Bagian 10

5.5K 294 1
                                    

"Harapan dapat mengalahkan rasa takut, hanya jika kita percaya"

- Susilo Bambang Yudhoyono

                                  ⚓

ARIN POV

Begitu sampai di rumah, aku langsung melayangkan tasku dan entah mendarat dimana. Sepatu kets putihku juga kulepas tak memandang tempat dan arah mata angin. Sebelah kanan ada di luar rumah, sebelah kiri bahkan sudah tersudut di bawah meja ruang tamu. Bukannya aku teledor atau pemalas, tapi aku benar-benar tak memiliki waktu sekarang ini bahkan hanya untuk melepas sepatuku dengan baik, kemudian menempatkannya seperti biasa.

Karena sialnya, sekarang aku benar-benar gugup. Padahal Ia memintaku untuk bertemu masih satu minggu lagi. Kenapa aku sudah harus gugup sekarang? Kenapa hatiku mengajak untuk mempersiapkan segala sesuatunya dari sekarang? Oh tidak. Memang apa yang harus kupersiapkan? Sedangkan yang akan kutemui hanya dirinya, bukan para menteri dan jajarannya.

Aku tak sanggup. Aku tak akan sanggup jika hari-hariku ke depannya harus kujalani dengan penuh kegugupan.

Aku beranjak naik ke atas kasurku. Menggigit jari dan menyugar rambutku. Lalu mengusap wajahku kemudian menutupnya dengan sebelah tangan. Mengubah-ubah posisiku dari terlentang hingga tengkurap. Tolong, Biarkan aku dengan posisi ini sebentar saja. Biarkan aku berpikir jernih untuk beberapa saat. Biarkan aku menenangkan urat syaraf dan jantungku yang berdenyut kencang sedari tadi. Kemudian aku mengubah posisiku lagi untuk menghadap langit-langit kamarku. Kemudian aku berpikir,

Apa ini rasanya? Apa seperti ini rasanya? Ketika hatimu menyukai seseorang, namun otakmu membencinya?

Aku memejamkan mataku, kemudian mengambil napas lalu membuangnya perlahan.

Ini rumit. Sangat-sangat rumit. Bahkan rumitnya memasak rawon lebih kusukai ketimbang memikirkan hal yang sebenarnya sepele seperti ini. Meskipun memang benar, aku sendiri yang menjadikan situasi ini menjadi rumit.

Ketika aku tengah tenggelam dalam pikiranku sendiri, handphone yang kuletakkan di saku celana jeans ku bergetar, membuyarkan segala pemikiran tak jelasku tentangnya. Saat kutengok nama pemanggil di layar hp-ku, aku sedikit meringis sebelum mengangkatnya.

Sebenarnya aku sedang tidak ingin diganggu oleh siapapun untuk beberapa waktu. Pikiranku sedang kacau dan runyam. Karena satu ajakannya tadi, begitu merusak seluruh ketenangan jiwaku.

"Halo, Gas."Sapaku agak canggung. Mengingat semenjak tragedi aku menolaknya, kami tak pernah bertemu ataupun berkomunikasi lagi.

"Hai, Rin. Hmm—malam ini kamu sibuk, nggak?".

"E—em—nggak sih". Kataku sedikit terbata, karena aku sudah mengetahui sebagian besar kemana arah pembicaraan ini.

"Jalan, yuk". Ajaknya, yang tentu saja membuatku langsung menoleh heran ke arah handphone-ku.

Tepat bukan? Apa semua lelaki memang seperti ini? Begitu to the point seperti tadi? Atau hanya Bagas seorang yang memang tak punya bakat basa basi?

Dalam beberapa hal, aku sangat menyukai seseorang yang tak bertele-tele dan dengan jelas mengutarakan maksud dan tujuannya. Tapi hatiku, tak mengiginkan Bagas yang melakukannya.

Ah, aku jadi teringat si kacang hijau itu lagi. Kemarin, dengan pandainya Ia mengajakku berbicara dengan penuh basa-basi busuknya hingga ratusan kilometer panjangnya. Sulit mengartikannya sampai akhirnya Ia memberikan clue-nya. Oh ya, sebelum kami mengakhiri percakapan seratus persen tak penting itu, Ia mengatakan akan memberikanku sebuah pertanyaan. Jika kuterka, itu pasti akan menjadi salah satu pertanyaan terbodoh di dunia. Dan jika terbukti begitu, dirinya akan kurekomendasikan untuk masuk ke dalam daftar tujuh keajaiban dunia. Karena aku yang terlalu bermurah hati.

Sedetik kemudian aku sudah berniat manaruh handphone-ku kalau saja suara Bagas dari seberang sana tak menyadarkanku bahwa telepon kami masih tersambung.

"Arin?!" Tanyanya kebingungan.

"Ah...iya. Iya, Gas. Dimana?" Bodohnya aku yang bisa-bisanya lupa bahwa teleponku masih tersambung. Mengapa akhir-akhir ini perhatianku mudah teralihkan?

Kemudian setelah Ia mengatakan tempat dan waktunya, akulah yang pertama memutuskan percakapan kami. Baik, ini masih jam dua siang. Kami masih akan bertemu sekitar enam jam lagi. Aku masih bisa mengistirahatkan mata dan tubuhku ini terlebih dahulu, mengingat hidup ini penuh dengan kejutan dan hal-hal luar biasa yang tak pernah kita bayangkan sebelumnya.

                                ⚓

"Mah, Arin mau keluar bentar, ya. Sama temen." Ucapku sedikit nyaring karena posisiku yang berjauhan dengan mama. Aku sedang mengikat tali sepatuku di tengah pintu dan mama yang kuduga berada di ruang keluarga sedang memutar lagu-lagu lawas kesukaannya.

"Sama siapa, Rin?". Tanya mama sambil berjalan kearahku. Ya ampun, mengapa tak biasanya mama kepo dengan siapa aku keluar? Ketika aku hangout dengan sahabat-sahabat unyu- ku itu, mama tak pernah bertanya. Tapi kali ini? Oh habislah aku!

Sambil membuang wajah ke kiri aku mengatakan, "Hmm...Ba...*uhuk*...Gas". Kataku sambil terbata, terbatuk, dan terjeda agar mama tak dapat menerka jawabanku.

"Hah? Siapa, Rin?" Tanya mama mengulangi.

Kemudian kujawab dengan jawaban yang sama, namun batukku kutambah dua kali lipat. Melihatku yang selalu terbatuk, mama dengan sigap menepuk-nepuk punggungku.

Kulihat mama berpikir kembali, "Ba, uhuk, Gas," kemudian melanjutkan, "Ya Allah! Bagas, Rin?!". Selamat! telah kunobatkan mama sebagai S3 tebak-menebak dari Universitas Negeri Ngeri.

"Haaa...kamu CLBK ya? aduh...kalo gitu kenapa kamu pakai baju warna abu-abu gini, sih? Harusnya warna yang gembira gitu dong, Rin. Ini make-up kamu kok tipis banget sih? Tambahin blush-on dikit deh biar makin merona. Sama ini..." Kalimat mama terpotong olehku. Mama yang sebelumnya menyisir-nyisir rambutku dengan tangannya, ku turunkan perlahan. Lima belas menit sudah aku terhalang oleh mama.

Mama mengetahuinya. Dulu, aku pernah menyukai Bagas dan menuliskannya di lembaran akhir buku matematikaku. Lalu ketika mama mengecek nilaiku, Ia mendapatinya. Mama tak marah, namun mama menasehati, karena memang belum saatnya untukku boleh merasakan rumitnya dunia percintaan ketika aku masih duduk di bangku sekolah menengah pertama.

Sekarang, mama mendapatinya lagi. Namun kali ini, dengan waktu yang berbeda, rasa yang berbeda, dan nama yang berbeda.

                                 ***

Notes :
▪ Mulai part 10 dan seterusnya, aku cuma pake satu pov / sudut pandang. Yaitu orang pertama. Yang mana 'aku' adalah Arin.
▪ Dan karena pov nya ganti jadi si Arin, jadi mulai dari judul sampai sinopsis juga udah aku ganti ya. Cekidot aja!

Menurut kalian gimana? Komen kritik/saran ya!! Jangan lupa VOTE nya dong:)
.
Happy sunday❤have a wonderful day!

Satu Alasan [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang