Bagian 38

2.9K 317 39
                                        

"Kita sama-sama menggeliat tanpa saling menatap, diam-diam berterimakasih pada udara, kepada hidup. Karena kita masih mau percaya pada cinta."

- Arifin C. Noer

                                 ⚓

"Hm—m, tadi aku ngambil ini karena mau belajar cara ikatin rambut cewek," sahut mas Rayhan gugup dan tersendat-sendat, seraya melirik mama di akhir kalimatnya. Lalu, ia mulai melangkah pelan ke arahku.

Aku bergeming tak bersuara, juga tak sedikit pun melihat ke arahnya. Berusaha tak mempedulikan apapun perkataannya atau usaha apapun darinya.

"Aku tanya, tadi darimana?" tegasku. Kemudian, ku alihkan pandangan tajamku ke arah mas Rayhan yang seketika itu juga membuatnya berhenti. Cukup lama aku bersitegang dan terus mengeluarkan kalimat-kalimat intimidasi padanya, hingga mama memotong perdebatan kami dengan mengatakan, "memangnya ada apa sama gelang itu, Rin?" seketika aku terdiam dan menoleh padanya.

Tentara. Aku benci mengatakan bahwa kini aku menyukainya. Sejak awal, aku sudah terlanjur memperlihatkan wajah benci dan menunjukkan citra tidak suka pada profesi itu, lalu sekarang bagaimana aku harus mengutarakannya?

Akan begitu nampak memalukan untukku apabila aku mengucapkannya secara gamblang. Aku tidak akan semudah itu mengakuinya pada semua orang. Aku terlalu malu dan aku terlalu gengsi. Maka, aku memutuskan untuk tidak memberitahu perihal itu sampai batas waktu yang tidak ditentukan.

Tapi, mas Rayhan tahu. Aku yakin, ia tahu persis apa maksudku mempertanyakan gelang tersebut.

"Mirip punya temenku," tanganku kembali memungut satu persatu barang mama yang masih berserakan di lantai.

"Tadi mama minta temenin Rayhan untuk ngecek toko. Jangan curigaan gitu," ujar mama santai, lalu kembali fokus pada gawainya. Aku yang mendengar jawaban mencurigakan itu tentu saja tak serta merta merasa lega dan puas. Aku tetap yakin, mama hanya mencari pengalihan dan memutar balikkan fakta yang ada dengan menyerangku dengan pertanyaannya agar dirinya tak bersusah payah menjelaskan apa yang terjadi sebenarnya.

Melihat mas Rayhan tetap dalam keadaan diam dan kikuk, itu semakin menambah keyakinan pada pendapatku. "Itu punya Bagas. Karena kalian udah putus, makanya dia nitip gelang itu buat kamu, tapi mama lupa ngasihnya."

"Udah—udah, ambil aja. Buruan naik sana, jangan ribut disini. Ganggu aja," gumamnya dengan pura-pura memasang wajah terganggu.

Lalu dengan gerakan cepat, mas Rayhan menuntaskan perjalanannya menujuku. Lalu sejurus kemudian, ia mulai mengambil rambutku dan akan memulai ikatannya. Namun, sebelum ia sempat menyelesaikannya, aku sudah terlebih dahulu menyentaknya ke belakang, kemudian berlari ke kamarku dengan gelang hitam yang ku genggam erat—sangat erat. Membuka pintu, lalu membantingnya dengan kuat hingga aku percaya, mama atau mas Rayhan akan mengurungkan niatnya untuk mengejarku.

Aku duduk di tepi kasur seraya berpikir,

Sampai kapan hidupku akan terus seperti ini? Berada dalam bayang-bayang antara iya dan tidak, tetap atau pergi, mempertahankan atau melepaskan. Ini juga amat berat ketika orang-orang di sekitarmu sama sekali tidak membantu dan malah seperti menyimpan rahasia serta membuat rencananya sendiri.

Hidupku terasa seperti ditarik ulur. Ketika aku sudah satu langkah hampir memeluknya, namun selalu ada seseorang yang berlari cepat dan tiba-tiba mengambil posisi di tengah-tengah kami. Dan ketika aku ingin membuktikan bahwa aku benar-benar mencintai dan pantas bersamanya, tiba-tiba datang seseorang yang terlebih dahulu sudah merencanakan kehidupannya untuk orang lain.

Sebesar apapun perjuanganku terhadapnya, kenyataannya adalah aku selalu gagal.

Kadang aku merasa, bahwa tidak ada seinci pun dalam hidupku saat ini, yang tidak menyedihkan. Aku bahkan sudah lupa kapan terakhir kali aku tersenyum atau tertawa yang benar-benar tulus berasal dari hati, karena belakangan ini, aku selalu tersenyum karena beban dan lingkungan yang menuntutku secara paksa.

Satu Alasan [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang