"Cinta itu adalah perasaan yang mesti ada pada tiap-tiap diri manusia, ia laksana setetes embun yang turun dari langit, bersih dan suci. Jika ia jatuh pada tanah yang subur, di sana akan tumbuh kesucian hati, keikhlasan, setia, budi pekerti yang tinggi dan lain-lain perangai terpuji."
- Buya Hamka
⚓
Sudah tiga kali kulihat mereka bolak-balik melewati rumahku ketika aku sedang sibuk menyirami bunga-bunga di pekarangan. Dengan helm hijau lumut yang cukup senada dengan warna bajunya, serta motor hitam yang seirama dengan warna sepatunya, mereka tampak kebingungan mencari sesuatu di komplek rumahku.
Jika kuperhatikan, di lengan kanan dan kiri seragam lorengnya, terdapat garis merah melintang yang kuyakini sebagai pangkat mereka berdua. Dan sejauh yang kuingat, Itu berbeda dengan pangkat milik Adam. Milik Adam berwarna hitam dan berbentuk seperti huruf 'V'. Entah apa lah mereka menyebutnya.
Astaga! Jangan Adam lagi!, kataku dalam hati.
Akhirnya beberapa menit kemudian, kulihat mereka memberhentikan motornya dan memarkirkannya agak di seberang rumahku. Sambil curi-curi pandang, aku melihat mata mereka yang juga sama bolak-baliknya seperti tadi, sembari mencocokkan sesuatu di kertas yang tengah di pegang oleh salah satu dari mereka. Dan aku menduga itu adalah 'alamat' seseorang.
Sebelum aku tertangkap basah sedang mengintai mereka, aku cepat-cepat mengubah posisiku menjadi menyampingi mereka dan berpura-pura fokus kepada selang dan tanaman-tanamanku.
Benar saja, mereka kini sedang berjalan menuju rumahku.
"Permisi pak, mbak" sahut pria yang lebih berisi dan beralis tebal dari balik pagar tinggi rumahku dengan agak nyaring. Sedetik selanjutnya, aku menoleh dan segera berjalan ke arah mereka berdua setelah mematikan kran air sebelum Pak Yanto mendahuluiku.
Aku sudah kepalang penasaran. Dan aku, tentunya harus menjadi yang pertama kali menemui mereka.
"Iya?" sahutku. Selang hijau yang tadi tengah kupegang, kini kuhempas begitu saja diatas rerumputan karena aku benar-benar tak ingin didahului oleh Pak Yanto. Langsung saja aku disambut dengan ekspresi Pak Yanto yang menatapku dengan dahi yang mengkerut begitu dalam disertai dengan ekspresi wajah yang tak dapat kugambarkan.
Kini aku berjalan ke arah mereka, kemudian meraih gagang pagar, lalu membuka pengaitnya.
"Permisi, mbak. Komplek B nomor 24 dimana, ya?" katanya terdengar begitu yakin dan mantap tanpa berkedip. Sontak saja, aku yang mendengarnya pun menjadi terkejut, dan agak sedikit heran.
Aku terdiam hingga beberapa saat, menaikkan alisku tipis lalu menjawab, "Disini", sambil mengangguk.
Aku tak tau mengapa, tapi setalah aku mengatakannya, aku bisa merasakan jantungku berpacu dengan cepat, bulu kudukku terasa berdiri, dan aku mulai merinding.
Apa akan ada sesuatu setelah ini? Atau ini hanya perasaanku saja?
Setelah mendengarnya, kulihat ekspresinya juga sama terkejutnya dengan aku. Tapi kemudian mereka saling pandang untuk beberapa detik, lalu salah satu diantara mereka yang namanya tercetak jelas di dada kanannya bernama 'Danu' mengambil alih untuk menyahut dengan cepat, "Oh... Maaf mbak, maksudnya tadi komplek D nomor 24", ucapnya mengoreksi.
Oh, astaga. Aku hampir saja salah paham. Otakku bahkan sudah berpikir kesana-kemari dan membayangkan sesuatu yang akan mengguncangkan hatiku.Ternyata mereka hanya sekedar mencari alamat tadi. Akhirnya aku bisa bernapas lega sekarang.
"Oh! Komplek D itu cuma dua blok dari sini, Mas." Kataku dengan penuh senyum kelegaan. Kemudian aku melanjutkan, "Lurus aja, habis itu belok kanan, udah deh...nanti ada tulisannya", sambungku.
"Iya...terimakasih, Mbak". Ia berkata seraya mengangguk. Lalu aku pun juga ikut mengangguk, kemudian berucap, "Sama-sama..."
Setelah itu mereka berdua berjalan menuju motornya, memakai helm, kemudian menyalakan motornya. Aku masih belum memalingkan wajahku dari mereka setelah mengunci pagar rumahku.
Si alis tebal yang namanya tadi sempat kubaca, dan jika tidak salah ingat bernama, 'M. Rofi' masih sibuk menyelip-nyelipkan kertas alamat tadi ke dalam saku celananya. Ketika mereka beranjak pergi, dan mataku juga akan beranjak dari mereka berdua, ada sesuatu yang menyita perhatianku.
Oh, ya ampun! Kertas mereka!
Jatuh!
Tak menunggu sepersekian detik, dan tak sempat memakai sandal yang sempat ku lepas, aku langsung berlari sekencang mungkin, membuka pengait pagarku yang karat di beberapa bagiannya, telah menghambat laju pergerakanku.
Aku memungut kertas tadi, kemudian berteriak, "MAAASSS!!! KERTASNYA!", namun sepertinya mereka sudah tak mendengarku.
Terlambat, Arin. Mereka sudah terlalu jauh.
Aku menghela napas. Mengalihkan tatapanku dari bayangan mereka yang tampak sudah berbelok di ujung jalan. Aku membalik kertas tadi, dan menemukan sebuah alamat disana.
Komplek B, nomor 24. Bukit Damai Indah.
Apa?! Aku mengernyitkan dahi terkejut, melongo dan membuang tatapanku ke ujung jalan tempat mereka menghilang tadi. Itu benar alamatku. Komplek B, seperti yang pertama Ia katakan.
Jadi? Apa maksud mereka sebenarnya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Alasan [HIATUS]
Romance"Apakah sebuah kesalahan jika saya memiliki profesi dengan seragam seperti ini? Saya mencintai negara saya, dan saya berusaha untuk menjaga negara ini seperti apa yang saya lakukan sekarang, bersama seragam ini. Lalu tidak bisa kah saya melakukan ha...