Bagian 30

3.5K 307 21
                                        

"Jangan pernah menyerah jika kamu masih ingin mencoba, jangan biarkan penyesalan datang karena kamu selangkah lagi untuk menang."

- R. A. Kartini

                                ⚓

Setelah mama pergi berkeliling terlebih dahulu bersama bude dan pakde, kini mereka hanya menyisakan aku dan mas Rayhan. Inilah saatnya aku bisa menunjukkan apa yang sedang hatiku rasakan, setelah berusaha menahan sakitnya selama beberapa saat.

Kuhempaskan tangan mas Rayhan dengan kasar dalam sekali hentakan, hingga aku bisa merasakan kepalanya yang langsung menoleh ke arahku karena terkejut.

Tapi aku tak menatapnya. Aku hanya menatap lurus ke depan, dengan bibir yang sedikit terbuka, lalu dengan mata yang penuh dengan lapisan bening.

Mengapa?! Mengapa harus Gina?!

"Rin?" ia mengikuti kemana arah pandangku.

Matanya menyipit, lalu ia mengangguk, "Oh...yang ngantar bunga waktu itu, kan?"

Aku hanya mengangguk, lalu menunduk. Membiarkan sebutir bulir bening lolos dari mataku.

"Mas, sakit banget ya...," aku mencoba tersenyum.

"Kenapa sahabatku sendiri? Kenapa harus dia? Selama ini bahkan aku selalu curhat tentang Adam ke dia. Aku pikir dia baik." Mas Rayhan menggeser tubuhnya untuk menutupi pemandangan apa yang tengah kulihat sekarang. Lalu ia merengkuh dan membawaku ke pelukannya dengan lembut.

"Iya, aku suka sama tentara itu, Mas. Aku suka sama dia! Aku udah sadar, aku salah. Selama ini aku salah udah nilai mereka seperti itu, tapi kenapa? Kenapa setelah aku sadar....dia malah sama orang lain? Dan dia juga pernah bilang kalau dia suka sama aku, tapi apa?"

"Aku pikir dia baik, mas. Aku pikir dia baik!" Aku terus memberontak dan menangis tertahan di bahu kokohnya. Entah mengapa, yang satu ini terasa sangat menyakitkan.

Aku sudah tak peduli jika saat ini akan ada banyak pasang mata yang melihatku. Toh, aku juga sudah terbiasa. Aku sudah pernah melewatinya. Dan aku, pasti akan melewatinya lagi. Seperti dahulu, dengan rasa malu yang sama.

Aku membenamkan kepalaku lebih dalam di ceruk lehernya. Lalu aku merasakan tangannya yang terus mengusap punggungku untuk menenangkanku.

"Sudah, dek. Kalau memang dia milikmu, dia pasti bakal kembali lagi ke kamu."

Aku merasa sangat lemas. Dengan air mata yang terus saja mengalir deras, aku merasa sangat pusing sekarang ini. Aku bahkan sudah hampir tak sanggup untuk berdiri di atas kedua kakiku sendiri.

Aku menarik napas, berusaha menghentikan tangisanku dengan sangat bersusah-payah. Kemudian, aku melepaskan pelukannya setelah mengusap air mata yang membanjiri pipiku dari balik bahunya, "ayo pulang," kualihkan tatapanku pada dua orang yang paling harus kujauhi sekarang ini, "sebelum kebencianku semakin jadi."

                                 ⚓

BRAKKK!!!

Bingkai foto yang terpaku di dinding yang sama dengan pintuku pun ikut bergetar, berkat dorongan tanganku yang terlalu kuat, bersamaan dengan dorongan rasa sakit dan panas yang menjalari hatiku.

Aku mengunci pintu. Lalu terduduk dan menangis sesenggukan sambil memeluk lutut dan merutuki nasibku. Ya, sangat salah memang jika terlalu berharap kepada seseorang.

Dan poin yang terpenting dari kejadian menyakitkan ini adalah, bukan ia yang mengecewakanmu, tapi harapan besarmu sendiri. Harapanmu yang begitu tinggi. Angan-anganmu yang terlalu manis. Hingga kau lupa dan tersadar, bahwa ia sama sekali tak mengharapkanmu. Sangat lucu.

Satu Alasan [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang