Bagian 2

9.5K 446 3
                                    

"Dalam menghadapi musuh, tak ada yang lebih mengena daripada senjata kasih sayang."

- Cut Nyak Dien

                                ⚓

"ASTAGA!!!" semburku. Sukses untuk membuatnya memutar kepala ke belakang. Kemudian aku juga berdiri sambil mengibas-ngibaskan tanganku kearah buku catatanku, yang beberapa bagiannya langsung terlihat berubah warna akibat tumpahan tersebut. Lalu aku menoleh kearahnya, dan mendapati sesuatu yang mengejutkan.

Oh ... si seragam loreng itu rupanya.

"Oh maaf-maaf, saya nggak liat, saya nggak sengaja" sahutnya terdengar tulus dan diimbuhi dengan nada yang merasa bersalah.

Ia terlihat bergerak maju dengan tangan kosong yang sedikit terulur. Kemudian sekarang, beberapa orang di belakangnya juga tampak melihat kearahku dengan tatapan heran menyelidik, sambil menaik-turunkan bola matanya yang menatapku bergantian dari ujung rambut hingga ujung kakiku. Ya Tuhan! Izinkan aku mengecilkan diri saat ini.

Aku tak membalas. Aku sudah terlalu kesal. Aku bahkan semakin merasa benci. Seseorang tak sengaja menyenggolku saja terkadang aku bisa langsung naik darah. Lalu sekarang buku catatan berisi segala macam pengamatanku yang kupersiapkan sebagai bahan tambahan skripsi, kini sudah loyo dan basah kuyup, ditambah celanaku yang juga basah dibagian belakang, membuatku terlihat seperti orang bodoh yang mengompol di celana. Apalagi pelakunya ternyata adalah seseorang dengan seragam itu.

Ya ampun, wajahku terasa sangat panas sekarang ini. Namun aku secara tak sengaja dan tanpa diminta oleh otakku, sempat memerhatikannya untuk beberapa saat. Dan satu-satunya yang tak ingin aku lihat dan ingat adalah namanya. Tetapi malah seperti disuruh, titik fokus pertamaku adalah pada namanya yang kini tengah aku baca.

Bola mataku bergeser menuju dada dan bahunya yang lebar, tengah terbingkai seragam loreng yang sedikit tertarik ke belakang akibat isi tasnya yang mungkin terisi oleh pernak-pernik asing yang tak kuketahui, sangat pas dengan tubuhnya yang tinggi dan tegap. Tatapannya juga terlihat begitu teduh, dengan iris mata berwarna hitam kecoklatan, dinaungi dengan bulu mata yang panjang dan sedikit lentik, berada tepat di bawah alisnya yang tebal bagai kumpulan semut sedang tertidur damai. Tunggu, apa-apaan ini?

SUDAH! CUKUP SUDAH!

Aku berkedip, lalu pusatku kembali kepada celanaku yang basah akibat senggolannya dan kini aku tak tahan, mungkin aku akan menyumpahi dan mengutuknya jika saja ini tidak di muka umum dengan banyaknya manusia yang didominasi oleh orangtua paruh baya. Untungnya, aku masih ingat apa yang pernah dikatakan masku tentang tata krama, 'Jaga sikapmu atau tidak akan ada yang ingin menikahimu.' Aku sedikit merinding jika mengingatnya.

Aku berbalik dan melenggang pergi tanpa memedulikannya. Aku hanya melihatnya sekilas dengan tatapan muak yang tak bisa dijelaskan lagi. Aku terlampau marah serta malu yang tak dapat kubendung lagi saat ini.

"Maaf mbak, saya betul-betul nggak sengaja." Dia bersuara lagi. Kali ini agak sedikit lantang dan seperti beberapa langkah mengikutiku, mungkin agar aku mendengar dan membalasnya. Kemudian aku terhenti, tetapi tidak menoleh. Lalu berpikir sejenak dengan singkat dan cepat.

Rasa benciku tak boleh mengalahkan kewarasanku.

Sampai akhirnya aku sedikit menoleh, bahkan sangat sedikit, kemudian mengangguk juga sama sedikitnya. Tidak peduli ia menangkap maksud dari sikapku atau tidak, tapi aku memutuskan untuk benar-benar pergi. Tanpa bersuara dan tanpa menoleh lagi. Masa bodoh jika sekarang aku setengah berlari dan menunduk, serta tas yang kuselempangkan juga sedikit kugeser lebih ke belakang untuk menutupinya. Untungnya, suasana pelabuhan ini sedang cukup ramai, sehingga hanya ada beberapa pasang mata yang mungkin melihatku berlari menahan malu, tapi mereka tetap tidak menghiraukannya.

Ini terasa tepat, aku memang harus pergi sebelum semua kata-kata di ujung lidahku ini melompat keluar. Mas Rayhan lihatlah, adikmu berhasil menahannya!

                                 ⚓

Sesampainya dirumah, celanaku ini tak begitu nampak basah lagi, karena sebagian besar pasti sudah menempel dan meresap halus di serat-serat kulit pembungkus sadel motor.

"Assalamualaikum." Ucapku singkat tanpa embel-embel. Aku berjalan cepat ke arah kamarku tanpa melihat yang lain-lain. Aku sudah tak peduli pada apapun karna satu-satunya yang menjadi fokusku saat ini adalah mandi dan mengganti celanaku ini.

Bahkan aku juga melewatkan kegiatan soreku untuk menyempatkan diri membantu pakde yang biasa mengurus tanaman, untuk menyiram berbagai macam tumbuhan di pekarangan depan rumahku.

Belum lama aku menyelesaikan ritual mandiku dan berganti baju, masku menyahut dari arah luar rumah dengan suara yang agak berteriak, sudah pasti agar aku mendengarnya.

"Rin! Ini kenapa sadel motor lembab gini? Bau apek juga lagi. Kamu habis ngapain sih?" Pertanyaan masku benar-benar menggelitik perasaanku. Aku terpekik geli dan menengoknya secara sembunyi-sembunyi dari jendela kamarku. Aku pun juga semakin terpingkal ketika mendapati ekspresinya yang menunjukkan gelagat jijik. Lalu pertanyaannya itu, sangatlah tidak penting dan sangat tidak ingin aku jelaskan.

Tak mungkin aku akan menjawab bahwa aku baru saja mampir untuk mencuci motor. Karna setelah dicuci, tak mungkin berbau apek. Tak mungkin juga aku menjawab jujur bahwa lembab dan apek itu adalah percampuran antara bokong dan es blender rasa durian, yang kududuki rapat sehingga tak ada udara kemudian memunculkan bau apek. Oh, astaga!

Akhirnya, aku memilih opsi untuk hanya melipat kedua bibirku untuk menahan tawa dan juga memilih bungkam atas apa yang baru saja kau pertanyakan. Mas, maafkan aku!

Satu Alasan [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang