Bagian 19

4.6K 314 13
                                    

"Tidak, bagiku tidak ada kalah dan menang! Sebab kuputuskan bahwa kemenangan sudah pasti untukku saja. Kalah tinggal pada mereka yang mengeluh bila terjatuh, yang menangis bila teriris, yang berjalan berputar-putar dalam belantara."

- Sutan T. Alisjahbana

                                  ⚓

Aku tertegun. Masih dengan sekop kecil di tangan kanan, aku melotot tak bersuara. Membuang tatapanku jauh ke luar sana, sambil memandangi dirinya yang juga sama sedang memandangiku, tapi penuh dengan senyuman duka permintaan maaf di matanya.

Apa aku...sedang bermimpi?

Aku melihat ia berkedip, lalu sedetik kemudian ia mengangkat tangan kanannya hingga ujung jari tengahnya menyentuh ujung deretan alisnya.

Benar. Ia tengah hormat kepadaku. Tatapanku pun beralih pada lengan baju di pergelangannya yang tersingkap, serta menampakkan jam tangan hitamnya bersama gelang hitam tipis tak bermotif yang melingkari tangan kerasnya.

Kemudian ia memecah keheningan kami dengan mengatakan, "selamat sore." Ia menurunkan tangannya, "Arin." sambungnya dengan senyuman tipis.

Mendengar sapaannya tersebut, aku berusaha sadar dari keterpakuanku. "Adam...?" aku mengerutkan dahi. Kemudian dengan gerak-gerikku yang agak tergagap karena masih belum sepenuhnya sadar dari keterkejutanku, aku menyuruhnya masuk.

"E...silakan masuk, duduk di dalam aja ya."

"Oh...ngga usah, saya duduk disini aja." katanya menolak.

Kemudian ia duduk di kursi teras, namun kakinya terus saja bergerak agak gelisah.

"A-aku mau cuci tangan sebentar," baru saja memutar badan dan belum sempat melangkahkan kaki, Adam telah lebih dulu menarik tanganku pelan.

Otomatis aku berbalik menghadapnya, menatapnya, kemudian melepas tangannya dengan separuh sadar.

"Cuma sebentar aja, jangan kemana-mana, sebentar aja." Ia terlihat seperti tengah dikejar waktu yang terlihat dari gelagatnya serta rautnya yang memintaku dengan bersungguh-sungguh.

Ia juga ikut berdiri. Tepat menghadap dan sejajar denganku, lalu terlihatlah perawakan tingginya, yang menjelaskan dengan tegas bahwa aku hanya mencapai setinggi telinganya. Tulang juga wajahnya nampak keras dan tegas. Kemudian ada beberapa unsur yang begitu menarik perhatianku— adalah ternyata ia memiliki iris mata berwarna cokelat hampir seperti mata mata mas Rayhan, hidungnya mancung dengan tulang atasnya yang agak menonjol, lalu kulit yang bersih sewarna sawo matang namun lebih sedikit gelap lagi, dan sudah pasti itu adalah akibat terbakar sinar matahari.

"Hmm," ia nampak berpikir sejenak. Lalu melanjutkannya dengan, "saya minta maaf." Untuk kesepuluh juta kalinya, ia mengatakan hal itu lagi kepadaku. "Nanti malam saya akan datang lagi untuk jemput kamu. Saya mau menjelaskan semuanya," ia berhenti sejenak. "kamu mau, kan?" Tawarnya malu-malu.

Aku berusaha memutar otak untuk memberikan jawaban atas tawarannya. Aku sedikit bingung. Sebetulnya, ini hal yang sangat baik. Ia memang berniat baik karena mau menjelaskan segalanya padaku, walau aku tau, aku bukan siapa-siapanya, dan tak pantas mendengar penjelasannya.

Sementara aku terdiam berpikir, lagi-lagi ia berdiri dengan posisi tidak nyaman. Kemudian, menoleh ke belakang dengan tatapannya yang terpancar jauh ke luar pagar. Entah apa dan siapa yang dimaksudnya. Tapi tak ada siapapun disana. Lalu Ia kembali menatapku seperti ingin cepat-cepat mendengar jawabanku.

Kemudian aku mengangguk pelan. Mengangguk lagi sambil mengatakan, "Iya, aku mau."

Seketika kulihat wajahnya yang berbinar dan berseri tanda bahagia, mungkin. Ia tersenyum lagi, kali ini dengan senyum manis yang terlihat sangat merekah dan bersemi. Membuat siapapun yang melihatnya, secara tak sadar juga akan ikut tersenyum jika tak pandai menjaga air mukanya.

Satu Alasan [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang