"Pahlawan yang setia itu berkorban bukan untuk dikenal namanya, tapi semata-mata untuk membela cita-cita."
- Moh. Hatta
⚓
|Author POV|
Kamis, 9 Agustus 2018
"Woi, Rin!" Teriak Bagas si anggota BEM, yang mengemban program studi teknik komputer. Ia berteriak dari lantai dua gedung jurusannya sambil melambaikan tangan kearah Arin, sembari menampilkan jajaran giginya yang rapi. Setelah memastikan bahwa seseorang yang dipanggilnya menoleh, ia segera turun sambil setengah berlari menuju tempat tongkrongan Arin dan kawanan lebah seperjuangannya, yang berada di bawah pohon rindang besar tepat di seberang kantin.
Arin yang mendengarnya pun memejamkan mata sebentar sebelum memutar bola matanya dengan perasaan jengah dan malas. Ia tak pernah suka jika seseorang memanggilnya dengan berteriak seperti tadi karena tentunya akan membuat semua mata dan telinga yang berada di sekitarnya akan menoleh kepadanya, yang otomatis akan membuatnya menjadi pusat perhatian.
Ditambah lagi, seseorang yang memanggilnya itu adalah salah satu mahasiswa tertampan di kampusnya versi majalah Forbes. Eh—bukan, Versi Shela sahabatnya, si intel pemburu mahasiswa tampan. Dan barangkali ada yang mau membantu menutup wajah aneh Arin saat ini. Karena kini sahabat-sahabatnya sedang sibuk menggoda dan mengganggunya. Sangat tak bisa diajak berkompromi!
"Wah...Bagas go public nih sekarang". Cetus Sarah sambil menaik-naikkan kedua alisnya jahil. Lalu dibalas dengan tatapan 'singa lapar yang mengincar mangsa' oleh Arin.
Ya, desas-desus serta kabar burung yang beredar luas di antara kedua fakultas mereka adalah—bahwa 'Si Tampan Bagas' begitu menyukai Arin. Namun, 'Arin Si Gagak Cerewet' tak pernah terlihat repot-repot untuk menggubrisnya.
Akhirnya Bagas sampai. Ia sampai dengan napas yang sedikit tersengal-sengal mengingat jarak yang baru saja ditempuhnya juga sepenuhnya tak bisa disebut pendek. Kemudian ia berdiri tepat di samping kanan Arin yang terhampar kosong. Sedetik kemudian, Ia menatap lurus ke wajah Arin yang kini sedang menatap ke arah lain.
"Aku antar pulang ya, Rin." Ajak Bagas. Arin menoleh terkejut. Kalimat yang terlalu lancang diucapkan untuk dua orang yang tak saling mengenal dekat, mengingat Arin yang selama ini tak pernah secara terang-terangan bertemu dan mengobrol dengannya secara langsung, apalagi sampai berpura-pura akrab dengan menerima ajakannya untuk pulang bersama.
Bisa dicatat, Arin juga tidak begitu menyukai orang yang satu ini.
Entahlah ini diartikan sebagai rasa suka yang menggebu atau bagaimana, tapi sejak kapan ia tumbuh menjadi lelaki tak tahu malu seperti saat ini? Bahkan sudah diabaikan berkali-kali, tetapi semangatnya malah semakin membara. Ditambah lagi, Bagas mengutarakannya di hadapan teman-temannya untuk yang pertama kalinya. Sorak-sorai dan kalimat-kalimat godaan jahil dari teman-teman Arin pun terdengar heboh dan nyaring seperti sepuluh orang berteriak disaat hanya ada tiga mulut wanita yang kini sedang mengeluarkan suara.
Arin dan Bagas memang bersahabat sejak mereka masih berusia delapan tahun karena rumahnya yang pernah bersebelahan. Tetapi sejak memasuki bangku SMA, Bagas dan keluarganya memutuskan untuk mengikuti pekerjaan ayahnya yang mengharuskan mereka semua untuk pindah keluar kota. Dan setelah kepindahannya itu, mereka tak pernah lagi bertegur sapa. Dan siapa sangka, mereka bertemu lagi di kampus yang sama. Tapi sudah dengan perasaan yang berbeda.
Wajah Arin sudah bersemu merah padam. Bukan seperti wanita yang menahan malu, tapi lebih kepada wanita yang tangah bersusah payah menahan amarah.
Berselang satu kedipan, Arin pun tersenyum. Tapi bukan senyum tulus seperti biasanya. Senyumnya tidak tertarik sampai ke mata. Lalu Ia mengangguk-anggukkan kepala sedikit lebih banyak. Bagas mengharap-harap cemas agar rencananya berjalan lancar sesuai dengan ekspektasi. Mengingat gagak kampus satu ini, bukan wanita yang mudah didekati.
"Oke." Jawabnya perlahan penuh penekanan, sambil tetap mengangguk-anggukkan kepalanya dan tatapan lekatnya tak lepas dari Bagas, seperti sedang menyiratkan sesuatu.
Baiklah, hanya Arin dan Tuhan yang tau apa makna dibalik tatapannya.
⚓
Ia terhenti.
"Kenapa, bro?" tanya salah satu teman kepadanya. Lalu membetulkan posisi joran pancing yang berada di bahunya sembari mengikuti arah pandang teman seperjuangannya itu yang kini sedang di tatapnya lekat-lekat. Di sebuah cafe yang terlihat mewah namun sepi, di lantai atasnya.
"Enggak." Katanya menggeleng tertahan. Lalu ia melirik sekilas sekali lagi, sebelum melangkahkan kaki dan benar-benar pergi.
"Oi! lapar, kah?" tanya Rahman, juga salah satu temannya yang bersuku bugis. Kemudian Ia berjalan mendahului kedua orang itu sambil menenteng ember berisi beberapa ekor ikan bawal yang masih bergerak-gerak.
"Mantap juga selera," katanya sembari menepuk dada lelaki itu. Rupanya Agus tahu bahwa bukan tempat makan itu yang dipikirkannya, tetapi wanita diatas sana yang sedang duduk bersama seorang lelaki dengan menampilkan wajah terkejut secara samar dan raut—yang entahlah, terlalu sulit digambarkan.
Mereka bergegas lagi. Melanjutkan jalan kakinya menuju asrama yang sudah tak jauh dari tempat pemberhentian mendadak mereka.
Kakinya berjalan, tapi pikirannya mungkin tertinggal. Tertinggal bersama dengan wanita yang baru saja dilihatnya tadi. Kini ia masih mencerna, bisa saja salah lihat. Apalagi dengan jarak diantara mereka yang cukup jauh.
Tapi sepertinya tidak, lelaki itu yakin dengan sangat yakin, bahwa ia pernah melihatnya. Kedua hal itu.
Si wanita, bersama raut wajah terkejutnya.
⚓
![](https://img.wattpad.com/cover/189363851-288-k203339.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Alasan [HIATUS]
Romance"Apakah sebuah kesalahan jika saya memiliki profesi dengan seragam seperti ini? Saya mencintai negara saya, dan saya berusaha untuk menjaga negara ini seperti apa yang saya lakukan sekarang, bersama seragam ini. Lalu tidak bisa kah saya melakukan ha...