Bagian 23

4.2K 290 7
                                    

"Saya tidak pernah tahu jika yang lebih menyakitkan bukan menghadapi kematian, melainkan menghadapi kehidupan."

- Djaenar Maesa Ayu

"Eh, Bagaass...Lama banget nggak pernah keliatan. Ayo masuk," mendengar suara dengungan mama, aku buru-buru keluar dari kamar kemudian mengintip dari lantai atas.

Benar saja, tak lama berselang, Sang Permaisuri kini memanggilku turun untuk menyapa dan menemaninya.

"Ariiin...ada Bagas nih, turun sini! Jangan di kamar terus." Aku memejamkan mata dan menghela napas. Baru saja aku berhasil menutup pintuku dengan perlahan, kini aku sudah harus membukanya lagi.

Mulai dari aku menuruni anak tangga yang pertama, aku sudah bisa merasakan sekujur tubuhku yang merinding akibat tatapan Bagas yang tak lepas sedikitpun dari diriku. Aku merasa risih.

"Hai! tumben kesini," sahutku terdengar ketus. Seketika mama langsung melirikku, dan kubalas dengan hanya mengedikkan kedua bahuku.

"Iya rin, kangen sama mama kamu nih." Jawabnya dengan senyuman aneh yang tak dapat kuartikan. Aku pun menatap dan menilainya naik turun, dari ujung rambut hingga ujung kaki, ketika Ia sibuk bercengkrama dengan mama.

Entah mengapa, aku merasa bahwa kedatangan Bagas kali ini membawa maksud dan tujuan tertentu, yang aku dan mama tidak ketahui. Tapi mama pasti tidak akan menyadarinya. Maka dari itu akulah yang harus waspada.

"Ini aku bawa banyak pie susu kesukaan mamah, oleh-oleh dari sepupu, baru pulang dari Bali." ucapnya sambil tersenyum.

Hening.

Kami tenggelam dalam pikiran masing-masing. Siapa gerangan kah yang Ia panggil dengan sebutan, MAH?

Aku mengerutkan dahiku dalam-dalam. Memberikan tatapan tidak suka atas apa yang baru saja di katakannya. Lalu kulihat mama yang juga kebingungan mendengar ucapan Bagas tadi.

Melihat kami berdua menampilkan ekspresi bingung dan terutama aku yang memang menatapnya terlalu berlebihan, Ia memberi pernyataan,

"Boleh saya panggil Mah aja tan? Biar lebih akrab..." jawabnya mengerikan.

Astaga demi apapun! Dimana kira-kira Ia meninggalkan otak dan urat-urat malunya?

Begitu mendengarnya selesai mengatakan hal gila tadi, aku langsung membelalakkan mata, membuang wajah, lalu menganga tak percaya dari balik punggungnya.

Tapi mama terkesan seperti pasrah dan menyambut baik permintaannya dengan ekspresi yang senang-senang saja dan mengangguk-angguk saja.

Itulah ma, ada hal yang kau tak tau.

"Eh, gimana kuliahnya, Gas? Lancar?," sementara aku masih menetralkan rasa heranku terhadapnya, mama memulai pembicaraan lagi.

"Iya lancar dong, Mah. Apalagi kalo di kampus ketemu Arin, jadi tambah semangat."

ASTAGA ASTAGA!!! Katakan padaku makhluk dari jenis apa dan terbuat dari apa Bagas ini? Tak cukup Ia mempermalukan dirinya sendiri, sekarang Ia juga menyeret namaku dalam omong kosongnya. Sebenarnya apa maunya? Mengapa Ia mulai berani membual seperti ini? Aku yakin ini tak akan baik-baik saja.

Baiklah. Ada beberapa hal yang mungkin kurang aku sukai dari Bagas, terutama semenjak kami berpisah dan Ia harus mengenyam pendidikan menengah atasnya di luar kota.

Ia sama sekali tak pernah mengirimiku pesan atau bahkan mencoba mencariku di media sosial. Justru disini, akulah yang setia dan berusaha mencari kontak atau segala yang berhubungan dengan dirinya melalui adik teman mas Rayhan yang kebetulan berdomisili di kota yang sama dengan Bagas. Tapi aku tak pernah marah ataupun berprasangka buruk terhadapnya.

Dan ketika aku sudah mendapatkan kontak dan mencoba menghubunginya, Bagas sama sekali tak pernah mau membalas pesanku, walau aku tau persis bahwa dia sedang dalam keadaan aktif. Beberapa kali aku juga sempat mencoba meneleponnya tapi Ia selalu me-reject-nya. Pernah sekali Ia mengangkatnya, tapi Ia beralasan sedang sibuk dan akan meneleponku kembali nanti. Tapi apa? Nihil. Aku juga bersusah payah menutupi keburukan ini dari mama yang tentunya selalu bertanya kepadaku bagaimana kabar sahabat kecilku itu.

Dari situ, aku mulai kecewa. Terlebih sempat beberapa kali aku mendapati foto profilnya yang berubah-ubah, nampak bersama wanita yang tak lain dan tak bukan adalah pacarnya.

Ia tak pernah memulai untuk membuka percakapan denganku, bahkan hanya sekali. Semudah itu kah dirinya melupakan aku?

Lalu sekarang Ia kembali dengan perasaan yang menggebu-gebu dan seperti tergila-gila padaku?

Ingat Bagas, aku bukan lendir di hidungmu yang bisa kau tarik sesuka hatimu.

Kini aku sudah dewasa. Dan aku sudah sangat mengerti mana yang baik atau tidaknya terutama untuk diriku sendiri. Aku juga selalu ingin menjelaskan semuanya kepada mama, tapi aku tak pernah tega.

Aku juga tetap ingin menjalin hubungan baik dengannya, tapi tetap dalam batas yang sudah aku tentukan.

Ia mungkin memang terkenal dengan tampannya, tapi aku bukanlah wanita yang sama seperti puluhan mantan pacarnya, atau para wanita yang selalu bersedia menjadi pelampiasannya kapan saja. Aku tidak semudah itu, Gas. Aku tidak semudah itu.

Lelaki yang bahkan sudah jelas-jelas memiliki sifat dan hati yang baik pun masih saja aku tolak, apalagi dirimu yang...nyata-nyata sudah terpampang jelas?

"Udah lama saya pengen kesini, dan ngomong ini langsung di depan mamah," gelagatnya terlihat mencurigakan.

"Ngomong apa, Gas?.

Kemudian dengan agak malu-malu Ia mulai memelorotkan dirinya dari sofa yang tadi Ia duduki, menghadapku, lalu mengambil posisi...

Bertekuk lutut?

Kemudian dengan sebuah cincin yang bersarang di dalam kotak kecil berbentuk hati berwarna merah itu, Ia berujar,

"Arin, kamu mau kan jadi pacarku?."

Keheningan selama beberapa saat pun tak dapat aku hindarkan.

Di detik Ia mengatakan kalimat itu, di situ pulalah aku merasa ingin pingsan karena kaget dan frustasi bukan kepalang.

Setetes harapan pun muncul kala Mas Rayhan yang secara tiba-tiba menampakkan diri dari pintu masuk, dan agak terlihat speechless ketika menyaksikan momen-momen sialan ini.

"Arin udah punya pacar, Woy!" Ia mengalihkan tatapannya kepada mama. Lalu melanjutkan, "tentara ma. Kemarin dia kesini ngasih hadiah buat Arin. Mas sendiri yang nerima." Setelah mengatakannya, Ia melirikku. Memberikan sebuah tatapan, yang tentunya menyiratkan sesuatu.

Kemudian mas Rayhan melanjutkan perjalanan luar biasa santainya ke arah dapur. Masih tetap dengan gerakan tenangnya, menikmati es krimnya, dan meninggalkan aku lagi, bersama atmosfer kecanggungan yang juga luar biasa padatnya.

Mama menatapku lekat-lekat. Dan aku hanya menggeleng bingung.

Astaga, Ini semua terjadi begitu cepat. Ada apa dengan diriku?


Satu Alasan [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang