"Robek-robeklah badanku, potong-potonglah jasad ini, tetapi jiwaku dilindungi benteng merah putih. Akan tetap hidup, tetap menuntut bela, siapapun lawan yang aku hadapi"
– Jenderal Sudirman
⚓
|ADAM POV|
17 Agustus 2018Ini adalah hari yang cerah, secerah hati kami. Secerah seragam kami, pun secerah senyum kami. Senyum para pasukan, senyum para putra dan putri terbaik bangsa yang akan mengibarkan bendera negara ini, tepat hari ini. Tepat di tanah yang sedang kami pijak. Dan tempat dimana kami ditempa selama berbulan-bulan lamanya.
Lapangan ini sudah seperti lautan manusia. Tumpah ruah memenuhi sekitarnya. Entah para petugas upacara yang sudah bersiap tegap walaupun tetap tak bisa menghilangkan guratan tegang di sorot matanya, peserta upacara yang sudah berbaris rapi mengelilingi lapangan ini sambil mengangkat handphone-nya tinggi-tinggi atau mereka yang tengah berhenti sejenak dan memarkirkan kendaraan mereka di sembarang tempat, hanya untuk melihat bendera kebanggannya dinaikkan ke ujung tiang tertinggi. Serta tentunya, para orangtua yang sedang berbangga hati melihat anak tercintanya menjadi salah satu diantara pasukan membanggakan yang berseragam putih dan merah itu.
Jantungku kian berdebar kencang, dahiku berkeringat tak karuan, dan tanganku mungkin juga sedikit bergetar.
Aku memang lelaki dan aku memang seorang prajurit. Tetapi, setangguh-tangguhnya seorang prajurit, kami pun juga tetap manusia. Dan keadaanku saat ini juga merupakan keadaan manusiawi seorang manusia yang gugup ketika ada beribu pasang mata yang nantinya akan menatap kami lekat-lekat. Terutama posisiku, yang sebagai Komandan Pasukan 45. Pasukan pengawal bersenjata yang beranggotakan gabungan antara seluruh matra TNI dan POLRI. Ini semua berkat suara tegas dan lantang yang aku miliki.
Sekali lagi, aku mencoba-coba suaraku dan mengingat kembali aba-aba apa saja yang akan kuucapkan. Aku tak boleh salah, aku tak boleh mengecewakan. Karena sekali tampil, tentulah harus berhasil.
Kini, aku sedang berdoa dalam hati. Dan berharap agar segalanya dapat berjalan lancar sesuai dengan apa yang sudah kami persiapkan selama ini. Semua dari kami, memiliki cap khusus yang mudah dikenali. Bekas-bekas perjuangan kami itu ditandai dengan warna hitam lebam di buku buku jari kedua tangan kami semua. Yang artinya, tak sedikitpun kami bercanda dengan jalan apa yang sudah kami pilih.
Aku menghela napas lalu sedikit membetulkan kerah baju merahku yang rupanya juga agak terlipat. Aku juga mengencangkan sabuk pinggangku kemudian mengecek ikat tali sepatuku. Baiklah, aku sudah siap. Dan kuharap, kita semua seperti itu.
Ayah, ibu. Entah mengapa kali ini aku benar-benar rindu padamu.
Ibu lihatlah, kini anakmu ada di barisan terdepan pasukan bersenjata. Ayah lihatlah, Aku telah dipercaya untuk menjadi seorang Komandan Pasukan bersenjata di hari sepenting ini.
Ibu, kau harusnya ada disini. Membantuku menyeka keringat serta air mataku ketika aku sibuk menatap senyum kebahagiaan di wajah senjamu.
Ayah, kau harusnya memeluk dan mengusap punggungku, kala aku selesai dalam tugasku. Serta menenangkanku ketika aku sedang menangis terharu akan keberhasilanku memimpin mereka semua. Batinku berkecamuk memikirkannya.Manakala aku membuka mata dan tersadar bahwa itu semua tidak akan mungkin terjadi, izinkan aku tetap tegar dan tersenyum kali ini. Dan aku, sedang menggenggam tanganku sendiri. Mencoba menguatkan diriku sendiri.
Ayah, Ibu. Anakmu ini merindukanmu.
|Arin POV|
Ia bersuara. Ia tengah berteriak. Dan aku hanya dapat terpaku untuk beberapa saat. Aku bahkan tak memperdulikan teman-temanku yang kini tengah mengajakku berbicara. Aku yang biasanya tak pernah absen jika mengabadikan dan mengunggah momen-momen berharga seperti saat ini, kini aku melupakannya. Baru kali ini aku merasakan hati dan mataku sama-sama menatap satu objek yang sama. Sama-sama sudah merasakan sesuatu yang amat sinkron.
Itu dia! Dia si penyenggol gila itu! Dan sekarang, sedang tersandar sepucuk senjata di bahu kiri tangguhnya. Dan aku tak bisa menyembunyikan kekagumanku terhadapnya, yang telah berubah 360 derajat.
"Sumpah! sumpah! Yang pasukan itu keren banget! Parah, ya ampun!". Sahut Shela yang kini tengah bolak-balik mengabadikan momen tersebut untuk diunggah ke story instagramnya.
"Fix. Habis ini aku bakalan minta foto sama yang itu! Fix!" Kali ini giliran Gina yang menyatakan tekadnya. Dan pandangannya juga tak lepas dari mereka yang berseragam merah itu.
Aku juga kagum, Shel. Aku juga takjub, Gin. Pasukan yang tadi kau puji itu, pasukan yang sedang kau tatap itu, aku pun juga mengaguminya. Terutama dia. Yang kini tengah berteriak, yang kini sedang bersuara. Yang terdepan, dan yang terkanan. Aku bahkan setia berjinjit demi mendapatkan celah penglihatan ketika kepala teman-temanku melindungi pemandangan luar biasa indah ini.
Bahunya begitu tegap, pas dan—entahlah. Bisakah aku yang menjadi senjatanya saja?
Oh, aku benci saat- saat dimana aku mulai menghianati diriku sendiri. Aku benci ketika aku melihat seseorang yang bahkan kubenci, tapi Ia bisa membuatku setakjub ini. Lihatlah sekarang, aku sedang tersenyum.
Dan kurasa, aku mulai menyukainya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Alasan [HIATUS]
Romansa"Apakah sebuah kesalahan jika saya memiliki profesi dengan seragam seperti ini? Saya mencintai negara saya, dan saya berusaha untuk menjaga negara ini seperti apa yang saya lakukan sekarang, bersama seragam ini. Lalu tidak bisa kah saya melakukan ha...