku menumpahkan air mata luar biasa banyaknya? Dan mengapa hatiku terasa begitu terluka? Ini bahkan belum dimulai.

Lagipula, ia bukan siapa-siapamu, Arin. Lalu apa yang kamu harapkan?
Aku menertawakan diriku sendiri.

Tapi sekarang, tangisku sudah surut. Bahuku sudah tak berguncang, dan perasaanku juga sudah jauh lebih baik. Sekarang, aku sudah bisa tersenyum. Tersenyum tulus, seperti seorang Arin yang biasanya. Walau dengan mata sembab yang menyertainya.

Kali ini aku benar-benar dapat merasakan kedua kakiku yang tengah berjalan bersama sahabatku ditengah angin semilir dan matahari sore yang menerpa wajah kami. Kali ini aku sudah benar-benar merasakan kedua tanganku, yang kini tengah bergandengan bersama, lalu tertawa-tawa hingga perutku terasa geli dengan tiga orang terbaik yang membantuku menciptakan bulan sabit di bibirku.

Aku sudah hidup kembali rupanya.

                               ⚓

Sejak kapan tangga rumahku terasa sangat pendek? Aku bahkan hanya merasa menaiki tiga buah undakan tangga tapi mengapa kini aku sudah sampai di atas terlebih sudah mencapai pintu kamarku?

Sepertinya aku sudah terlalu bahagia. Aku sudah terlalu waras dan sudah terlalu baik-baik saja, hingga tak merasakan berat dan pegalnya kakiku ketika membawa tubuhku.

Aku melepas tas di kedua pundakku yang kemudian ku taruh dengan perasaan suka cita serta penuh kelembutan yang luar biasa. Kemudian melepas cardigan-ku, lalu mengganti baju rumahan bermodel daster sepanjang betis yang berwarna hijau muda bercorak ungu muda.

Setelah itu, aku berjalan ke arah wastafel di kamar mandiku, menyalakan keran, lalu mulai mengusap wajahku yang sudah begitu kusut dan tidak karuan. Aku mencuci wajah dengan sabun wajah berekstrak buah delima kesukaanku, kemudian menggosok dan memijatnya agak lama terutama di bagian bawah mata. Aku tak ingin mama melihat mataku yang begitu bengkak sehingga mengakibatkan dirinya khawatir sepulang dari arisan di rumah salah seorang temannya. Setelah selesai, aku membilas wajah sambil, tersenyum, kemudian keluar.

Aku mengelap wajah dengan handuk kecil berwarna kremku sambil melirik jam dinding sekilas lalu menuruni tangga menuju ke teras rumahku untuk menyiram bunga-bungaan di taman kecil kesukaan Mas Rayhan yang terlihat begitu asri.

Tepat sekitar satu minggu yang lalu, sebelum Ia kembali berlayar tentu saja, Masku Rayhan baru saja pulang berlayar dari pulau Bangka dengan  membawa sepucuk tanaman di dalam polybag yang katanya, bunga itu bernama herbras, jika aku tak salah ingat. Ia bilang, jika nanti bunganya ini berbunga, Ia akan memekarkan bunga indah berwarna merah muda. Jika aku mau melihatnya, maka aku harus merawatnya dengan baik.

Nah, bunga herbras inilah yang belakangan ini membuatku sedikit lebih bersemangat untuk menyiramnya beserta tanaman lain, termasuk rumput gajah yang selalu dirawat ekstra oleh pak Yanto, tukang kebun dirumahku yang kadang terlihat mengerutkan keningnya jika melihatku melakukan pekerjaannya di sore hari.

"Pak Yanto pangkas bonsainya mama aja, biar aku yang nyiramin ini"

"Oh... nggih mbak" tukas pak Yanto dengan logat jawanya.

Aku mengulur selang, memutar keran, lalu mulai menyemprotkannya perlahan. Di mulai dari bunga herbras mas Rayhan yang Ia percayakan sepenuhnya kepadaku.

"Sedikit-dikit aja mbak, yang penting rutin. Kalo kebanyakan juga nggak bagus." Celetuk pak Yanto yang tiba-tiba sudah berdiri tepat disampingku.

"Kenapa gitu, Pak?"

"Yaa...sesuatu yang berlebihan kan juga nggak baik, mbak. Mendingan sedikit-dikit, terus nyiramnya pake hati, nanti hasilnya pasti bakal bagus!" tukas pak Yanto sambil memegang gunting taman, yang sontak saja membuatku tertawa sambil tersipu.

"Aduh...jadi curhat ya, Pak" kataku masih sambil tertawa lalu meneruskan pekerjaanku.

Sedetik kemudian, aku mengalihkan pandangan tak sengaja ke luar pagar rumahku, lalu terlihatlah dua orang pemuda berseragam 'itu' lagi dengan mengendarai motor abu-abu dengan sangat lamban dan nampak 'celingak-celinguk' seperti mencari alamat seseorang. Tumben. Tak biasanya mereka menunjukkan diri di komplek-komplek seperti ini. Bahkan selama lima belas tahun aku telah tinggal di komplek ini, mungkin inilah pertama kalinya aku melihat mereka yang berseragam loreng-loreng itu melintas.

Aku pun langsung mengerutkan kening serta berusaha untuk mengetahui siapa mereka dengan gerakan sembunyi-sembunyi.

Ya ampun! Tidak terlihat dengan jelas. Tapi firasatku mengatakan, bahwa tidak ada Adam diantara mereka berdua.

Aku bertanya-tanya kepada diriku sendiri.

Siapa mereka?

                              

Satu Alasan [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang