"Setia, adalah alasan kecilku untuk tetap mencintaimu."
- Robin Wijaya
⚓
Mataku yang tajam mencoba menelisik gerbang depan kampusku dari arah barat laut, hingga ke barat laut lagi. Bersama tubuhku yang kuikutsertakan berputar sebesar 360 derajat juga, hingga mungkin pak Kamto yang tengah sibuk menyalakan motornya, kini mulai sibuk memelototiku dan bertanya-tanya dengan heran, kegiatan macam apa yang sedang aku lakukan, karena aku terlalu seperti akan gila dalam mencarinya. Setelah aku menundukkan kepala sopan ke arahnya, barulah Ia berfokus kembali pada kegiatannya yang sempat tertunda.
Hari semakin terik ketika matahari sudah hampir tepat berada di atas kepalaku. Ya, aku memang ingin berjuang, tapi mungkin tak begini caranya. Bisa-bisa aku akan membuat diriku sendiri terbakar jika terus berada disini hanya untuk mondar-mandir mencari jejak yang baru saja Adam tinggalkan, sedang hasilnya nihil.
Mataku beralih ke gazebo kecil diujung parkir kendaraan roda dua. Mencari kesejukan sembari menarik napas yang dalam, seakan dapat mencabut akar pohon besar tepat di sisi kanan gazebo ini, yang membuat tempat ini nampak begitu teduh. Entah pohon apa namanya, namun daunnya terlihat hijau dan lebar.
Aku melepas sepatu putihku, memanjangkan kakiku, kemudian merogoh saku hoodie yang tengah kukenakan. Mengamati foto itu sekali lagi, lalu mengusap tulisan itu berkali-kali.
Namun semakin lama aku larut dalam mengamatinya, semakin aku mendapati sesuatu yang aneh dari tulisan Adam. Ini nampak jelas berbeda. Benar, ini jelas-jelas berbeda dari tulisan Adam yang Ia goreskan di buku catatanku saat itu.
Aku menggeser tasku ke depan, lalu menggeledahnya dengan kasar untuk segera mendapatkan buku itu. Membuka halaman kusutnya, lalu mulai menyejajarkan keduanya.
Dan benar saja. Dari tampak visualnya pun, orang gila juga dapat mengiyakan bahwa ini benar-benar berbeda. Tulisan Adam di buku ini nampak sangat awut-awutan dan huruf yang digoreskannya benar-benar sangat kacau, sampai-sampai ada beberapa huruf yang mungkin menempel dengan satu sama lain sehingga agak sulit untuk dibaca.
Sedangkan tulisan Adam di foto polaroid ini benar-benar berbalik 180 derajat menjadi sangat rapi dan juga, terdapat penulisan hurufnya yang berbeda dengan tulisan sebelumnya. Ini lebih mirip seperti tulisan tangan seorang wanita. Dan jika aku mengingat kembali, sepertinya aku pernah dan beberapa kali melihat tulisan seperti ini.
Tulisan ini tidak asing.
"Gimana, Rin?" Suara Gina mengejutkanku. Ia datang dengan begitu tergesa dan dengan raut wajah yang khawatir.
Aku menghela napas kasar, kemudian menggeleng pasrah ke arahnya. Lalu aku yang semula berposisi duduk bersandar, kini entahlah. Aku bahkan sudah berbaring di tengah-tengah sini seakan ini adalah wilayah kekuasaanku.
Yang tadi itu, hampir saja.
⚓
"Assalamualaikum, maaa...aku pulang," seruku sambil menaruh sepatu ke dalam rak, dengan sebelah tangan lagi sudah memegang gagang pintu
Klek! Klek! Terkunci.
Dreett...dreett...
Segera kuraih telfonku di dalam saku hoodie yang kuselipkan bersama foto berharga itu.
"Iya halo, Ma."
"Rin, ke pelabuhan ya. Masmu dateng nih." Suara mama terdengar sangat gembira.
"Loh, tumben banget disambut. Yaudah a—" aku tergugu karena mama sudah terlebih dulu mematikan sambungannya sebelum aku selesai berbicara. Lalu dengan menghadap hp dan masih dengan mulut yang menganga, aku melanjutkan, "ku kesana sekarang ya, Ma."
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Alasan [HIATUS]
Romance"Apakah sebuah kesalahan jika saya memiliki profesi dengan seragam seperti ini? Saya mencintai negara saya, dan saya berusaha untuk menjaga negara ini seperti apa yang saya lakukan sekarang, bersama seragam ini. Lalu tidak bisa kah saya melakukan ha...