"Masa lalu Saya adalah milik Saya, masa lalu Anda adalah milik Anda. Namun masa depan, adalah milik kita berdua".
- B.J. Habibie
⚓
|Arin POV|
Aku menelan ludah. Mencoba tersadar dari apa yang baru saja dikatakannya. Bibirku membuka dan mengatup kembali dengan cepat. Aku tak bisa berpikir dengan baik. Aku benar-benar kebingungan. Aku terdiam, karena aku tak tahu harus menjawab apa. Ini semua terasa begitu mendadak. Karena aku belum mempersiapkannya dan karena aku memang tidak akan pernah siap.
Tapi satu hal yang tak akan pernah ku sesali dari pertemuan ini. Dari sini aku mengetahui, bahwa ternyata, ia juga masih mengingatku. Tak ada yang lebih membahagiakan selain itu.
Lalu aku tersenyum simpul. "Maaf, siapa ya?" Kataku, dengan penuh keyakinan yang kubuat-buat. Oh, hatiku seperti bergetar dan aku sedikit merinding setelah mengucapkannya. Aku bahkan terdengar begitu jahat. Tapi aku terlalu malu dan gengsi jika mengatakan bahwa ya, aku masih mengingatnya dengan sepenuh kesadaranku. Sepenuhnya. Bisa-bisa ia mengira aku adalah wanita pendendam yang belum mengikhlaskan tragedi konyol tersebut, walaupun memang seperti itulah kenyataannya.
Ia belum menjawab, tapi ia terus memandangiku dengan keteguhan hatinya, juga pandangannya yang seperti menerobos masuk, mencoba menembus kedalam mataku. Aku juga sempat berpikir bahwa, jawabanku tadi bukannya mendekatkan kami, tapi malah semakin menjauhkan kami. Sebenarnya dalam hati, aku juga ingin mengenalnya lebih jauh, dan juga berteman dengan seorang seperti dirinya. Tapi aku punya luka, dan seragamnya, malah semakin membukanya.
Kami berdua hanya berdiri canggung dan saling menatap. Aku berani bertaruh, teman-teman seperjuangannya yang sedang duduk di belakang sana pasti tengah menduga hal yang bukan-bukan. Itu semua terlihat dari bagaimana mereka ber-tujuh menatapku dan dia, Adam.
Saatnya aku akan mengakhiri semua ini. "Hmm...mas, kalo gitu saya permisi" Kataku agak terburu-buru lalu berbalik cepat.
"Terus ini apa?" Ucapnya separuh selesai, yang membuatku terhenti seketika. "Arina?" Ia melanjutkan dari balik punggungku.
Bagaimana bisa ia mengetahui namaku?
Mendengar ia menyebutkan namaku, lantas aku berbalik lambat. Dan pemandangan pertama yang ia suguhkan kepadaku adalah— aku telah menemukan buku catatan biruku berada di genggaman tangan kanannya yang terangkat di udara.
Mengapa bisa? Bagaimana bisa?
Mataku membola, jantungku juga berdegup semakin kencang tak menentu, bagaikan peserta lomba lari jarak dekat. Bahkan kini ritmenya semakin meningkat setiap detiknya. Aku tengah terguncang.
Bagaimana? Bagaimana jika ia membacanya? Bagaimana jika ia menemukan namanya yang pernah kutulis di dalam sana? Oh, bagaimana ini?
Sekarang, aku telah benar-benar menemukan situasi berbahaya yang sebenarnya. Dan di saat bahaya itu datang, di saat itu pula keberanianku akan semakin besar setiap detiknya. Karena aku keras kepala, aku tidak akan mundur hanya karena ancaman orang lain. Keberanianku justru selalu membumbung setiap kali ada upaya yang menggentarkanku.
Jangan pindahkan kakimu ke belakang, walau hanya sejengkal, Arin! Berjuanglah! Untuk dirimu sendiri, untuk hatimu sendiri!
Aku berkedip. Aku mendongakkan kepalaku sedikit lebih tinggi. Aku menarik dan menghela napas. Lalu aku berjalan mendekat kearahnya. Mendekat dengan penuh kemantapan hati. Kali ini, aku akan menjawab apapun pertanyaan yang akan ia lontarkan. Kali ini, aku akan benar-benar menatap tepat di kedua matanya seperti seharusnya, kali ini aku akan menyingkirkan semua gundah yang bertengger di hatiku selama satu tahun ini. Dan kali ini, mulai hari ini, dan seterusnya, biarkan aku mulai menyukai hari Rabu seperti sedia kala.
"Aku merasa tersanjung karna kamu masih ingat aku," .Ucapku memberikan jeda, "Setelah satu tahun lamanya". Aku melanjutkan dengan semua tekadku.
Sambil tersenyum ia mengatakan, "Saya belum bertanggung jawab, mana mungkin saya lupa".
Deg!
Aku tak percaya ia akan membuatku luluh untuk yang kesekian kalinya. Aku juga tak menduga ia akan membuatku bungkam karena kata-katanya. Untuk yang satu ini, entah mengapa terdengar begitu sangat spesial. Ah! Pasti saja karena ia mengatakannya langsung di hadapanku sambil menatapku tanpa satu kedipan pun.
"Kalo gitu... aku yang minta maaf karna mungkin udah lupa sama kamu". Sambil tersenyum getir aku mengatakannya. Terlebih sambil mengatur ekspresi se-natural mungkin.
Ia tersenyum lagi. Kali ini tersenyum sambil menatap buku kecilku yang kurang lebih se-per-empat bagiannya masih terdapat noda bekas es blender yang masih tercetak dengan jelas berupa warna kecoklatan. Mungkin itu mengingatkan dirinya akan kesahalahannya satu tahun yang lalu.
Sedetik kemudian, ia mengangkat kepalanya dan menggeser pandangannya untukku.
"Entah kenapa, saya ngerasa kalau kamu sebenarnya nggak lupa sama saya". Kemudian sambil melirik lembar terbelakang dalam buku catatanku. Seketika aku mengernyitkan dahi.
"Disini ada nama saya, sekaligus tanggal pertemuan kita yang pertama kali". Ia tersenyum geli.
Astaga! Matilah aku!
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Alasan [HIATUS]
Romance"Apakah sebuah kesalahan jika saya memiliki profesi dengan seragam seperti ini? Saya mencintai negara saya, dan saya berusaha untuk menjaga negara ini seperti apa yang saya lakukan sekarang, bersama seragam ini. Lalu tidak bisa kah saya melakukan ha...