"Tapi sekarang, mencintaimu sebagai bayang-bayang, sebagai impian, membuatku lebih bahagia. Aku mencintaimu tanpa jeda. Lebih baik kau tetap menjadi impian. Karena aku bisa lebih leluasa menyatakannya, dengan berbagai cara."
- Nano Riantiarno
⚓
Alasan dan maksud dari kedatangannya pun masih coba kupecahkan bersama dengan diriku yang terpaku di tengah jalan. Ditambah dengan daster berwarna mencolok, pikiranku terus saja berputar dan bertanya-tanya tentang kejadian apa yang baru saja aku alami, tidak sampai sepuluh menit yang lalu.
Aku juga tidak rabun dan aku tidak buta. Ini benar adalah huruf 'B' dan bukannya 'D'. Tapi mengapa Ia mengubah pertanyaannya setelah aku selesai menjawab?, Mengapa juga Ia saling berpandangan dan menatap ragu satu sama lain? Ya Tuhan, ini menjengkelkan karena aku tak pernah berpikir sekeras ini.
Dan aku terus saja melamun memikirkan segala kemungkinan yang bisa saja terjadi di kemudian hari. Bahkan kakiku mungkin juga tak akan pernah berpindah sampai aku menemukan jawabannya jika saja Pakde Yanto tak memperingatkanku akan matahari yang sudah semakin tenggelam.
"Mbak! Ngelamuni opo?...ayok masuk," katanya dengan sebelah tangan yang dikibas-kibaskan ke arahku. "Oh...E..iya, Pakde." Ujarku sambil melipat kertas kecil berwarna kuning itu, kemudian aku menggegamnya erat seraya berjalan masuk ke peraduanku.
⚓
Awan mendung telah menutupi sinar mentari yang semula berpendar dengan terang. Angin juga bertiup kencang menerbangkan tiap-tiap helai rambutku hitamku, ketika kami baru saja keluar dari kelas. Itu membuatku harus beberapa kali menyibaknya ke belakang telinga agar tak menutupi penglihatanku.
Hari ini aku dan sahabat-sahabatku berkumpul lagi setelah terpisahkan oleh jarak masing-masing rumah kami dan dijeda oleh waktu selama hampir 20 jam lamanya, walaupun aku sadar itu bahkan tak sampai satu hari. Terlebih grup media sosial kami yang tak henti-hentinya berdenting dan meributkan sesuatu.
Kami tetap berjalan ke arah kantin, walaupun kami sudah menebak bahwa tempat ini akan selalu ramai hingga tak cukup kursi untuk menampung para mahasiswa yang tentunya selalu lebih tertarik pada pengetahuan kuliner dibanding mata kuliah yang mereka tekuni sekarang. Tapi suasana seperti inilah yang paling aku sukai. Karena aku tak bisa melihat suasana seperti ini jika sudah sampai di rumah.
"Rin, mau makan apa nih?," tanya Sarah yang juga sama bingungnya denganku, "Hmm...kayanya aku siomay aja deh, Sar," ujarku menjawabnya. "Yaudah...yuk."
Kemudian aku dan Sarah berjalan menuju kantin siomay yang terletak di paling pojok sebelah kanan, sedangkan kami berada di sisi sebelah kiri. Kami menerobos kerumunan mahasiswa yang nampaknya sangat kelaparan. Itu semua terlihat dari wajah cemberut mereka yang mungkin mengira kami akan menyerobot antriannya padahal kami hanya ingin lewat dengan mengambil jalan cepat.
"Permisi yaa...permisi," kata tersebut tak henti-hentinya kuucapkan seiring dengan langkahan kakiku. Lalu aku merasa seseorang mencubit pipi kananku, setelah Ia mengatakan, "Hai...Rin." Aku refleks menoleh, lalu mendapati kepalaku berputar pening karena mendapati seseorang itu adalah Bagas.
"Mau kemana?," tanyanya sambil meraba kantung celananya untuk mengambil telpon genggamnya.
"Ke ujung...hehe, duluan ya, Gas," aku melambaikan sebelah tanganku ke arahnya. Aku juga sempat merasakan bahwa Sarah menarik-narik lengan kiriku agar bersegera mengindahkan langkah menuju kantin tujuan kami.
"Shela sama Linda mana, sih?".
"Kaya baru kenal mereka aja, paling kalo ngga di WC ya di WC, aku jamin!", seruku dengan sangat-sangat yakin sampai aku berani mempertaruhkan semua isi di dompetku.

KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Alasan [HIATUS]
Romance"Apakah sebuah kesalahan jika saya memiliki profesi dengan seragam seperti ini? Saya mencintai negara saya, dan saya berusaha untuk menjaga negara ini seperti apa yang saya lakukan sekarang, bersama seragam ini. Lalu tidak bisa kah saya melakukan ha...