"Hidup tidak selalu sedih. Tidak juga selalu bahagia. Untuk menulis kisah indah di dalamnya, hidup butuh kedua hal itu."
- Inggrid Sonya
⚓
Aku mengangkat kaki dan mendekat ke arah pintu tersebut. Dengan sambutan senyum tipis dan tatapan menyelidik, perawat lelaki bertubuh agak kurus dan berkulit putih itu membukakanku pintu. Sejauh yang bisa direkam oleh penglihatanku, ia memiliki mata yang lebih sipit dengan barisan alis yang tidak terlalu tebal. Serta jika dilihat dari tulang hidung bagian atasnya, ia memiliki hidung yang tidak mancung dan tidak pula pesek. Selebihnya, aku tak bisa mendeskripsikannya, akibat sebagian wajahnya yang tertutup oleh masker khas tenaga kesehatan yang berwarna hijau.
"Silakan," ia bersuara sambil menyusulku dari arah belakang dan membuatku sedikit terkejut. Kemudian, ia berjalan mendahului untuk mengarahkanku agar berjalan ke sudut ruangan, guna memakai gaun luar atau terusan berwarna hijau polos yang tak kuketahui namanya. Aku pun juga berinisiatif dengan langsung menguncir rambutku yang sebelumnya tergerai lepas.
Suara alat monitor yang terus berbunyi membuatku sedikit bergidik, ditambah suasana hening mencekam yang tak biasa dan bahkan belum pernah aku rasakan. Aku belum pernah menjenguk seseorang di ruangan instalasi seperti ini, dan aku juga belum pernah menjenguk siapapun dengan bunyi-bunyian aneh seperti sekarang ini.
"Mari," tangannya terulur sopan untuk memberiku petunjuk agar mendekat ke bilik yang tertutup tirai berwarna biru muda pucat, yang artinya, beberapa detik lagi aku akan bersemuka dengan Adam. Seketika perasaanku menjadi lebih tidak nyaman daripada sebelum-sebelumnya. Aku bahkan sudah puluhan kali meneguk saliva semenjak masuk ke ruangan ini.
Perawat itu menggeser tirainya dengan perlahan supaya tidak mengejutkan pasien yang sedang terbaring di baliknya. Namun tetap saja, si pasien yang sepertinya hanya memejam dan belum tertidur itu—dengan posisi miring menghadap ke arah lain, tiba-tiba membuka mata diiringi dengan gerakannya yang bersusah payah saat akan mengapikkan posisi bantalnya.
Perawat itu bergeser melewatiku. Ia berpindah tempat tepat ke hadapan Adam untuk membetulkan tirai yang sepertinya tersangkut, sedang aku sibuk memperhatikan Adam. Dari tampak belakang, ia mengenakan baju terusan yang bertali punggung, sama seperti yang sedang kukenakan sekarang, namun miliknya berwarna biru muda yang hampir senada dengan warna tirai.
"Kenapa? Mau ada siapa?" suaranya serak. Ia berbicara pada perawat tadi dan belum melihatku yang berdiri di balik punggungnya.
"Satu-satunya yang diizinkan masuk setelah Kasdam hari ini," ujar perawat itu kepada Adam seraya menatapku sekilas.
Ia nampak bungkam sesaat. "Siapa?" Adam bertanya lagi.
"Sebelah sini," perawat itu menganggukkan kepalanya, tanda ia menyilakan kepadaku agar berpindah tempat, sembari tangan kirinya yang membenahi masker.
Aku bergerak maju dengan perasaan gugup yang terus menghujamku tanpa ampun, sampai-sampai aku bisa merasakan kakiku bergetar dan dahiku yang mulai mengeluarkan keringat.
Sepuluh menit. Aku diberi kesempatan untuk mengungkapkan segala isi hatiku, hanya dalam sepuluh menit. Lalu bagaimana aku bisa mengatakannya disaat—bahkan hanya dari belakangnya, aku sudah menciut?
Perawat itu nampak mengundurkan diri untuk memberi kami privasi, namun itu malah membuatku semakin ketakutan. Ruangan ini bahkan terasa mengecil dan menyempit, seakan-akan memang disiapkan hanya untuk kami berdua. Akan tetapi, mau tidak mau, siap tidak siap, memang ini lah satu-satunya jalan yang harus aku tempuh.
Aku terdiam kaku dengan menyilangkan kedua tanganku di depan perut, begitu aku sudah berdiri di hadapannya. Aku masih membuang tatapanku dengan sesekali menunduk dan belum berani menatap langsung ke kedua bola matanya, dikala aku bisa merasakan bahwa ia memandangku dengan agak terkejut.
Lidahku kelu dan sejujurnya aku mendadak kehilangan kata-kata. Tapi, aku tak bisa begini terus, ini hanya akan membuang-buang waktuku. "Hai, Dam. Aku minta maaf kita baru bisa ketemu lagi dalam keadaan seperti ini. Gimana keadaanmu? Udah baikan?" aku mencoba untuk memulai pembicaraan.
Ia terus memandangiku tanpa berkata-kata selama beberapa saat. Masih dengan keadaan wajah yang terperangah ia berkata, "Kenapa Kasdam—" kalimatnya terpotong.
"Aku minta tolong ke Gina. Aku harus cepat pergi, Dam. Aku nggak bisa lama-lama," jawabku berbohong. Sudah tak mungkin lagi bagiku untuk jujur bahwa aku telah ditarik mundur oleh ayah Gina, kan?
Maka dari itu kulihat ia mengangguk tidak puas. Setelah itu, ia pun membalas, "Saya sudah baikan. Tapi, mungkin sama kamu belum," ia tersenyum kecil.
Aku tergugu, lalu mendengus dan tersenyum tipis, "Aku tanya keadaanmu." Ujarku masih berusaha untuk membahas perihal dirinya sekarang.
"Saya senang sekali kamu bisa nyempatin diri untuk bisa jenguk saya. Hmm, disini sudah lama?"
"O—oh, ehm...baru aja kok. Baru dikabarin Gina," ujarku berbohong yang semoga saja tak mampu ia baca.
Namun, lagi-lagi ia terdiam. Raut wajahnya nampak seperti orang yang tengah memikirkan sesuatu, dan aku semakin risau. Pandangannya pun juga lurus dan tak lepas dari wajahku. "Apa—"
"Saya sudah dimaafkan?"
Kini giliran aku yang balik memandangnya dengan diam. Segera aku harus memutar otak agar dapat menemukan kalimat yang tepat, karena aku benar-benar tak ingin terlibat dalam topik itu.
Aku menunduk sekilas, lalu mengangkat wajah, "Semoga lekas sembuh. Banyak yang khawatir sama kamu," aku tersenyum.
"Termasuk kamu?" ia mengangkat kedua alisnya, lalu tergelak singkat.
Melihatku tak menggubris gurauannya, ia kembali bertutur, "Tolong jawab yang tadi."
Aku melirik jam tangan. "Kamu harus lebih banyak istirahat, Dam. Waktuku mungkin juga udah habis. Sampai jumpa di lain waktu." Aku sudah tak sanggup untuk berada disini lebih lama lagi. Aku memandangnya sekilas sekali lagi untuk yang terakhir kalinya, sebelum aku benar-benar pergi.
Namun, belum sempat aku melangkah untuk yang kedua kalinya, ia menarik terusan hijauku yang membuatku terhenti dan menoleh dengan sigap. Dan di detik itu juga ia berujar, "Tolong, jangan lari lagi," lirihnya padaku. Kami pun saling beradu tatap, lalu ia mulai melonggarkan pegangannya pada terusanku perlahan-lahan.
Aku menatap wajahnya dengan perasaan yang campur aduk, karena itu lah aku mengerutkan dahiku. Aku benar-benar bimbang. Jenderal itu memintaku menjauh, sedangkan Adam memintaku untuk tetap bersamanya. Lalu, bagaimana aku harus mengatakannya?
Aku tak ingin mengkhianati janjiku pada ayah Gina, namun aku juga tak ingin membohongi diriku sendiri.
Tak perlu kau minta, aku memang tak ingin pergi kemanapun lagi. Tapi, aku pun tak mempunyai kekuatan untuk mengubah bubur menjadi nasi. Semua sudah terjadi, dan janji juga sudah terucap.
Aku menghela napas. "Aku nggak pernah benar-benar cinta sama seseorang. Karena selama ini aku selalu hidup dalam kebencian."
"Tapi, aku juga nggak pernah benar-benar benci sama sesuatu atau seseorang, sampai sebenci dan sedendam ini."
"Dan dari sini juga aku belajar, bahwa benci itu nggak selamanya salah," aku tersenyum dengan air mata yang sudah menumpuk di pelupuk mata. "Kata orang, kita nggak boleh terlalu benci sama seseorang atau apapun itu, karena benci itu bisa kapan aja berubah jadi cinta.
"Ya...awalnya aku sempat nggak percaya, tapi seiring berjalannya waktu, ditambah semua pembuktian yang kamu tunjukkan ke aku, ternyata sekarang aku ngalamin itu sendiri," aku terkekeh kecil.
"Ini pertama kalinya aku tau bahwa benci itu bisa seindah ini, tapi juga bisa serumit ini, dalam waktu yang bersamaan," aku tersenyum simpul lalu menunduk. Dan kami pun sama-sama terdiam.
Ia nampak bergerak pelan. "Saya nggak pandai nebak apa maksud da—"
"Aku minta maaf."
"Aku cinta kamu."
⚓

KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Alasan [HIATUS]
Romance"Apakah sebuah kesalahan jika saya memiliki profesi dengan seragam seperti ini? Saya mencintai negara saya, dan saya berusaha untuk menjaga negara ini seperti apa yang saya lakukan sekarang, bersama seragam ini. Lalu tidak bisa kah saya melakukan ha...