"Cinta itu butuh keberanian. Jika kau rasakan, maka peganglah. Peganglah erat-erat, karena Ia belum tentu akan kembali lagi."
- Winna Efendi
⚓
"Kapal asing pencuri ikan asal Malaysia, Jenderal."
"..."
"Secara sengaja, Jenderal. Pada awalnya, setelah kami memperingati mereka supaya segera pergi dari perairan kita, mereka akan langsung bersedia pergi. Tapi ternyata, setelah kapal mereka berhasil menyingkir sedikit, salah satu dari anak buah kapal mereka, berhasil menembak Adam, Jenderal." Aku terkejut dan spontan menutup mulut.
"..."
"Kami kira mereka sudah benar-benar pergi."
Baru saja telah kudengar dengan samar-samar, percakapan antara beberapa orang tentara tadi dengan pria paruh baya yang masih nampak segar bugar. Yang tak lain dan tak bukan adalah ayah Gina, sesaat ketika aku akan kembali dari toilet. Namun, aku tak mampu mendengar dengan jelas apa pertanyaan yang di lontarkan oleh ayah Gina, dan hanya jawaban samar itulah yang sekiranya masih dapat kusimpulkan.
Jadi, Adam bukan terluka biasa. Tapi, Ia tertembak. Itulah fakta yang dapat kutangkap sejauh ini.
Seketika aku langsung terbayang kejadian dimana Ia berlumuran darah petang tadi. Apa Ia akan baik-baik saja? Apa Ia bisa melewatinya?
Cepat atau lambat, dan apapun alasan dibalik kejadian ini, aku memang harus mengetahuinya. Dengan resmi diberitahu, ataupun harus mengendap-endap seperti ini, aku tak perduli. Toh, aku juga tak akan membocorkannya pada siapapun.
Mendengar percakapan diantara mereka, apapun itu, setiap kalimatnya berhasil membuatku merinding. Ternyata setiap tugas apapun yang mereka emban, nyawa mereka lah yang bisa saja menjadi taruhannya.
Kadang, aku bisa merasa tinggi dan masa bodoh dengan apa yang mereka kerjakan di belakangku. Aku tak mau tahu dan bahkan pernah meremehkan sosok-sosok 'pahlawan' seperti mereka. Tapi kini setelah mengetahui yang sesungguhnya, lalu dikuatkan dengan kejadian seperti sekarang, pastilah pikiranku sebelumnya sangat amat egois.
Begitu aku tersadar dari lamunanku, aku cepat-cepat beranjak pergi dari tempat tidak aman ini. Aku harus cepat-cepat pergi sebelum aku tertangkap basah sedang menguping pembicaraan mereka. Aku segera mengambil jalan memutar walaupun jaraknya akan dua kali lebih jauh dari ruang tunggu gawat darurat.
Tak henti-hentinya aku mengedipkan mataku agar bening air mata yang membalut buram mataku, segera hilang dan aku akan nampak baik-baik saja seperti tidak tahu-menahu. Biarkan Gina mengetahui itu dengan sendirinya. Ia tidak boleh menangis untuk keseribu kalinya lagi hari ini. Tanpa diminta, aku yakin pasti ayahnya sendiri lah yang akan menjelaskan hal itu padanya.
"Kok lama banget?"
"Hmm, tadi ada ibu-ibu lama banget." Ujarku membual, sambil mendaratkan bokongku di kursi keras ini.
Gina mengangguk lalu bersandar ke dinding di balik punggungnya. Ia kelihatan sangat buruk sekali saat ini. Ia juga nampak kelelahan dan mengantuk. Rambut yang sebelumnya disisir dengan rapi, kini sudah nampak sangat berantakan terutama di bagian puncak kepalanya. Matanya memejam, dan semburat merah dari bengkak tangisnya tak dapat disembunyikan.
Ia pasti sangat khawatir, dan itu tak mungkin diragukan lagi.
Di sela-sela pejamannya, Gina tiba-tiba berujar, "kira-kira, keadaannya gimana ya, Rin?" Aku yang baru saja menunduk, seketika menoleh lagi ke arahnya.
"Dia pasti bakal baik-baik aja. Dia kuat, Gin. Kamu tau itu," aku berbicara menghadapnya yang masih memejamkan kedua matanya, lalu setetes bulir bening meluncur bebas dari ujung mata kanannya, yang cepat-cepat diusapnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Alasan [HIATUS]
Romance"Apakah sebuah kesalahan jika saya memiliki profesi dengan seragam seperti ini? Saya mencintai negara saya, dan saya berusaha untuk menjaga negara ini seperti apa yang saya lakukan sekarang, bersama seragam ini. Lalu tidak bisa kah saya melakukan ha...