Bagian 9

5.2K 351 7
                                        

"Memaafkan tidak akan mengubah masa lalu, tetapi memberi ruang besar untuk masa depan"

- K.H Abdurrahman Wahid

                                  ⚓

|ADAM POV|

Aku benar-benar geli. Aku benar-benar sedang berusaha menahan tawaku sekuat yang ku bisa. Aneh. Mengapa bisa-bisanya wanita satu ini dengan sombongnya mengatakan bahwa ia tak mengingatku? Dan dengan begitu percaya diri ia meminta maaf bahwa ia telah melupakanku padahal sudah jelas-jelasnya namaku tertulis di buku catatannya. Jika bukan dia, kira-kira siapa lagi yang menulisnya?

Beberapa kali kulihat ia berkedip, menoleh dan melirik kesana kemari. Entah apa yang ada dipikirannya, tapi tingkahnya sekarang ini benar-benar sangat menyenangkan untuk disaksikan.

Ah, apa dia lupa almamater apa yang sedang dipakainya? Lucu rasanya mengingat seorang calon psikolog malah bertingkah seperti seorang pasien. Adikku yang seorang mahasiswi dengan almamater yang sama dengan dirinya pun kuyakini sudah lebih pandai menjaga wibawanya. Astaga! Mengingat adikku yang satu fakultas dan universitas yang sama dengannya, mengapa tak kusuruh saja ia menjadi mata-mataku? Wah, ini pasti akan sangat seru.

Kulihat lagi ia menengok agak ke belakang, ke arah teman-temannya yang sedang sibuk bercengkrama dengan dua orang polisi dan seorang rekan se-lettingku. Kurasa temannya pun juga tak dapat menolongnya yang tengah membatu.

Ia menaruh tangannya di saku blazer-nya kemudian menatapku dengan wajah yang tersenyum, tapi senyumnya tidak tertarik sampai ke mata. Lalu mengatakan, "Iya, saya." Ia mendadak formal. Kemudian mengangguk kecil berulang kali sebelum melanjutkan, "memang saya yang nulis itu. Dan saya minta maaf yang sebesar-besarnya." Ia memberi jeda, "udah puas kan? Sekarang please balikin!" Ia maju selangkah sembari tangannya ingin merampas buku yang tengah ku pegang dengan kuat. Untuk berjaga-jaga, tanganku yang tengah memegang bukunya, kupindah sedikit lebih ke belakang mengingat betapa berbahaya dan mengejutkannya wanita satu ini.

"Balik—in!". Ketika ia maju selangkah untuk kedua kalinya, aku pun juga maju selangkah dan menundukkan kepalaku untuk menatap kearahnya, memasang wajah datar dan separuh sangarku. Lalu ketika ia mendongakkan wajahnya, tampaklah dirinya yang terkejut karena kami hampir bertubrukan dan kepalanya juga hampir menyentuh daguku. Ia terlihat mundur selangkah dengan gegabah lalu membuang wajahnya juga dengan cepat.

Aneh. Keberaniannya datang dengan tiba-tiba, tapi keberaniannya juga hilang dengan tiba-tiba. Menarik sekali. Sebenarnya wanita macam apa dia ini. Detik pertama ia mengangkat wajahnya dengan mudah, lalu detik kedua membuang wajah tanpa berani berkata-kata.

Karena aku tak tega melihatnya memohon padaku seperti itu, ralat, bukan tak tega, tapi terlalu mengerikan untuk disaksikan berlama-lama, aku berniat mengembalikan buku kecilnya yang kuterka begitu sangat berharga untuknya. Juga karena telah tertulis namaku disana, berarti buku ini juga sama berharganya bagiku.

"Kamu bisa ambil ini setelah jawab satu pertanyaan saya." Kataku sambil menunjukkan buku itu di depan wajahnya. Aku tau wanita ini tak suka sesuatu yang dapat menyeretnya dalam kerepotan, maka dari itu aku akan mencoba menyeretnya ke dalam sebuah kerepotan. Ah, membayangkannya saja aku tak sanggup, aku benar-benar tak sabar ingin melihat bagaimana reaksinya bersama emosinya yang meledak-ledak. Lebih dari itu, aku juga yang sebenarnya memang ingin menanyakan hal serius yang tentunya sangat ingin kuketahui jawabannya, langsung dari dirinya.

Nah, benar saja. Ia menolehkan wajahnya lagi dengan angkuh kearahku. Kali ini dapat kulihat wajahnya yang merah padam seperti tengah menahan amukannya. Jika kupikir sekali lagi, sebenarnya ia mungkin separuh gila. Lalu bagaimana jadinya nanti jika ia akan menyembuhkan pasiennya sementara psikiaternya juga sama gilanya?

Atau apa dia sedang dalam masa...menstruasi? Apa mungkin ia sedang dalam mood yang tidak baik? Lihatlah perangainya sekarang, ia terlihat begitu suram dan menakutkan. Aku yang bahkan telah di doktrin untuk tak takut apapun termasuk mati, kali ini kuakui, nyaliku sedikit menciut saat menghadapinya. Bulu romaku pun juga ikut berdiri.

Kulihat ia menghela napas. "Silakan tanya, selama pertanyaanmu masih bisa dipikir pakai otak." Jawabnya cepat melebihi cepatnya kecepatan cahaya.

Aku tercengang. Wah! Luar biasa ketus wanita ini. Ia mengatakannya dengan sangat amat lancar. Aku melempar wajah dengan mendengus sambil terkekeh geli. Rupanya ini hari dimana rasa bangga dan geliku bercampur menjadi satu.

"Oke...oke," kataku sambil menenangkanny. Kemudian melanjutkan, "tapi saya nggak nanya pertanyaan itu disini." Lalu aku maju selangkah sambil menyejajarkan kepalaku tepat di samping telinga kanannya seraya berkata, "takut kamu tersipu pas ngejawabnya." Aku melirik dan tersenyum ke arahnya. Sebelum aku menarik kepalaku, ia telah terlebih dahulu menoleh secara spontan sambil menyatukan kedua alisnya sembari menatap nyalang ke arahku dan menyapukan pandangannya dari ujung baret hingga sepatuku. Setelahnya, kami beradu tatap beberapa detik.

"Siapa takut!" Sahutnya terdengar penuh tekad. Kemudian aku menunjukkan ponsel yang sebelumnya sudah terlebih dahulu ku ketikkan alamat beserta jam yang telah kutentukan sepihak, tepat sejajar dengan wajahnya.

"Jangan terlambat," sambil tersenyum aku melanjutkan, "Arin." Ya, aku mengetahui nama panggilannya dari salah seorang temannya yang tadi mengajakku berfoto. Sekaligus, ia juga yang meninggalkan buku catatan wanita ini di atas kursi-kursi yang tak jauh dari tempatku duduk tadi, dan syukurlah aku yang berhasil menemukannya.

Setelah mendengarnya, ia berbalik cepat sambil mengibaskan rambut hitam lebat terurainya kencang yang hampir menampar wajahku jika saja aku tidak menarik wajah ke belakang.

Benar saja, dia benar-benar unik. Kemudian bahuku sedikit terguncang karena menahan tawa sambil menggeleng dengan penuh heran sembari terus menatap punggungnya hingga menghilang.

                                 ***

To be continued.
.
Btw, kalian bingung gak sih guys kalo POV nya aku puter-puter antara Arin sama Adam?
.
Komen di bawah ya kritik / sarannya. DAN JANGAN LUPA VOTENYA❤
.
Happy Sunday!!! Have a great day!!!

Satu Alasan [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang