"Jangan melihat hujan dari apa yang jatuh, tapi lihat apa yang akan tumbuh"
- Agus Noor
⚓
Ini sudah tanggal dua puluh. Dari tanggal yang dimintanya, itu berarti masih dua hari lagi. Dan sekarang aku mulai bertanya-tanya. Seberapa penting pertanyaan yang akan Ia tanyakan sampai harus bertanya di tempat khusus dan hanya empat mata?, apalagi sampai menyita bukuku itu untuk sementara waktu. Tapi biasanya, orang lain yang tanpa izin membaca atau bahkan hanya memegang bukuku itu, aku pasti akan mengamuk seperti banteng gila. Tapi anehnya, aku bahkan tak merasakan apapun saat Ia sudah menyita bukuku selama tiga hari penuh.
Ini kesalahanku juga yang seperti pasrah dan 'oke-oke' saja saat Ia meminta untuk bertemu dengan tanggal dan tempat yang sudah Ia susun secara sepihak. Harusnya aku memprotesnya waktu itu. Tapi entah mengapa aku hanya berdiam diri dan menerimanya dengan lapang dada seperti seorang gadis yang terpaksa dijodohkan oleh orangtuanya.
Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Mengambil bolpoinku, lalu melanjutkan tugas dari Bu Alin yang sepertiganya sudah kuselesaikan. Aku sudah mengerjakan separuhnya hingga jam satu dini hari kemarin. Tangan dan pikiranku terasa 'gatal' jika aku tak kunjung mengerjakannya. Padahal tugas itu dikumpulkan masih lima hari lagi.
Ya beginilah aku. Jika sedang rajin-rajinnya, tugas makalah untuk tahun depan pun dapat kuselesaikan hari ini juga. Tapi jika sedang malas-malasnya, aku bahkan sama sekali tak akan melirik apalagi menyentuh buku-buku tebalku itu.
Terlebih dalam urusan kebersihan rumah. Jika aku sedang malas tingkat tinggi setinggi gunung everest, biarpun mama berteriak sebanyak sepuluh kali hanya agar aku memegang sapu, itu tak akan kulakukan. Tetapi jika sedang rajin serajin jantung kita semua berdetak, jangankan pekarangan rumah sendiri, kebun dan gudang tetangga saja akan aku bantu bersihkan, sebersih baju pejabat yang baru saja disiram pemutih tujuh botol.
Aduh. Sekarang perutku sepertinya meronta-ronta. Ini pertanda bahaya untuk kelangsungan ke-rajinan-ku. Ah, perutku pasti sedang cemburu. Karena tepat jam delapan pagi, tanganku sudah lebih dulu start memegang bolpoin daripada memegang sesuatu yang dapat ku santap.
Aku berjalan ke arah dapur, sembari kedua tanganku mencepol rambut hitam lebatku dengan asal. Aku juga melirik ke kiri ketika melintasi kamar masku yang ventilasinya masih terlihat gelap gulita menandakan penghuninya yang belum sadarkan diri. Aku berniat menggedor pintunya kencang kalau saja aku tak ingat jika Ia tak sering-sering dapat menikmati ranjang lebar empuknya. Karena sebagian besar waktunya dihabiskan tidur di ranjang kecil yang aku tak tau empuk atau tidak dan pasti tak membuatnya nyaman karena seingatku Ia pernah mengatakan bahwa satu kamar dapat diisi oleh empat sampai lima orang yang mana lebar kamarnya hanya setengah dari kamarnya di rumah ini.
Ya, masku adalah seorang pelaut junior. Ia juga baru saja menyelesaikan sekolah pelayarannya sekitar satu tahun yang lalu. Biasanya, Ia berangkat berlayar sekitar tiga bulan lamanya dan kemudian hanya dijatah satu minggu untuk kembali ke rumah masing-masing. Seharusnya aku memanjakan dan memperlakukan masku seperti kucing abu-abuku yang bernama Pimpim. Aku tak pernah membangunkan Pimpim sampai Ia menyadarkan diri dengan sendirinya. Harusnya aku juga membiarkan masku seperti itu, bukannya malah merecoki dan mengusik ketenangan alam bawah sadarnya.
Akhirnya aku melanjutkan perjalananku untuk meraih gagang kulkas. Dan ketika kubuka, Ya ampun! Nikmat yang mana lagi yang engkau dustakan? Aku merasa tidak sia-sia telah membawa kakiku sampai sejauh ini. Bayangkan saja! Kulkas ini tampak begitu penuh. Mulai dari sayur, ikan, daging dan segalanya yang mentah-mentah, hingga camilan yang langsung dapat kumakan tanpa perlu repot mengolahnya seperti susu, buah, ice cream, cereal hingga cheesecake kesukaanku. Semuanya sudah tersedia bahkan sebelum aku memintanya.
Dan satu lagi, sepertinya aku juga harus berterimakasih kepada asisten rumah tanggaku yang bekerja disini tanpa pernah mengecewakanku. Oh, terutama masku satu-satunya itu. Karena setiap Ia pulang dari perantauan acaknya, Ia pasti membawa begitu banyak makanan ringan yang terkadang tak tau harus kami simpan dimana. Ia bahkan menyediakan lemari berukuran sedang di kamarku yang kuisi penuh camilan khusus untuk diriku seorang.
Aku tak tau sejak kapan aku dimanja seperti ini, mengingat aku anak perempuan bungsu dan kakak laki-lakiku yang sudah sukses lahir dan batin. Tapi sepertinya, ibuku benar-benar memperhatikanku sampai serinci ini semenjak kematian ayahku. Ibu dan masku menjadi lebih protektif dua kali lipat. Aku sangat paham, mereka pasti mencoba menggantikan figur seorang ayah yang tidak aku dapatkan sedari aku baru menginjakkan kaki di bangku sekolah dasar.
Aku harusnya bersyukur. Aku harusnya merasa sangat cukup, bahkan lebih dari cukup.
"Duh...dimana lagi kejunya?!, Mana bibi masih nemenin mama lagi". Ujarku kepada diriku sendiri sambil berjongkok di depan kulkas. Sementara sebelah tanganku masih menjelajahi separuh kulkas ini, sedangkan kedua mataku sibuk mencari kesana-kemari bahkan hingga ke tempat-tempat yang hanya bisa dijangkau dengan menggunakan mata batin.
Kurang lebih sekitar sepuluh menit lamanya aku mengaduk-aduk kulkas ini hingga isinya bahkan sudah berputar seratus delapan puluh derajat hingga telur dan sayur kangkung kini berpindah tempat menjadi di dalam freezer pun juga tak kunjung aku mendapatkan keju yang kucari.
Aku mendengus pasrah. Aku berdiri, kemudian berkacak pinggang. Tapi mataku masih tetap berpatroli mengelilingi kulkas ini dari ujung kiri hingga ujung kanan.
"Ah nggak tau lah!". Kataku membentak sambil menutup pintu kulkasku dengan kencang hingga aku tak tau apa kabar dengan telur-telur yang kupindahkan ke dalam freezer.
Saat aku membalikkan badan, "AAA...!!!", Aku terlonjak mundur. Dengan kedua tanganku yang tepat berada di depan dada. Oh astaga! Jantungku seakan ikut melompat dari peraduannya. Rambutku juga terasa kaku seakan ia merasakan keterkejutanku yang luar biasa membahana.
INGIN RASANYA AKU MENAMPARNYA!!!
"ASTAGA MAS! NGGAK LUCU!!!". Aku berteriak kencang ke arahnya. Kemudian maju mendekatinya untuk memukulinya. Bagaimana aku tidak terkejut saat mendapati masku tengah berdiri di belakangku sambil memegang sekotak keju menggunakan kedua tangannya terlebih dengan menampilkan wajah datar belum mandinya?
Ia menangkap tanganku lalu berkata, "Lagian keju diatas meja gitu kamu malah cari di kulkas". Ia memutar tanganku lalu memberikan keju tersebut di genggamanku sementara aku masih terpaku. Ia melihatku lalu meninggalkanku dengan tatapan menahan tawanya. Setelah itu, kulihat Ia mengambil sebotol air dari kardus di samping lemari piring kemudian berbalik begitu saja menuju kamarnya sambil memiringkan tubuhnya ke kiri dan ke kanan untuk peregangan kecil.
Lihatlah! Santai sekali cara berjalannya seperti tidak pernah terjadi apa-apa diantara kami. Bahkan semesta dapur ini pun tau dan menjadi saksi bisu terjadinya sebuah tragedi diantara kami.
Kepalaku masih sangat panas, sepanas air yang baru saja mendidih. Aku yakin sekarang ini wajahku pasti berwarna merah semerah tomat. Sedangkan tanganku pun mulai meraba-raba apa saja yang sekiranya dapat kulempar tepat ke wajahnya.
Aha! Aku menemukan sendok. Ini pasti akan sangat berguna. Mungkin tingkat ancaman dari senjata ini kecil, tapi senjata ini terbuat dari besi yang kurasa jika mengenai puncak kepalanya akan terasa cukup untuk memaksa dirinya agar berbalik menghadapku untuk meminta maaf.
Aku membidik target dengan segala kemampuan dan naluri ketentaraan dari dalam diriku.
Apa?! Tentara?!
Aku menghitung dalam hati, 1...2...3...SHOOT!!!
Meleset!
Senjataku malah menabrak tembok dan bukannya membentur bola matanya. Kulihat Ia sedikit terkejut, juga sambil melirik sendok yang sudah terlebih dahulu mendarat di lantai. Kemudian Ia mengubah posisinya menjadi menghadapku lalu mengacungkan jempol tangan kirinya keatas. Tapi sedetik kemudian, Ia memutar jempolnya menghadap kebawah sambil tersenyum miring.
OH!!! INI MENJENGKELKAN!!!

KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Alasan [HIATUS]
Romance"Apakah sebuah kesalahan jika saya memiliki profesi dengan seragam seperti ini? Saya mencintai negara saya, dan saya berusaha untuk menjaga negara ini seperti apa yang saya lakukan sekarang, bersama seragam ini. Lalu tidak bisa kah saya melakukan ha...