Bagian 13

4.5K 296 4
                                        

"Hidup tanpa harapan, adalah hidup yang kosong".

- Pramoedya Ananta Toer

Angin malam seakan menusuk semua persendian hingga ke barisan tulang dalam tubuhku. Rintik-rintik air hujan yang seakan mendukung kejamnya tusukan angin yang membelai segala sisi tubuhku. Aku berlari kecil tanpa menutupi tetesan hujan yang mengenai puncak kepalaku, sedangkan kedua tanganku sibuk menyedekap dompet cokelat mudaku tepat di depan dada.

Aku melangkah masuk ke dalam cafe yang dimintanya. Sebelum mencari tempat duduk, aku menepuk-nepuk pakaianku berharap air hujan yang sempat meresap, dapat segera kering. Kemudian aku merapikan rambutku, dengan menyisirnya menggunakan jari.

Aku menoleh ke kanan dan kiri berharap dapat segera menemukan wajah hangatnya di malam sedingin ini. Mencari-cari dari ujung tempat duduk yang tersembunyi, bahkan hingga ke kasir pembayaran, tetap juga tak kutemukan si tentara itu.

Dimana dia?

Daripada aku terlihat seperti korban harapan palsu, lebih baik aku membuang malu dengan segera duduk dimana saja lalu berpura-pura memesan dua minuman. Mungkin itu dapat sedikit membantu.

Mataku menangkap tempat yang sangat pas untukku. Ah! Di pojok sana kurasa agak strategis untuk menyembunyikan semburat jomblo yang tersirat di wajahku.

Aku berjalan ke arah tersebut. Kemudian mengempaskan bokongku perlahan ke kursi sofa, merapikan rambutku sekali lagi, kemudian mengeluarkan ponsel dari dalam dompetku seraya mengecek pesan darinya yang tak mungkin pernah muncul secara tiba-tiba, karena kami memang tak pernah bertukar nomor.

Semenit kemudian pelayan menghampiriku sambil menanyakan menu apa yang akan kupesan. Lalu kubiarkan pelayan tersebut menunggu sekejap sembari mataku yang naik turun membaca menu yang tersedia. Akhirnya, kujatuhkan pilihanku kepada dua cangkir espresso yang hangat, dengan tambahan sepiring roti bakar yang pasti akan terasa sangat nikmat. Sungguh perpaduan yang akan memanjakan perutku.

Karena belum ada pesan yang harus kubalas, aku memilih menaruh ponselku diatas meja, sambil menggerak-gerakkan sebelah kakiku sebagai tanda kebosanan, sedangkan telingaku telah menangkap kebisingan yang membuatku iri.

Kutengok meja di seberang sana, sepertinya tengah bercanda asik satu sama lain, sampai-sampai si wanita tertawa luar biasa lebar sembari 'menabok' lelaki di sampingnya. Namun lelaki yang kuduga adalah pacarnya itu, hanya diam dan tersenyum saja.

Entah mengapa, kini aku juga ikut tersenyum.

Lalu aku sedikit membayangkan, jika Adam datang, aku harus bersikap bagaimana? Dan kira-kira Ia akan duduk di sebelah mana? Atau, apakah Adam bisa membuat gurauan seperti yang lelaki tadi lakukan? Atau, obrolan macam apa yang akan kita habiskan sepanjang malam pertemuan ini?

Huh! Terlalu banyak atau dan memang imajinasiku yang melampaui batas, serta harapanku yang kubiarkan melambung setinggi langit.

Tak lama kemudian, seorang pelayan yang berbeda datang membawa makanan yang tadi kupesan. Langsung saja, aroma kopi espresso ini terdeteksi dan menggoda indra penciumanku.

"Makasih ya mas".

Kataku singkat kepada pelayan yang membawakan nampanku. Bahkan sebelum pelayan itu sempat berbalik, aku sudah cepat-cepat mengangkat cangkirku dan menyesap minumanku sedikit demi sedikit seakan tak ingin segera tandas.

Setelah aku menaruh cangkirku, aku kembali mengambil sepotong roti yang beroleskan selai blueberry dan keju di tengahnya. Aku melahapnya sembari mataku yang sibuk tertuju pada ponselku. Untung saja, pesan yang teman-temanku kirim ke grup sosial media, semuanya berisi lelucon sehingga rasa bosanku dan wajah jombloku, paling tidak dapat sedikit tertutupi.

Satu Alasan [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang