Bagian 44

3.8K 242 33
                                    

"Mengetahui kebenaran terkadang memang menyakitkan. Tetapi ketahuilah bahwa itu adalah jenis rasa sakit (sementara) yang tumbuh dan akan membuatmu berkembang."

- Unknown

                                 ⚓

"Sebenarnya, apa yang salah denganku?" Kalimat itu terus saja bergaung di telinga. Buku yang terbuka, terus ku pandang tanpa arti. Cerita masa lalu pun kembali berperang dan menguarkan bau ketakutan yang semakin membungkus seluruh perasaanku. Aku sadar, bahwa aku lah yang terus memelintir hubungan yang harusnya bisa jadi mudah. Namun perasaan muak, dendam, takut, itu-itu saja yang terus bergerilya di dalam hatiku.

Mungkin aku memang tak mendengar suara peluru itu menembus paru dan ginjalnya, mungkin juga tak melihat darah yang mengucur keluar membanjiri tubuh dan sekitarnya. Namun, suara tangisan mama yang menggelegar di hari itu, membuatku takut hingga aku menutup telinga, berlari, dan bersembunyi di sudut kamarku—sendirian dengan tubuh kecil yang gemetar ketakutan. Hingga pada suatu saat dimana mama telah merasa bahwa aku siap, ia datang kepadaku dan menjelaskan segala sesuatunya satu persatu, aku sudah tak lagi menangis. Rasa sedih itu juga menjelma menjadi perasaan benci dan tumbuh bersamaan dengan diriku yang juga berkembang.

Entah dia atau mereka, adalah alasan mengapa papa tak pernah kembali.

"Rin!" tepukannya mengejutkan diriku.

"Udah dapet bukunya?" tanyanya. Ku angkat sedikit untuk menunjukkannya lalu mengangguk. Kemudian, ia merangkulku dan segera menuntunku ke meja kasir.

Setelah itu kami berkeliling sebentar untuk sekadar melihat-lihat. "Mas, aku pengen istirahat," bujukku untuk meminta pulang.

"Baru aja nyampe, Rin. Jangan buru-buru lah, lagian kamu juga kan yang emang mau kesini. Kita makan aja dulu, ya?" ajaknya. Lagi-lagi aku mengangguk untuk mengiyakan walau sebenarnya aku sedang tidak dalam mood yang baik.

"Mau makan apa, nih?"

"Apa aja deh, terserah," jawabku dengan malas.

"Ya udah, sushi." Putusnya.

"Jangan sushi, aku pengen yang kuah."

"Kan ada udon juga atau ramen."

"Lagi ngga pengen makan gituan, yang lain aja."

"Kita ke atas kalo gitu, ada bakso."

"Nggak mau bakso juga, Mas Rayhan." Delikku dengan tajam.

"Ya Allah, Rin." Ia berhenti dan memasang wajah melas hingga membuat aku tertawa. "Katanya tadi terserah, kok malah milih-milih?"

"Iya kan emang terserah, ngapain juga malah ngikutin aku?" Ia menatapku dengan pasrah, lalu mulai berjalan mendahuluiku dengan cepat dan berhasil membuatku tertawa lepas dan berlari mengejarnya.

Tak lama setelah itu, kami berhasil menemukan tempat yang cocok untuk mengisi perut dan sukses menandaskan masing-masing semangkuk penuh sop daging berserta kuahnya. Namun, saat aku meminta agar segera kembali, ia sama sekali tak menggubrisku dan terus berlama-lama disini. Sesaat setelah ia membayar pun, ia malah mengajakku agar menemaninya kembali untuk membeli sepatu olahraga.

"Kenapa nggak daritadi, sih? Males bolak-balik! Udah deh naik aja sendiri aku tunggu di parkiran."

"Nggak ada! Buruan! Nanti kamu malah pulang lagi." Ia menarik tanganku keras hingga aku benar-benar turun dari mobil. Sebelumnya, aku berencana mengambil kuncinya secara diam-diam, namun kali ini ia malah menyimpan itu di dalam waist-bag yang ia kenakan.

Berbagai macam rencana terus bergulir agar aku dapat kembali terlebih dahulu dan meninggalkan lelaki ini, karena jika ia telah memilih bahkan hanya untuk sepasang sepatu, ia bisa memakan waktu satu jam setengah, tentu melebihi diriku.

Aku masih terus memikirkan rencananya, hingga memang terbukti bahwa Tuhan selalu berada bersama kita. Ia menyayangiku hingga aku diizinkan untuk mengistirahatkan diriku lebih dulu. Tanpa pikir panjang, Mas Rayhan menyerahkan tasnya untuk dititipkan kepadaku karena ia akan pergi ke toilet.

"Jagain sebentar, aku mau ke WC." Lalu, dengan mata berbinar aku mengangguk dan menerimanya dengan rasa senang hati yang luar biasa.

Setelah kupastikan ia sudah benar-benar hilang di lekukan itu, aku mulai menjalankan aksiku untuk mengambil kunci tersebut dan segera menyimpannya ke dalam tasku serta menumpukinya dengan bedak dan lipstikku, jikalau ia mencoba mengintip ke dalamnya. Kemudian, aku kembali melihat-lihat deretan sepatu yang terjejer itu agar ia tak mencurigaiku.

Setelah ia kembali dan meminta tasnya padaku, aku berdalih dan mengatakan hal yang sama kepadanya. "Aku juga mau ke toilet, tungguin." Ia mengangguk begitu saja tanpa mencoba mengecek kembali isi tasnya. Syukurlah.

Setelah berjalan dengan santai beberapa langkah, aku mulai menambah kecepatanku ketika telah kupastikan tubuhku takkan tertangkap oleh pandangannya setelah melewati dinding itu.

Aku berjalan cepat menuju parkiran dan agak menerobos kerumunan orang yang juga sama-sama ingin menaiki lift, tak apa aku berdesakan untuk sementara alih-alih eskalator yang hanya akan memperlambatku jika ia sudah menyadarinya.

Pintu lift terbuka, menunjukkan bahwa aku dan beberapa orang di dalam lift ini telah sampai ke tempat tujuan. Aku buru-buru melangkah dan telponku mulai berdering. Aku tersenyum, rupanya ia sudah tahu bahwa aku telah mencuri kunci darinya.

Buru-buru aku mencapai mobil dan segera mengendarainya keluar dari sini. Namun, setelah aku tiba di rumah, entah mengapa ada beberapa mobil telah terparkir di depan tepat di depan rumah. Salah satu yang kuketahui adalah mobil Gina. Tak biasanya ia berkunjung kemari jika aku tak ada di rumah.

Kemudian, saat aku membuka pintu, pelukan Gina, Shela, dan Linda yang seolah melompat ketika melihatku begitu membuatku terkejut. Lalu Shela mengatakan kalimat yang membuatku kebingungan, "Selamat ya, Rin!" Wajahnya begitu merona dan bahagia.

Pelukan mereka begitu kencang hingga membuatku tak seimbang dan sedikit terhuyung ke belakang. Aku mengernyit, "selamat apa?"

Mereka bertiga berangsur melepaskan pelukannya lalu tersenyum, termasuk mama yang ternyata juga mengekori mereka dari belakang. Ketika mereka semua bergeser dari pandanganku, aku melihat sebuah dekorasi yang begitu indah di ruang tamu.

Kursi-kursi putih berjejer rapi dengan karpet cokelat indah sebagai alasnya. Tirai putih menjuntai dengan warna emas dari daun kering, hijau dari daun buatan, serta berbagai macam warna bunga yang seperti tumbuh dari bagian tengahnya, lampu-lampu bersinar menerangi mereka dari berbagai sudut dengan anggun. Akan tetapi, simbol huruf 'A' yang digantung kembar itulah yang paling mencuri perhatianku.

"Siapa yang mau tunangan?"

"Kita." Jawab seseorang dari balik tubuhku. Lalu, ia melangkah tepat di sampingku dan mengela napas panjang dengan wajah yang gembira, "aku juga harus terima kasih sama abangmu, udah bantu ngulur waktu, walaupun kamu harus ngeliat ini setengah jadi." Ia berkata sembari memandangi dekorasi itu dengan berkacak pinggang.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 27, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Satu Alasan [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang