"Jangan tanya kenapa saya mencintaimu. Cinta bukan matematika. Tidak butuh logika. Tidak butuh aksioma."
- Mira Widjaja
⚓
"Bagas?"
Ya. Rupanya, wajah lelaki itulah yang kutemukan pertama kali.
Ia langsung tersenyum seraya mendekat, "se-sepatumu?" Ujarku kikuk mengamati sepatunya dan entah mengapa tiba-tiba aku merasa naik darah. Apa menurutnya itu terlihat bagus?
Ternyata, itu bukan pelangi miliknya. Dan itu, juga bukan kaki kerasnya.
Bodoh kau Arin! Bagaimana mungkin Adam akan kembali setelah semua pernyataan yang belum genap setengah jam lalu, yang kau dengar dari tentara itu?
"Ah, iya. Aku pinjam sepatu mas Rayhan. Keren ya! Hmm, tadi aku sempet mampir ke rumah, tapi kata mamah kamu lagi jogging, dan belum balik. Aku khawatir, jadi aku kesini. Ternyata bener, kamu kehujanan."
'Kau pikir siapa dirimu?' Mungkin raut wajah seperti itulah yang saat ini kutampilkan ke arahnya ketika Ia tengah menunduk, sembari sibuk tersenyum ke arah sepatu yang Ia kenakan.
Ku kepalkan tanganku hingga kuku-kuku jemariku menusuk permukaan telapak tanganku, karena dengan merasakan sengatannya, inilah cara satu-satunya agar aku tetap bisa menjaga kesadaranku. Aku juga berusaha menetralkan napasku yang tidak beraturan karna tengah menahan emosi.
Ck! Padahal aku sudah sangat berharap bahwa akan ada sekali lagi kesempatan yang akan Tuhan berikan kepadaku. Dan akan Ia titipkan bersama sepasang sepatu itu. Tapi rasanya, aku sudah terlalu jauh tinggal di dalam pengharapan dan halusinasiku sendiri.
Mengetahui bahwa orang yang datang dan berdiri di hadapanmu saat ini bukanlah orang yang kau harapkan, itu benar-benar menyakitkan.
Aku mengepalkan tanganku lebih kuat kali ini. Aku bahkan benar-benar ingin menamparnya. Dadaku juga terasa sangat sesak. Entah mengapa aku jadi begini? Aku tak menyukainya! Mengapa Ia mengikuti gayanya disaat aku yang kebetulan juga sedang 'tidak waras' seperti ini?
Lihat! Tak pernah sekalipun aku menjalani kisah cinta sesuai dengan apa yang aku harapkan. Tak salah bukan, jika aku meyebut diriku sendiri dengan kata 'wanita menyedihkan'?
Walau mungkin memang itu bukan salah Bagas sama sekali. Tapi tetap saja, aku sedang tidak ingin melihatnya. Bahkan belakangan ini aku juga memang berusaha menghindar dan menjauh darinya.
Aku minta maaf, Gas. Tapi memang dirimulah yang juga memaksaku, untuk membenci dirimu.
Aku memang diam, tapi aku tahu. Kau memiliki hubungan dengan wanita itu, kan?
Aku tersenyum simpul, membalas tatapannya dengan lekat, kemudian Ia merangkulku secara tiba-tiba. Pura-pura tulus, pura-pura bodoh. Seakan lupa betapa banyak kesalahannya, dan masih tetap Ia lakukan sampai sekarang.
Ia memayungiku sampai ke pintu mobil. Mengusap puncak kepalaku singkat, yang langsung ku tepis perlahan untuk menjaga perasaan bodohnya. Ia mengamatiku selama beberapa saat, yang tentu saja membuatku risih bukan kepalang. Kemudian Ia beranjak pergi menuju mobilnya.
Karena Ia mengemudi dengan mendahuluiku, maka aku berinisiatif untuk melepaskan diri sebentar dengan membelokkan kemudiku, berharap Ia tak begitu memperhatikanku. Aku menginjak pedal gas dengan kaki telanjang, akibat aku yang telah melepas sepatuku yang sudah terasa sangat berat karena menyerap air hujan. Ditambah ujung-ujung jariku yang nampak pucat dan berkerut.
Aku juga selalu membawa baju ganti di dalam mobil, itulah mengapa aku sempat berhenti sebentar untuk mengganti bajuku, walaupun aku lupa tak serta membawa celananya. Setidaknya, aku sudah memperkecil resiko terkena masuk angin.
Lagipula, ini masih hujan deras. Dan aku tak mungkin mampir kemanapun dalam kondisi celana lembab dan tak memakai alas kaki sama sekali, sehingga aku memutuskan untuk drive thru makanan cepat saji di sekitar daerah ini, kemudian berhenti di bahu jalan yang sedang tidak banyak di lalui oleh pengemudi lain.
Jalan yang sepi, minuman hangat, dan hujan deras. Adalah tiga komponen pendukung yang dapat membuat seseorang mengingat kembali kenangan macam apa yang pernah di laluinya.
Aku tak pernah memaksa otakku untuk mengingat Adam, tapi keadaan lah yang justru menarikku untuk terus berada dalam pusaran penyesalan ini.
Aku mengusap kaca depan yang telah tertutup embun sepenuhnya. Menyaksikan hujan dari dalam sini, mendengarkan sautan gemuruh yang mendebarkan, dan mencoba berdamai dengan kebencian yang bahkan sudah mengakar di lubuk hatiku.
Aku bersandar.
Lalu terlintas sekelebat bayangan.
'Dia sudah dihukum, Dek. Sudah setimpal. Mama sudah ikhlas. Dan kamu, juga harus.'
Seketika perasaan tenang menyelimuti seluruh tubuhku.
Ya. Mas Rayhan pasti benar. Papa pasti sudah memaafkan dia.
Lagipula, mereka pun juga berbeda, kan?
⚓
Dua bulan kemudian.
"ARIIIN!!!" Dengan membawa sesuatu di tangan kanannya, Gina berteriak sambil berlari dari ujung koridor, hanya untuk membuatku berhenti dan menoleh. Rambutnya berkibar kencang hingga menampar sebagian wajahnya.
Ia membungkukkan tubuhnya sambil meraup napas sedalam-dalamnya begitu Ia sampai di hadapanku. Aku terkekeh kecil, "Harus banget ya lari kaya gitu?"
Gina menegakkan tubuhnya, lalu dengan sempoyongan Ia berujar, "Nih, ada paket. Nyusahin aja deh," Gina menyibak rambutnya seraya menyodorkan benda tipis berukuran kecil berbalut koran.
"Apaan nih?" Tanyaku masih sambil membolak-balik benda tersebut.
Ia menyipitkan mata, "Yeee...harusnya aku yang tanya itu apa. Kebetulan aku cuma dititipin abang kurirnya. Buruan buka! Kelamaan mikir!" Sambar Gina yang penasaran, namun serangannya berhasil kuhindari.
Aku menautkan kedua alisku heran. Kemudian perlahan membuka bungkusan koran itu. Dan hanya dengan sekali sentakan, tertampaklah apa isi dibaliknya.
Dengan wajah yang tertutupi cat loreng berwarna hijau dan hitam sepanjang dahi hingga ke lehernya, ia menampilkan senyum dengan deretan gigi putih seraya mengacungkan jempol di tangan kanannya. Ia tetap terlihat tampan seperti dulu. Walau kini kulitnya sedikit lebih gelap dari terakhir kali aku melihatnya.
"A—dam?"
Tatapanku kosong. Lalu Gina buru-buru menyambar foto polaroid yang tengah kupegang lemas.
Adam juga menuliskan sebuah kalimat dibalik foto itu, 'Hai, Rin. Saya sehat-sehat aja'.
Darimana dia tahu?
Aku mengedipkan mata beberapa kali, mengembalikan kewarasanku kemudian spontan aku mencengkram tangan Gina, "Dimana? dimana kurirnya?"
"e...tadi di gerbang depan, ta—" Belum sempat Gina menyelesaikan penjelasannya, aku buru-buru beranjak dan segera berlari sekencang yang aku bisa.

KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Alasan [HIATUS]
Romance"Apakah sebuah kesalahan jika saya memiliki profesi dengan seragam seperti ini? Saya mencintai negara saya, dan saya berusaha untuk menjaga negara ini seperti apa yang saya lakukan sekarang, bersama seragam ini. Lalu tidak bisa kah saya melakukan ha...