"Saya sudah lama berhenti menyukai atau membenci. Saya sekarang akan menerima apapun yang dihadapkan kepada saya"
- Sutardji C. Bachri
⚓
Aku berjalan di lorong kampusku dengan perasaan campur aduk serta didukung dengan mata yang sembab. Aku hanya berjalan lurus dan tak sedikitpun menoleh ke kanan ataupun ke kiri, menyapa, apalagi bercengkrama seperti yang biasa aku lakukan. Ditambah wajah polos tanpa makeup yang menyertai wajahku, juga menambah kesan 'sedang tidak baik-baik saja' padaku hari ini. Mungkin mereka semua yang mengenalku agaknya sedang bertanya-tanya mengapa aku terlihat kacau seperti ini. Aku mungkin minta maaf kepada mereka semua di dalam hatiku, karena aku benar-benar sedang tak ingin bicara pada siapapun, menjawab siapapun, ataupun tersenyum sekalipun.
Kali ini aku merasa diriku sudah seperti mayat hidup. Hanya saja aku sedikit lebih beruntung karena masih dapat bernapas dan memilih. Memilih untuk mempercayainya, atau mengabaikannya. Aku bahkan belum benar-benar mengenalnya. Tapi mengapa aku sudah jatuh seperti ini?
Setiap kali aku mencoba, nyatanya aku tak pernah mampu menghilangkan dan mengubah kesan buruk teramat dalam dari mereka yang profesinya mengenakan seragam sewarna tanah dan daun itu.
Aku bahkan sudah kalah sebelum bertempur. Aku bahkan sudah tertembak sebelum ikut berperang. Aku bahkan sudah terperosok hingga ke dasar lubang sebelum mulai melangkah.
Ah. Rupanya dia telah membunuhku, tanpa menyentuhku.
"Woiii!..." Sahut Linda yang tiba-tiba merangkulku dari belakang sehingga membuatku membuyarkan semua pikiranku yang tengah berkecamuk. Itu membuatku terpaksa tersenyum simpul dan menoleh kecil kepadanya. Lalu Ia segera sukses menerkaku dan menggeser tubuhnya tepat di hadapanku. "Astaga! Pucet banget sih!...Itu mata, juga...bengkak gitu", Ia menutup mulutnya kaget.
"Nggapapa", kataku mengangguk kecil sambil mencoba tersenyum. Walau senyumku, tidak sampai ke mataku. Kemudian aku berjalan mendahului Linda yang sepertinya tengah mematung beberapa saat. Aku menambah laju jalanku agar Linda tak menyusul lalu mengajukan pertanyaan yang pastinya tengah berhambur di kepalanya. Atau sebenarnya, aku hanya ingin sendiri. Itu lebih tepatnya.
Aku sudah mencapai kelasku saat Pak Ramli juga mulai terlihat membawa laptopnya dari ujung koridor. Saat mencapai pintu kelas, kulihat Sarah dan Shela yang sudah akan tersenyum dan memberitahukan hal-hal konyol kepadaku sebelum Ia dapat melihat raut wajahku dengan jelas. Ketika aku berjalan mendekat menuju mereka, sedetik kemudian kulihat Ia melongo heran kearahku. Aku minta maaf di dalam hati sekali lagi. Tapi aku hanya berjalan lurus menuju kursi terbelakang melewati mereka berdua.
Aku duduk dan tak melakukan apapun sembari membuang wajahku kearah jendela sebelum suara ribut langkah kaki dua orang sahabatku terdengar semakin dekat.
"Rin," Shela berusaha bersuara pelan kemudian menaruh telapaknya diatas tangan kananku yang kuletakkan di meja. Kemudian Ia melanjutkan, "Kamu ga..." kata-katanya terputus karena aku memotongnya begitu saja dengan mengatakan, "Aku nggapapa", yang kuulang hingga dua kali sembari mengangguk-angguk kecil untuk meyakinkan mereka berdua.
"Please. Aku... aku pengen sendiri dulu. Sekali... aja." tatapanku menyendu, yang langsung saja dapat kulihat gerak-gerik mereka yang paham akan keadaanku. Mereka juga tersenyum menguatkan sekali lagi ke wajahku sebelum mereka benar-benar meninggalkanku. Dan Sarah, memegang pundakku lalu berjalan pergi.
⚓
Untuk pertama kalinya, aku tak menaruh perhatian sedikit pun terhadap mata kuliah yang biasanya niat paling seriusku, kulabuhkan di psikologi umum ini. Bolpoin yang sudah kugenggam dari dua jam yang lalu pun tak sedikitpun kudaratkan diatas kertas buku catatanku. Sedangkan mataku mungkin tak berkedip ke arah pak Ramli, tapi pikiranku sudah berputar lalu tenggelam bersama keadaanku yang mengenaskan.
Untung saja pak Ramli bukanlah tipikal dosen 'killer' yang bisa saja memangsa murid-muridnya yang sedang kehilangan kesadaran. Aku benar-benar bersyukur atas kebaikan dan kesempatan yang dipersilahkan dirinya.
Begitu Pak Ramli keluar, aku membereskan semua perabotan menulisku yang bahkan tak satu huruf pun tertulis disana dengan susah payah. Semua teman-temanku juga bahkan sudah berlomba-lomba untuk mencapai puncak pintu keluar kelas dengan hentakan kaki yang seisi dunia juga mungkin dapat mendengarnya.
Aku melirik kearah Sarah, Shela dan Linda yang masih bergeming di tempat yang tengah Ia duduki. Lalu aku menyambar tasku dan hanya kukenakan sebelah tangan sambil berjalan menuju ke pintu kelas dengan senyuman setengah hati ke arah mereka.
Namun sebelum aku berhasil melangkahkan kaki melewati daun pintu, Shela berteriak cukup nyaring.
"Rin!", aku berhenti sejenak kemudian berbalik dan mendapatinya tengah memanggilku sambil berdiri.
"Kamu gak bisa lewatin itu sendirian", katanya dengan suara yang terdengar kokoh. Kemudian Shela melanjutkan,
"Kamu butuh kita".
Kata-kata itulah yang seketika sukses membuat kedua mataku berkaca-kaca. Hatiku juga terasa bergetar mendengar Shela mengucapkannya dengan sangat bersungguh-sungguh. Aku tengah berdiri menghadap mereka, memandangi mereka bertiga, lalu tak terasa sebutir air mataku meluncur begitu saja melewati pipi kananku. Aku tak tau kapan jelasnya, tapi kini tangis gerimisku sudah kian berubah menjadi amat deras dan mataku terasa sangat panas. Aku bahkan juga sudah bisa merasakan bahwa kini aku sudah terduduk di lantai. Aku menutup wajahku dengan kedua tangan, sesaat kemudian aku merasakan pelukan dan rangkulan hangat dari orang-orang yang kukenal sebagai sahabat.
Ya Tuhan. Aku tak menangis sendirian. Mereka semua, juga ikut menangis melihatku, bahkan disaat mereka tak benar-benar tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi padaku.
Tapi aku percaya, mereka pasti sudah menyadari bahwa aku sedang dalam situasi yang 'tidak baik-baik saja'.
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Alasan [HIATUS]
Romansa"Apakah sebuah kesalahan jika saya memiliki profesi dengan seragam seperti ini? Saya mencintai negara saya, dan saya berusaha untuk menjaga negara ini seperti apa yang saya lakukan sekarang, bersama seragam ini. Lalu tidak bisa kah saya melakukan ha...