"Mengapa harus takut pada hitam? Bukankah karena hitam, putih dapat terlihat? Mengapa harus takut pada malam? Bukankah karena malam bintang terlihat cemerlang?"
- T.S
⚓
Aku sudah menghabiskan waktu selama dua minggu terakhir ini untuk berolahraga setiap sore. Bukan di lapangan, bukan pula di lintasan. Tapi hanya di trotoar jalan, dan hanya berputar lagi disitu-situ saja. Serta bisa kalian bayangkan, jika trotoar tersebut tepat berada di depan markas Pangkalan TNI AL.
Ya, selama tiga minggu belakangan ini lah, aku selalu rutin untuk menyempatkan diri memangkas lemak-lemakku yang mungkin sudah bersarang sangat lama, walaupun itu memang tak terlihat. Serta memastikan kembali apakah celana training yang tertumpuk di bagian paling dasar di dalam lemariku itu tidak cemburu kepada pakaian yang lainnya.
Tapi itu bukan alasan utama yang melandasi semangatku untuk berkeringat, tapi rasa rindu dan besarnya keingintahuanku terhadap Adam lah yang mendorongku sehingga bisa sampai di titik ini.
Sepertinya, kisahku dengan Adam memang sedikit lebih menantang. Tanpa kontak, tanpa kabar, dan tanpa bisa melihatnya.
Aku sengaja memilih tempat ini untuk berolahraga. Terus saja bolak-balik dan berputar mengitari bangunan abu-abu ini, melewati jalanan umum di belakang benteng besar ini, dan langsung disambut oleh yang kuketahui sebagai rumah dinas para TNI AL.
Karena aku berharap, kami bisa dipertemukan sekali lagi dan bisa menatap satu sama lain lagi.
Tapi semakin aku berharap, dirinya malah terasa semakin menjauh. Kami tak pernah bertemu, dan aku juga tak pernah sama sekali melihat lekuk wajahnya, barang hanya sekilas. Atau, apa aku salah tempat? Apa Ia tidak bekerja, maksudku, berdinas disini lagi? Atau, memang bukan disini tempatnya? Apa jangan-jangan...Ia tengah berlayar dan bekerja di kapal, seperti mas Rayhan, ya?
Tapi, cepat atau lambat, aku harus bergerak. Aku harus mencoba bertanya pada...mungkin salah satu bapak-bapak berseragam itu sembari berdoa, Ia mau memberitahuku, dan warga sipil sepertiku yang ingin mengetahui keberadaannya, tidak dirahasiakan.
Tapi, bagaimana? Bagaimana caranya aku bisa bertanya mengenai dirinya? Aku takut apabila, aku bisa saja dianggap sebagai mata-mata. Aku masih ingin menyelesaikan pendidikanku dulu, ya Tuhan. Aku tak ingin berakhir di kursi pengadilan militernya yang mengerikan, lalu terdampar di dalam penjara bersama orang-orang yang akan menyuruhku untuk memijiti tubuhnya. Atau, mungkin jika aku menolak, Ia akan menyiksaku secara membabi buta bersama kawanannya yang berambut kasar itu?
Aku menggeleng. Ah! Jangan sekarang. Siapkan teks dan susunan prosedur cara bertanya yang tepat dulu, Arin. Jangan sampai kau salah melangkah. Apalagi, kau akan melangkah dan bertanya kepada para loreng yang bahkan harimau saja mungkin merasa takut kepadanya.
Aku melirik jam hitamku yang terlingkar di pergelangan tangan kananku. Ini sudah menunjukkan pukul lima sore lewat dua puluh lima menit. Ini sudah cukup bagiku untuk membentuk betis yang kini sudah terasa padat dan sepertinya sudah mulai berbentuk. Aku berjalan santai ke arah parkiran sambil menguncir ulang rambutku yang sebagian sudah mencuat kesana kemari akibat guncangan tubuhku saat berlari.
⚓
"Rin! Bisa tolong beliin mama mangga, nggak? Mau bikin pudding nih sama Bude," begitu perintah permaisuri telah terdengar, aku segera turun dan berjalan menuju dapur setelah mengambil kunci yang tergeletak di atas nakas kamarku.
"Berapa kilo, Ma?"
"Udahlah terserah kamu aja. Nih uangnya," ujar Mama seraya menyodorkan beberapa lembar uang kepadaku.

KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Alasan [HIATUS]
Romance"Apakah sebuah kesalahan jika saya memiliki profesi dengan seragam seperti ini? Saya mencintai negara saya, dan saya berusaha untuk menjaga negara ini seperti apa yang saya lakukan sekarang, bersama seragam ini. Lalu tidak bisa kah saya melakukan ha...