Bagian 21

4.6K 288 11
                                    

"Setiap pagi ingin sekali aku memyampaikan kabar gembira ini kepadamu, aku masih hidup, dan mencintaimu."

- Aan Mansyur

Bangunan perkasa dengan gerbang besar yang berdiri kokoh tepat di samping kananku ini, telah menjadi saksi, bahwa sesosok lelaki berseragam ini, pernah mengutarakan niatnya di hadapanku, dan di hadapannya juga.

Ya, bangunan berwarna abu cerah yang dengan gagah bertuliskan 'PANGKALAN TNI AL' ini, ikut menyaksikan pecahnya tangisku sekaligus runtuhnya rasa benci di dasar hatiku, sedikit demi sedikit.

Aku lahir, tumbuh, dan besar di kota ini. Tapi selama itu pula, aku tak pernah tau bahwa bangunan seperti ini ada disini. Aku bahkan baru saja mengetahui bahwa letak 'rumah' mereka ada disini. Singkatnya, aku sama sekali tak pernah memperhatikan mereka, yang bahkan sudah dengan sangat terpuji untuk bersedia menjaga kami di garis terluar.

Dan aku bahkan sama sekali tak pernah menyangka, bahwa 'mereka' ternyata memiliki seorang 'anak' yang sudah sangat berbesar hati, tetap sudi menerimaku, walaupun dengan kerasnya batu di dalam hatiku.

Tapi rasa trauma dan kehilangan itu masih terus membekas di dalam jiwa dan ingatanku hingga saat ini. Aku belum bisa mengubahnya, aku tak bisa mengubahnya, terlebih sendirian.

Aku butuh seseorang. Aku membutuhkan seseorang. Saat ini, sekarang ini.

Namun aku tak ingin seseorang yang tepat di hadapanku ini yang membantuku. Aku tak ingin terlibat dengan seseorang yang harusnya aku jauhi. Aku tak membencinya, tapi bagaimana dengan seragamnya?, aku juga tak yakin Ia mampu mengubah hatiku, ataupun seluruh isi duniaku, ketika Ia selalu datang dengan seragam itu yang terus saja menempel pada tubuhnya.

Aku sangat bingung sekarang ini, aku benar-benar sangat bingung. Aku tak bisa berpikir atau mencerna apapun untuk saat ini. Dan aku juga masih bertanya-tanya, mengapa aku selalu di hadapkan dengan situasi seperti ini jika menyangkut tentang dirinya?

Aku menghela napas berkali-kali. Berperang dengan otak serta hatiku sendiri. Memilih untuk mengatakan atau menyimpannya sendiri. Sampai akhirnya aku memutuskan untuk berkata,

"Aku harap, rakyat yang kamu maksud itu...bukan aku," ujarku berusaha menegaskan perasaanku kepadanya meskipun itu berbanding terbalik dari kenyataannya.

Kemudian kulihat Ia yang nampak terkejut mendengar perkataanku.

"Apa saya nggak diberi kesempatan?," suaranya terdengar lemah.

"Selalu ada kesempatan," jawabku tegas. Kemudian aku menjeda agak lama, untuk berpikir apakah ini pantas untuk kukatakan kepadanya, "bagi orang-orang yang termaafkan. Dan kamu, bukan salah satunya."

Setelah aku mengatakannya, aku merasa aku lah yang jadi tersangka disini. Aku merasa aku telah sangat begitu jahat karena sudah mengutarakan hal itu kepadanya. Aku menyukainya, tapi tidak dengan seragamnya. Meskipun nanti Ia datang tanpa seragamnya, tentulah aku akan selalu terbayang seragamnya yang terus melekat bersama dirinya.

Ia tersenyum tegar, menunduk, lalu mengangkat wajahnya menghadapku, "Saya punya banyak teman dan orang-orang baik untuk dikenal, tapi saya sudah tidak punya satu pun orang untuk saya cintai lagi." Kini Ia mengatakan hal tersebut dengan mata yang berkaca-kaca.

"Saya sudah kehilangan ibu sejak saya baru di lahirkan. Dan saya sudah kehilangan ayah sejak saya umur lima belas tahun. Keluarga saya semuanya perantau. Dan kami orang kampung. Kami nggak pernah bertemu dan saya nggak tau mereka semua ada dimana." Wajahnya terlihat sangat terluka. Matanya juga nampak semakin berkaca-kaca dan hampir saja menumpahkan bulirnya, jika saja Ia tidak lebih dulu menyekanya.

"Saya sudah tidak punya siapapun lagi. Saya sendirian. Saya berjuang sendirian. Saya sudah tidak ada orangtua, keluarga, atau siapapun lagi." Kerutan di dahiku semakin dalam. Aku khawatir. Ini pertama kalinya aku melihat dan membuat seorang lelaki bermental baja, nyaris menangis tepat di depan kedua mataku.

Tapi aku yakin. Inilah tanda ketulusan hatinya.

Ia menunduk. Menutup kedua matanya dengan tangan kirinya. Serta dengan baret ungu yang tengah digenggamnya dengan sangat amat erat di cengkraman tangan kanannya.

Hening. Hanya suara kendaraan yang berlalu-lalang yang tentunya selalu menemani percakapan kami. Butuh waktu untuk bisa melihatnya mengangkat kepala lagi setelah kesedihan yang mendera dirinya, itu terlihat dari bahunya yang sedari tadi nampak bergetar. Ia terlihat begitu sedih. Aku yakin, inilah kali pertamanya menangis setelah sekian lamanya hingga Ia baru menumpahkan segala kesedihannya lagi, di hadapanku, seperti sekarang ini.

Ia mengangkat kepalanya, menatapku, lalu berkata, "saya nggak akan memaksa," Ia menjeda, "tapi suatu saat nanti, saya percaya kamu sendiri yang akan membuktikan, bahwa apa yang kamu yakini saat ini, adalah salah." Ia menambahkan dengan sungguh-sungguh.

Aku terdiam. Kemudian aku menampilkan senyum yang terkesan mengejek, "kalo gitu...aku nggak akan kemana pun, karena aku nggak mau membuktikan apapun,"

"Selamat malam," sambungku. Kemudian berbalik pergi menjauhinya, dan menjauhi segala sesuatu yang berkaitan dengan dirinya.

Hari ini, aku berbohong lagi. Aku membohonginya, dan aku membohongi diriku sendiri.

Harapan dan doa agar aku tak pernah bertemu dengannya lagi, telah ku lambungkan tinggi bersama setiap langkah menjauh yang tengah aku ayunkan. Setiap tetes air mata yang jatuh di bumi yang sedang aku pijak, semoga disitulah tertanam segala ingatan dan hal buruk yang kualami bersama dirinya.

Aku menangis lagi. Dan aku menyesalinya lagi. Mengapa aku sebegitu bodohnya yang tidak pernah menggunakan kedua mataku untuk melihat kebaikan mereka walaupun hanya seinci? Apa aku terlalu tunduk pada otakku sampai-sampai aku mengabaikan hatiku sendiri?

Tapi inilah jalan yang harus aku tempuh. Sekarang, aku hanya bisa berharap Ia masih mau memperjuangkanku, tapi tanpa seragamnya.

Aku tau harapanku ini gila karena mengharapkannya mau melepas seragamnya demi kebaikan kami berdua. Tapi aku tak yakin Ia mau dan sanggup melakukannya. Mengingat Ia sudah dibesarkan dengan pahatan sayap garuda di dasar lubuk hatinya.

Aku melajukan mobilku, melewatinya. Ia masih berdiri disana dalam keadaan tegak mematung dengan menggenggam topi kebanggannya di tangan kanannya yang penuh dengan bekas-bekas luka.

Sayang sekali, aku bukanlah orang yang bisa meraih kedua tangannya lalu mengobatinya. Bertanya mengapa, ataupun menunjukkan betapa besarnya rasa khawatirku kepadanya.

Terkadang, aku merasa kagum pada diriku sendiri yang mampu membaca situasi dan membuat antisipasi. Ini terlihat dari bagaimana aku memutuskan untuk membawa mobilku sendiri untuk ku kendarai daripada menyetujui untuk berboncengan bersamanya.

Karena sekarang, aku yang meninggalkannya. Bukan Ia yang meninggalkanku.

Satu Alasan [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang