Bagian 11

4.9K 286 2
                                    

"Bencilah aku setinggi gunung, dan akan kubalas engkau dengan cinta setinggi langit"

- Mbah Nun

                                ⚓

Here we go! Kataku pelan sambil menginjak pedal gas mobil biru muda kesayanganku. Sengaja, aku menolak tawaran Bagas untuk menjemputku. Mengingat Mama yang pasti akan histeris jika melihatnya repot-repot menjemputku. Aku sudah menerka dan mencoba menghindari kemungkinan yang terjadi. Aku tak mau ada kesalahpahaman yang berujung aku lah yang harus mengorbankan perasaanku. Aku tak mau terjebak 'sesuatu' jika aku memang tak menyukainya.

Tapi Bagas mulai datang kembali di kehidupanku. Aku takut Ia datang berkunjung menemui mama atau tak sengaja bertemu, lalu mama bertanya mengenai hubungan kami padanya. Apalagi Bagas yang begitu bersemangat dan suka melebih-lebihkan hubungan diantara kami. Lantas bagaimana aku bisa menjauhinya, lagi?

Alunan musik All I want milik Kodaline terdengar samar di telingaku begitu aku sampai. Rupanya cafe pilihannya ini cukup baik dan setengah ramai seperti yang kusemogakan. Karena aku benci tempat-tempat yang penuh sesak dengan begitu banyak lelaki yang merokok di sudut sana dan sini. Terlebih suka mencuri-curi pandang dan bersiul-siul tak jelas kearahku. Harusnya kuperingatkan mereka sebelum tempat ini hangus terbakar oleh kemarahanku.

Setelah selesai kuparkirkan mobilku, Aku tak langsung keluar begitu saja. Aku masih duduk di dalam sini sambil mengecek apakah Bagas sudah terlebih dahulu sampai atau belum. Kepalaku 'celingak-celinguk' mencarinya kesana kemari, berharap pandanganku bisa menembus tempat duduk yang agak terhalang tembok cafe, atau beberapa sulur dan batang tanaman yang menutupi penglihatanku.

Beberapa detik kemudian, rupanya mata tajamku ini berhasil menangkap radar keberadaannya. Ah! Itu dia! Lelaki berperawakan tidak kurus tidak gemuk, dengan alis cukup tebal dan hidung mancung serta rambut hitam berpotongan rapi, di bagian kanan dan kirinya lebih tipis dari bagian di puncak kepala yang entah gaya apa namanya. Kemudian Ia tampak memakai kaus hitam berlengan pendek, lalu terlingkar jam tangan berwarna senada di tangan kirinya. Tapi tak dapat kulihat dengan jelas bawahan apa yang sedang dipakainya. Yang pasti ghibah, gosip, obrolan, curhatan, rumor, kabar burung atau apalah yang mengatakan bahwa Bagas itu tampan, ya ternyata memang benar adanya. Dan aku sudah mengakuinya.

Jam tangan berwarna merah muda pucat yang bertengger di pergelangan tangan kananku telah menunjukkan pukul delapan lewat sepuluh yang artinya aku sudah terlambat sepuluh menit. Aku juga yakin sebenarnya Bagas memiliki niat yang baik. Jadi sebelum ia menunjukkan tanda-tanda kecewa dan kegelisahan, sebaiknya aku turun. Karena aku juga tak suka menunggu, sebaiknya aku tak membuat orang lain menunggu.

Aku berjalan kearahnya. Tapi sebelum aku mengumumkan kedatanganku, Ia sudah menoleh dan tersenyum kepadaku.

Aku juga tersenyum kemudian berkata, "Sorry telat, biasalah cewek," Sembari menggeser kursi sedikit ke belakang untuk kududuki. Sebelum Ia sempat menjawab, aku sudah memberinya pertanyaan lagi. "Hmm...Kamu udah pesen?", Kataku sambil mengangkat kedua alis lalu menggeser lembaran menu yang telah dilaminating dan terserak diatas meja.

"Belum. Tadi nunggu kamu dulu" Ia tersenyum lagi dengan barisan giginya yang apik.

Apa-apaan ini? Mengapa sedikit-sedikit Ia tersenyum, sih? Apa maksudnya? Aku takut ini adalah semacam jurus. Ibarat senyumnya bagaikan air hujan kemudian menetes diatas hatiku yang sekeras batu terhadapnya. Aku takut, jika lama-kelamaan senyumnya dapat mengikis kokohnya batu di hatiku.

Arin! Sadarlah!

Aku mengangguk. Masih dengan jari telunjukku yang menari diatas kertas menu yang tersedia sambil menunggu waiter yang berjalan kearah kami setelah Bagas melambaikan tangan.

Satu Alasan [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang