Bagian 20

4.6K 326 15
                                    

"Aku tak pernah keberatan menunggu siapapun, berapa lama pun, selama aku mencintainya."

- Seno Gumira Ajidarma.

                                ⚓

Kutatap dirinya dengan penuh rasa kebencian, kemarahan tapi juga kesedihan.

"Karena seragammu juga, aku harus hidup tanpa tau gimana rasanya tumbuh dengan kasih sayang seorang ayah," ia tetap menatapku dengan sedih.

"Maksudmu?" tanyanya.

"Sejak aku umur enam tahun, sejak pertama kali aku masuk sekolah. Aku nggak pernah tau gimana rasanya punya ayah, aku nggak pernah tau gimana rasanya nyium tangan seorang ayah sebelum berangkat sekolah, dan aku bahkan udah lupa gimana rasanya...dipeluk sama seorang ayah," napasku yang menderu-deru berpacu cepat bersamaan dengan meluncurnya air mataku.

Aku menjeda beberapa saat untuk mengambil napas. "Kamu mau tau siapa yang udah ngambil dia dari hidupku?" ia tetap memandangiku dan menatap kedua mataku tanpa merespon apapun.

Aku mengangguk-angguk sambil mengusap air mataku, lalu melanjutkan dengan berapi-api, "dia adalah orang yang sama seperti kamu. Kalian punya pekerjaan yang sama, kalian pakai seragam yang sama, dan kalian juga mengucap sumpah yang sama." Tegasku sambil menunjuk-nunjuk tepat di depan dadanya menahan kepedihan, tapi tidak sampai mengenainya.

Aku merasa tenggorokanku sudah tercekat untuk melanjutkan perkataanku, tapi aku merasa ini belum selesai, "kamu pasti berpikir kalo ayahku itu penjahat kan?" aku menggeleng. "Dia cuma warga sipil biasa, seorang pengawas proyek perusahaan," aku mengusap air mataku lagi. "Tapi entah gimana caranya, peluru itu bisa nyasar dan—ayahku lah yang jadi korbannya." Tangisku semakin meledak ketika mengingatnya. Hatiku juga semakin teriris, ketika aku menjelaskan seraya mengingat bagaimana mama yang susah payah merangkai kata untuk memberitahukan kejadian yang sebenarnya kepadaku.

"Sebulan kemudian, keluargaku baru dapat pemberitahuan, bahwa pelakunya...juga berprofesi sama seperti kamu." aku terus saja menghapus bulir-bulir bening yang turun melintasi kedua pipiku bagai air hujan.

Kami berdua terdiam untuk beberapa saat. Aku bisa merasakan ia terus saja memandangiku dengan tatapan iba yang berhasil disembunyikannya, ketika aku sedang menunduk untuk menenangkan sesenggukanku dan mengontrol emosiku, sembari menarik kuat ujung bajuku.

"Jadi, aku sudah punya trauma itu sejak kecil. Dan kamu, sudah membuka semuanya lagi." Ujarku masih dengan isakan tangis di sela-sela katanya.

"Aku rasa, nggak ada yang bisa diterusin dari pertemuan kita sekarang. Dan lebih baik, kita nggak perlu ketemu lagi." Aku menghirup udara sejenak, lalu berkata, "sampai nanti, semoga selalu baik-baik saja, Pak Tentara."

Aku membawa kakiku untuk melewati dirinya dan pulang dengan hati yang selalu hancur seperti biasanya. Terkadang, aku merasa sangat beruntung telah dilahirkan sebagai seorang anak yang selalu baik-baik saja dalam setiap kondisinya. Tapi terkadang, aku juga merasa bahwa aku adalah seorang wanita yang begitu menyedihkan dalam waktu yang bersamaan.

Dan ketika aku sudah berjarak beberapa langkah melewatinya yang tadi masih berdiam kaku, kini aku mendengar ia bersuara.

"Nggak ada orang yang mau salah di dunia ini," seketika aku berhenti melangkah, lalu mengangkat kepalaku yang sedari tadi menunduk menahan tangisan yang juga sudah sangat meronta.

"Nggak ada orang yang secara sengaja, mau melakukan kesalahan. Terutama kami, yang memang dilatih untuk tidak membuat kesalahan." Dari posisi kami yang tadinya sama-sama saling membelakangi, kini aku mendengar gesekan suara sepatu beratnya berbalik ke arahku.

"Terus...kenapa bisa—"

"Kami memang prajurit, dan kami memang sudah terlatih, tapi kami juga manusia, kami juga bisa salah kapan saja." Katanya menginterupsiku tiba-tiba.

Aku terdiam. Aku mencerna kembali perkataannya. Kemudian aku berbalik, "aku tetap nggak akan minta maaf." Ujarku tepat menatap kedua matanya, masih dengan bola mata yang terselimuti bulir bening.

"Dan saya juga nggak akan pernah memaksa." Ia langsung menjawabku tanpa menyisipkan jeda.

Aku tersenyum miring, "andai aja dia nggak seceroboh itu."

"Dan andai aja kamu mau lihat kami dengan kedua matamu," ia terdiam. "Mungkin kamu nggak akan sebenci itu," ujarnya penuh penekanan.

Aku tak tahu. Aku benar-benar bingung sekarang ini. Aku harus percaya dengan pernyataannya, atau aku harus tetap percaya pada pemikiranku sendiri.

Lalu kulihat ia maju tanpa ragu untuk selangkah lebih dekat ke arahku. ia menarik napas, kemudian berkata dengan sopan dan mengangguk perlahan di awal, "izinkan saya untuk menjadi seseorang yang mampu mengubah rasa bencimu...menjadi rasa cintamu."

Deg!

Hatiku berdesir, tubuhku merinding, dan air mataku yang tadinya sudah surut, kini mulai berkaca-kaca lagi. Tapi aku tetap menatap wajahnya. Aku tetap menatap jauh ke dalam dua bola matanya. Aku mungkin tak bisa membaca apa yang ada di pikirannya ataupun melihat apa isi hatinya, tapi dari cara ia mengatakan kalimat yang menakjubkan tadi, aku rasa ia memang bersungguh-sungguh.

Ia tersenyum miris, lalu melanjutkan kalimatnya sebelum aku sempat menjawab. "Ternyata ada satu hal yang baru saja saya sadari selama saya menjadi seorang anggota TNI."

Aku mencoba menebaknya di dalam hati, berpikir untuk menerkanya. Lalu dengan suara yang serak dan mata sembab, aku menjawab, "apa?" tanyaku singkat.

Ia tersenyum lagi, lalu menoleh ke samping kirinya sejenak sambil memandanginya dengan hikmat dan seksama. Dan itulah yang juga membuatku mengikutinya untuk menoleh ke samping kananku.

"teruntuk Indonesia. Saya mencintaimu, dan salah satu rakyatmu," ujarnya dengan mengalihkan tatapannya kepadaku, masih dengan separuh rembulan, yang menjelma menjadi senyumannya.

Satu Alasan [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang