Bagian 37

3.5K 313 27
                                    

"Ketidaktahuan dan ketidakpastian kadang-kadang jauh lebih membunuh daripada pembunuhan."

- Leila S. Chudori

                                 ⚓

Gorden jendela masih tertutup. Namun, sinar keemasan dari sang surya yang terasa menyengat dari sisi di baliknya, sudah nampak seperti ingin menerobos masuk dan menuntut untuk segera dibuka.

Aku baru terbangun dari tidurku sekitar pukul sepuluh pagi, mengingat aku memutuskan untuk kembali ke rumah sesaat setelah menunaikan ibadah subuh di musala rumah sakit. Sebenarnya, aku masih merasa sangat mengantuk dan waktu tidurku ini masih jauh dari kata cukup akibat aku yang terjaga sepanjang malam.

Aku menyibak selimut dan bangkit dari peraduanku dengan terpaksa, lalu segera bergeser menuju cermin panjang yang menempel pada lemari. Aku menggelung rambutku tinggi lalu berdiri memandangi wajahku tanpa melakukan apapun.

Yang sialnya, aku nampak sangat menyedihkan.

Kaos putih berlengan pendek bertuliskan angka 93 di sisi kiri atas, dengan celana hitam yang agak longgar sepanjang lutut, aku berdiri mematung, serta mulai menjelajahi rupaku sekarang.

Rambut hitamku nampak kusut dan berantakan. Mataku juga terlihat lelah dan merah serta diimbuhi dengan kantung mata yang juga lebih tampak dari sebelumnya. Bibirku pun pucat, sangat menggambarkan bahwa memang tenggorokanku terasa kering seperti sekarang.

Aku mungkin masih akan berlama-lama di depan sini jika saja handphone-ku yang masih dalam posisi tersambung pada pengisi daya di atas nakas itu tidak berdering.

Aku berbalik dan berjalan ke arahnya sambil menggaruk tengkukku yang agak gatal.

Udah bangun belum?

Ah, rupanya pesan singkat dari mas ku yang begitu perhatian. Ia memang sangat manis.

Iya udah, ini mau turun.

Oke, cantik.

Aku tersenyum melihat balasannya yang dalam tempo sepersekian detik bisa sangat cepat kepadaku di situasi dan kondisi apapun itu. Aku sangat bersyukur dan bahagia jika mengingat bahwa mas Rayhan lah yang menjadi separuh sayapku sekaligus pengganti sosok ayah sekarang ini. Aku benar-benar beruntung bisa mendapati ia sebagai kakakku.

Ku taruh kembali handphone-ku di atas nakas lalu bersiap untuk segera membasuh tubuh. Sepertinya, air dingin yang meluncur dari shower akan sangat segar ketika bulirnya menyentuh kulitku. Langsung saja aku memasuki bilik mandi dan melaksanakan niatku secepat mungkin.

Setelah menyelesaikannya, aku memakai jubah mandi dan membungkus rambutku yang basah dengan handuk persegi panjang yang memiliki warna senada dengan jubah mandiku. Aku mengganti baju sekilat mungkin, dengan tanpa duduk di bangku rias, aku mengusapkan krim pelembap dan mengoleskan lipbalm pada bibirku. Lalu segera turun dan menyambut sarapan yang hampir menjadi makan siang.

Setelah aku sampai di bawah, tak kulihat mama ataupun mas Rayhan yang biasanya masih sibuk mengotak-atik sesuatu di dapur atau bahkan hanya duduk untuk bersantai. Lalu kulihat bude melintas dengan membawa gayung entah darimana atau akan kemana. "Bude, mama sama mas kemana?"

"Tadi katanya mau pergi sebentar, mbak. Tapi nggak ngomong mau kemana."

Aku berpikir sejenak. "Hmm ... oke," jawabku singkat. Tapi memang tak biasanya mereka pergi hanya berdua tanpaku, bahkan sama sekali tak memberitahuku. Baiklah, aku mencoba untuk dewasa.

Kemudian, aku berbalik dan memutuskan untuk melihat-lihat serta menghirup udara segar menjelang siang di teras depan. Ku lepaskan handuk biru yang masih membungkus rambutku, lalu berjalan sedikit ke bagian samping rumah dan menjemurnya dengan rapi.

Satu Alasan [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang