Bagian 33

3.3K 304 37
                                        

"Dan tidak melulu tepat waktu, hidup kadang butuh terlambat untuk menyadari kesalahpahaman yang terkadang tak sengaja diciptakan."

- Inggrid Sonya

                                 ⚓

"Adam gimana? Aku pingsan berapa lama?" Kataku yang setengah terlonjak bangun dari kasur pasien yang entah bagaimana caranya, tapi aku memang sudah terbaring di atas sini.

Lagi-lagi sesosok lelaki bermata cokelat tajam ini lagi, sedang menatapku datar, yang kulihat sebagai pemandangan pertama saat membuka mata, "diantara kalian berdua, cukup dia aja yang tidur. Kamu jangan ikut-ikutan, jangan lemah gitu." Ucapnya seraya meraih air mineral di atas kursi yang letaknya agak jauh dari tempatku sekarang. Lalu ia menyodorkannya kepadaku yang tengah menunduk. Aku menerimanya, dan meminumnya agak lebih banyak dari biasanya. Entah mengapa tenggorokanku terasa begitu kering saat ini.

Aku mengencangkan kedua kakiku dan berusaha untuk tidak memperlihatkan rasa pusing yang sedikit mendera kepalaku. Kumohon pada diriku sendiri agar aku tidak limbung saat berjalan. Perlahan tapi pasti, aku beranjak dari kasur dan ruangan nyaman ini dengan tidak sabaran, serta tanpa meminta persetujuannya. Untungnya, Ia hanya menatapku pasrah dan tidak menyemburkan komentar apapun yang sekiranya dapat menahanku. Padahal aku amat sangat yakin, ia pasti merasa dongkol melihatku yang begitu keras kepala dan pastinya tidak akan mau mendengarkan wejangan apapun yang ia akan ucapkan.

Aku sudah mencapai daun pintu. Melihat ke sisi kanan dan kiri. Melihat kondisi sekitar yang begitu sepi, juga kuprediksi di luar sana masih dalam keadaan gelap gulita. Ditambah aku yang tak punya pengetahuan apapun tentang letak ruangan Adam atau seberapa jauh jarak yang harus kutempuh atau bahkan hanya menentukan kemana aku harus mengangkat kakiku terlebih dahulu.

Tunggu, mengapa mas Rayhan hanya berdiam di belakang sana dan malah sibuk berbicara di telepon? Apa ia tak punya rasa iba atau bagaimana?

Karena aku juga tak ingin terlihat bodoh, aku memantapkan jiwaku untuk memilih opsi kanan begitu saja, dan dengan penuh percaya diri tentunya. Sampai belum sempat aku melangkah untuk yg kedua kalinya, tiba-tiba ia bersuara dengan agak nyaring, "kiri!"

Mendengar sahutannya, aku buru-buru memutar langkah ke arah sebaliknya. Dengan wajah gila tidak berdosa, aku tak perduli dan langsung membawa tubuhku berputar ke belakang dengan mulus dan berjalan lurus tanpa menoleh ke arahnya lagi ketika aku melewati pintu ruangan tadi. Aku terkikik geli.

Setelah aku berjalan singkat dengan hanya melewati setidaknya satu simpangan, senyumku langsung begitu cerah dan sumringah. Aku sudah bisa melihat ruangan instalasi gawat darurat itu dengan tulisan berwarna putih lalu merah sebagai background-nya, yang terpajang besar tepat di atas ruangan tersebut. Aku berjalan cepat ke arahnya.

Namun setelah aku sampai, tak kutemukan Gina dimanapun. Hanya ada dua orang tentara yang duduk bercengkrama dan mungkin sedang berjaga disini.

"Maaf mas, liat Gina gak?" Aku bertanya pada mereka karena tak mungkin mereka tak mengetahui siapa Gina.

Salah satu dari mereka yang tadi sempat melihatku berjalan dari ujung sana, membalas, "oh, tadi pulang mbak dijemput sama beliau. Sekitar setengah jam yang lalu." Aku melongo bodoh.

Gina bisa mandi.

Itulah hal yang sejak tadi berputar indah di dalam pikiranku. Di dalam lubuk hati terdalam, aku sangat ingin membasuh tubuh, mengganti baju, dan merapikan wajah serta rambutku yang entahlah, aku sendiri tak tau bagaimana cara mendefinisikannya. Hanya untuk berjaga-jaga, jika Adam telah siuman dari tidur panjangnya, aku sudah menyiapkan segalanya.

"Sekarang keadaannya Adam gimana, ya?" Aku bertanya lirih ke arah mereka berdua sembari mengambil posisi duduk yang terjeda oleh satu bagian kosong di sebelah kananku.

Satu Alasan [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang