Bagian 7

5.5K 369 5
                                        

"Berbahagialah dia yang makan dari keringatnya sendiri, bersuka karena usahanya sendiri, dan maju karena pengalamannya sendiri".

- Pramoedya Ananta Toer

|Arin POV|

Entah mengapa kini aku begitu bahagia. Aku belum pernah merasa sebahagia ini dan sebangga ini ketika melihat sesuatu yang bahkan aku benci berubah menjadi semenakjubkan tadi. Ralat! Bukan benci, kini hanya aku kurang sukai. Setidaknya itu terdengar satu tingkat lebih baik.

Baiklah, mengapa mereka yang berhasil, tetapi aku yang merasa lega? Mereka yang melakukannya, tapi mengapa aku yang merasa bangga? Aku bahkan tak memiliki siapapun yang kukenal di dalam barisan itu (yah...mungkin). Lalu kira-kira, perasaan bangga ini muncul karena apa?

Upacara ini telah usai dilaksanakan, tetapi antusias masyarakat tak kunjung usai begitu saja. Mulai dari para remaja yang sibuk berselfie ria dengan kawan-kawannya, para orangtua dengan wajah luar biasa bangga yang juga sedang memeluk anak kebanggaannya, hingga para mahasiswi sebayaku yang sibuk membujuk para tentara dan polisi untuk dapat berfoto dengannya.

Ah, suasana ini begitu menggembirakan. Semua keadaan ini, tak pernah luput dari pengamatanku. Dan tentu saja, sahabat sejatiku, catatan kecil bersampul biru awan yang pastinya tak akan pernah kutinggalkan dari tas selempangku.

Bahkan sekarang, aku sedang berdiri di belakangnya. Tepat sejurus di belakangnya. Ia ada di seberang sana, dan aku berada di seberang sini. Tetap dalam jarak aman, tetapi tetap dalam jangkauan.

Aku sengaja mengajak dan memaksa sahabat-sahabatku untuk membeli rujak yang bahkan sebenarnya aku sedang tidak mood untuk memakannya. Jika kalian bertanya mengapa aku melakukannya, maka aku akan menjawab, karena aku ingin melihat dirinya. Itu saja.

Kini, ia tengah duduk di bawah tenda putih panjang sambil memakan nasi kotak dengan lahapnya bersama beberapa temannya. Tentunya sambil bersenda gurau bahagia karena mereka telah berhasil menjalankan tanggung jawab yang baru saja mereka selesaikan. Jika menengok dari bagaimana mereka memasukkan nasi ke mulut masing-masing, sepertinya mereka benar-benar kelaparan. Ah, wajar saja. Mereka lelaki dan mereka juga pasti sangat lelah.

Makanlah, Dam. Makan yang banyak. Karena tampan seperti itu, juga butuh tenaga. Pikirku, sambil tersenyum kearahnya.

Aku berniat mengambil ancang-ancang untuk berbalik dan menjauh dari tempat persembunyianku itu, sebelum Gina menahan tanganku dan memohon sesuatu yang nomor satu sangat tidak ingin aku lakukan.

"Eh, Rin! Abis ini fotoin aku ya—sama yang itu tuh...yang tadi jadi pemimpinnya". Tunjuk Gina dengan senyum malu-malu dan mata yang tak pernah berpaling dari Adam.

Tentu saja aku terkejut bukan kepalang. Mataku pun juga membola secara otomatis begitu ia melontarkan keinginannya, "eh, nggak—nggak! Suruh yang lain aja. Aku nggak mau!" Kilahku, sambil menarik tanganku dari dekapan tangan Gina.

Aku memang bodoh.

Aku bahkan baru saja menolak kesempatan emas yang kudapatkan agar selangkah lebih maju untuk melihatnya lebih dekat. Dan memperhatikan seperti apa dirinya jika dilihat menggunakan hatiku yang sedang tentram.

Tidak! Ini konyol!

"Please lah, Rin. Si Shela sama Sarah lagi ke toilet. Please ya, Rin. Pleasssee...," aku terlampau membenci seseorang yang jika sedang meminta sesuatu, ia akan menunjukkan wajah iba memelasnya, terlebih sambil menyatukan kedua telapak tangannya. Dan parahnya, sahabatku kini tengah melakukannya.

Huh, demi apapun! Jika saja seseorang memberiku pilihan antara mengerjakan 100 soal aljabar atau mendekat pada si loreng itu, sudah jelas aku akan memilih pilihan yang pertama.

"Duh Gin! Kamu tau kan..." Mataku menyipit pasrah, memberi isyarat bahwa aku adalah salah satu orang yang anti terhadap mereka yang berseragam seperti 'itu', dan demi bangku taman! Gina bahkan sangat mengetahuinya hingga tercetak jelas di luar kepala indahnya.

"Iya Rin, tau—tapi sekali aja please," aku menatapnya pasrah. Kini hanya tinggal doa-doaku saja yang butuh Tuhan kabulkan agar semuanya dapat terjadi sebaliknya.

"Oke! Sekali ini aja! Dan nggak usah banyak gaya! Buruan!". Kataku dengan nada tajam penuh penekanan, sambil menahan segala jurus amuk masa di dalam diriku, serta mengapit rasa malu yang kentara diantara kedua mataku jelas saja.

Detik ini, aku dan Gina berjalan ke arahnya. Strategiku untuk hanya melihatnya, ternyata salah besar. Gina malah melihat sekumpulan loreng itu dan kini, semuanya sudah sangat terlambat, karena dirinya sudah meminta sesuatu yang dapat menjatuhkanku ke dalam kubangan yang aku ciptakan sendiri. Aku masih memaklumi kekonyolan diriku, kalau saja Gina tidak menunjuk sekawanan loreng berbalut merah yang di dalamnya terdapat seorang Adam untuk dimintai foto.

Sebenarnya kenapa dengan alam semesta? Bukan. Kenapa dengan diriku? Kenapa belakangan ini Tuhan selalu mempertemukanku dengan dia? Aku bahkan meminta untuk dijauhkan darinya tapi mengapa Tuhan malah mendekatkanku? Apa karena itu doa yang buruk? Atau karena aku yang pernah mengulang sembahyangku karena kejadian kemarin sore ketika mukenah yang kupinjam di musholla kampus melorot dan aku tak sanggup menahan tawaku sendiri, sehingga aku harus mengulangnya? Ya Tuhan, maafkan aku jika karena itu penyebabnya.

Kami sampai, dan jantungku tak pernah bisa diajak berteman pada saat-saat yang dibutuhkan. Kenapa kau berdebar begitu kencang wahai jantung? Dan aku memohon dengan hormat pada seluruh organ yang melekat sebagai satu kesatuan di dalam tubuhku, kalian hanya perlu bersikap seperti biasa dan jangan pernah menunjukkan gelagat aneh apapun. Apalagi sampai menampakkan semu merah merona yang tidak wajar.

"Mas! Foto bareng boleh, nggak?". Kubiarkan Gina yang meminta izin padanya, sedang aku berdiri menyampingi mereka berdua dengan jarak yang cukup untuk berkamuflase sambil berpura-pura sibuk memainkan handphone-ku padahal aku tak tau apa yang sedang kuperbuat.

"Oh iya mbak, boleh". Sahutnya sopan dan renyah.

Setelah satu tahun lamanya, kini akhirnya aku mendengar suaranya, lagi.

"Rin!" Gina meneriakiku agar segera melakukan tugasku. Aku tak menjawab, aku langsung mengambil posisi dengan handphone-nya yang kuarahkan tepat di depan wajahku sehingga keduanya tak dapat melihatku dengan jelas.

Oh, rumput lapangan! Senyumnya bahkan seperti menjungkirbalikkan bumi ini. Jari-jariku bahkan bergetar tipis, sebagai tanda persetujuan atas apa yang hatiku rasakan. Apa ini saatnya mengatakan, harusnya aku yang disana?

TIDAK AKAN!

Kami selesai. Dan kami berdua akan kembali. Tapi ketika aku baru berjalan beberapa langkah, ia tiba-tiba bersuara dari balik punggungku.

"Mbak!" Sahutnya, dari balik kepalaku.

Aku memejamkan mataku memohon ampun pada Tuhan sebelum mendapatkan sesuatu yang lebih buruk sembari mengambil satu napas sebelum berbalik. Aku menyatukan seluruh tekadku dan segenap keberanianku. Aku tak akan menghalangi wajahku lagi. Aku akan membiarkan diriku melihatnya, dan dirinya melihatku. Arin, kamu bukan pengecut! Tataplah Ia dari depan, bukan hanya dari belakang. Hadapi dia!

"Iya?" Aku berbalik kikuk dan mengatakannya seraya mengangkat kedua alisku dan mencoba terlihat biasa saja seperti tidak mengenalinya.

"Masih ingat saya?" Katanya sambil tersenyum dan sedikit menundukkan kepala.

Satu Alasan [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang