Bagian 18

4.5K 299 13
                                        

"Jadilah dirimu sendiri agar ketika seseorang mencintaimu, kamu tak perlu takut jika dia akan temukan dirimu yang ternyata bukan orang yang ingin dia cintai."

- Ismail Marzuki

                                 ⚓

Sebuah kotak berwarna cerah terbalut kertas sewarna pelangi, telah terduduk lembut diatas kasurku, bersama setangkai bunga matahari tinggi berkuncup besar yang belum mekar seutuhnya tepat disebelahnya, dengan bagian bawah bunga tersebut yang terbalut plastik hitam berisi tanah, yang aku percaya itu bernama, polybag.

Oke, ini lucu. Tidak bisa kah seseorang itu menaruhnya cukup di lantai saja? Meskipun di bagian bawahnya sudah di alasi dengan kardus, tapi tetap saja aku khawatir kalau-kalau cacingnya mungkin saja akan berpindah ke atas kasurku juga.

Aku termenung. Dan aku tak tau harus sedih, atau senang?

Mengingat ia yang mengembalikan buku catatanku dengan sedemikian rupa, tapi tanpa Ia pula yang memberikannya secara langsung kepadaku.

Aku meraih buku itu dari dalam kotak tersebut. Memandanginya sejenak seperti orang yang baru bertemu sanak saudaranya setelah bertahun-tahun lamanya.

Hmm...masih sama rupanya. Tak ada lembar yang robek atau noda yang bertambah.

Tapi...tunggu!

Ada lembar yang...terlipat? Langsung saja aku membelah dan menempatkan halamannya pada kertas yang berlipat tersebut. Dan disana telah tertulis rapi beberapa kalimat. Yang berbunyi,

Saya nggak bawa pulpen, dan saya nggak bawa kertas atau semacamnya untuk menulis. Saya cuma bawa buku kamu, jadi saya minta maaf udah nulis ini disini. Saya mau bilang,

Saya minta maaf ya, Arin. Dan Saya merasa malu, udah buat janji ke kamu, tapi saya sendiri yang malah nggak datang.

Saya akan jelaskan begitu nanti kita ketemu lagi.

Mungkin, kalau kamu mau.

- D. Adam W.

Bagian kalimat yang mengatakan, kalau kamu mau, itu benar-benar menyinggungku.

Lagipula...

Siapa juga yang tak ingin bertemu denganmu, lagi?

Astaga! Sadarlah! Sejak kapan aku menjadi begitu lemah dan baper hanya dengan membaca tulisan berhamburan ini dan perminta-maaf-annya?

Aku akui. Ini memang tulisan yang rapi, dengan catatan, hanya jika dilihat sekilas. Tapi jika dilihat dengan seksama, ini akan berubah menjadi tulisan yang compang-camping, karena setiap goresannya terlihat seperti orang yang tak memiliki niat untuk menulis, lalu huruf-hurufnya bahkan berdiri tidak lebih bagus dari tulisan anak kelas enam Sekolah Dasar.

Ini sama sekali tidak rapi.

Tapi aku menyukainya. Aku sedang tidak waras, bukan?

Tok...tok...

Suara ketukan di pintu membuyarkan kesibukanku yang sedang menilai tulisannya.

"Mbak Arin...nanti baksonya dingin." Ujar Bude Yuli setelah mengetuk pintuku.

"Iya bude, ini udah mau turun." Sahutku berbohong. Aku bahkan belum mengganti bajuku karena perhatianku yang teralihkan sejak tadi.

Dan sejak aku mengetahui bahwa semua benda-benda itu datangnya dari Adam, sejak itulah laparku juga sudah menghilang. Tapi hari ini aku belum makan sama sekali, hanya selembar roti dengan selai cokelat yang ku arsir tak karuan sebagai sarapan tadi pagi.

Satu Alasan [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang