"Bukankah kita baru bisa bergerak jika ada jarak? Dan saling menyayangi bila ada ruang? Kasih sayang akan membawa dua orang semakin berdekatan, tapi dia tidak ingin mencekik, jadi ulurlah tali itu."
- Dee lestari
⚓
Aku tersentak ketika mendengar Adam mengatakan itu tepat di hadapanku. Aku tak menyangka jika ia begitu berterus terang disaat semua memang menjadikannya sebagai pusat perhatian. Kuakui kepercayaan diri dan keberaniannya mungkin bisa melelehkan aku dalam sekejap, karena sejurus kemudian aku malah tersenyum. Hal manusiawi bukan, jika sekarang hatiku terasa seperti dipenuhi dengan bunga-bunga? Sayangnya, aku tak pandai meyembunyikan responku yang saat ini sudah menampilkan kemerahan di kedua pipiku. Menyadari wajahku yang memanas, aku memutuskan untuk menunduk.
Semua orang di ruangan ini bahkan tertawa dan memancarkan aura bahagianya setelah mendengar makhluk itu memilihku sebagai orang yang disukainya. Namun, tidak denganku.
Semakin aku tersenyum, semakin jelas bayangan tentang peristiwa papa di masa lalu. Jika ia tahu bahwa pelakunya adalah seseorang berseragam seperti yang ia inginkan dulu, apakah sekarang ia akan tetap menyetujuiku?
"Y-ya?" Ujarku yang baru saja tergugah dari lamunanku. Kemudian, aku menoleh pada mas Rayhan yang kini tengah mengerutkan dahinya padaku.
"Mama sudah dengar sendiri, Rin. Itu sudah jelas. Mama mempersilakan kamu dan semuanya kembali lagi ke kamu."
Aduh, bagaimana ini?
Ku alihkan lagi pandanganku kepada Adam. Dan malangnya, kini kedua tangannya disatukan dengan jari-jarinya yang saling mengait, serta yang paling parah dari semuanya ialah—dirinya yang terus saja menhunjamku dengan tatapan tajamnya tanpa ampun, seperti sangat menunggu jawaban yang akan kuutarakan.
Ini ... sangat-sangat menganggu pikiranku. Perutku seperti dililit dan ... aku tak tahu.
Sekuat tenaga kunetralkan ekspresiku selagi mengangguk. "Semoga kita berjalan dengan baik," kataku sembari menatap lurus pada kedua matanya dan tersenyum di akhir kalimatku. Setelahnya, dapat kulihat Jenderal itu yang tertawa dengan suara renyahnya yang ikhlas dan lega. Lalu Gina yang duduk di sofa terpisah—di sebelah Adam, juga ikut tersenyum sambil bertepuk tangan.
"Kalau menjalani sesuatu yang memang berasal dari pilihannya sendiri kan enak."
Adam menoleh pada Jenderal itu, "Sudahlah, Dam. Karir dan pekerjaanmu itu tidak boleh terlalu dikhawatirkan Biarkan saja itu mengalir. Sesekali, masa depan yang seperti inilah yang juga harus dipikirkan, karena mereka sama pentingnya. Bahkan, ini lebih penting."
"Siap, Bapak."
Jenderal itu beralih pada mama, "Semenjak dengan saya bu, tidak pernah sekali pun saya dengar Adam ini punya pacar. Dia kaku sekali sepertinya."
"Tersenyum saja seakan-akan harus dibayar dulu, jarang sekali saya lihat dia senyum. Makanya cewek-cewek mungkin lihat dia seram, ya?" Semuanya tertawa lagi, kini termasuk Adam walau ia hanya tersenyum. Dan pada akhirnya kulihat juga ia menyunggingkan senyumannya itu setelah sekian lama dengan memperlihatkan deret giginya yang tertata begitu rapi serta ... lesung pipinya yang tercetak di sebelah kanan. Bagaimana bisa hal seindah itu lolos dari pandanganku?
⚓
Aku masuk dan melempar kunci mobil ke sofa ruang tamu sesampainya di rumah. Mama masuk setelahku, dan dengan santai berjalan ke arah dapur seperti tak terjadi apapun sebelumnya, aku ingin berbicara dengannya namun aku tak tau harus memulainya darimana. Mulutku membuka, menutup, membukanya lagi, lalu akhirnya aku berujar, "kenapa mama bis-"

KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Alasan [HIATUS]
Romance"Apakah sebuah kesalahan jika saya memiliki profesi dengan seragam seperti ini? Saya mencintai negara saya, dan saya berusaha untuk menjaga negara ini seperti apa yang saya lakukan sekarang, bersama seragam ini. Lalu tidak bisa kah saya melakukan ha...