Bagian 43

2.4K 217 22
                                    

"Pikiran itu seperti air. Ketika bergolak, sulit untuk melihat. Namun ketika tenang, semuanya menjadi lebih jelas."

- Unknown

                                   ⚓

"DASAR PENGECUT!" teriakku dengan isak tangis yang tertahan. Kedua tanganku mengepal kuat hingga bisa kurasakan panasnya menjalar dari kuku-kuku jemariku yang menusuk telapak tangan.

Ia berhenti tepat setelah aku meneriakinya dengan kencang. Lalu berbalik dan menoleh kepadaku dengan alis yang bertaut, "siapa yang kamu bilang pengecut?"

Dengan senyum bergetar yang kupaksakan dan gigi yang saling bergemeletuk aku berkata, "Menurutmu?"

Aku tersenyum miring, "Kamu mundur disaat semua orang maju. Apa itu bukan pengecut, hah?"

"Apa kamu masih nggak nyadar, Dam?"

"Kamu begitu bangga dengan seragammu tadi, sampai kamu lupa kalau kamu jadi yang pertama mundur dari medan dimana seharusnya kamu bertempur."

"Kamu balik arah disaat musuh yang harusnya kamu taklukkan masih ada di depanmu."

Aku tersenyum sesak sambil menitikkan air mata. "Harusnya kamu malu sama seragammu itu," tunjukku dengan dagu.

Rahangku mengeras. "Ternyata kamu pengecut!"

Ia terdiam dan menatap lurus pada kedua mataku dengan air muka yang tak dapat kujelaskan. Di bawah rinai hujan ini masih dapat kusaksikan bahwa matanya yang melebar tengah menatapku dalam-dalam. Kemudian ia melangkah ke arahku untuk mengikis jarak yang sempat ia perlebar.

"Saya nggak paham sama kamu—"

*PLAKK!!!*

Aku membungkamnya dengan tamparan keras yang kudaratkan pada pipi kirinya hingga wajahnya bertolak ke kanan.

Sensasi panas langsung menyergap telapak tanganku sesaat setelah aku menamparnya. Begitu pula dengan perasaanku yang sama-sama ikut terbakar dan tenggelam oleh rasa kecewa. "Apa kurang jelas, Dam, kata-kataku di rumah sakit waktu itu?"

Ia kembali menengokkan wajahnya padaku. Seketika telunjuk tangan kananku terarah pada dadanya dengan kasar, "ragamu mungkin nggak sadar dan matamu mungkin nggak bisa liat aku, tapi aku yakin kalau kamu pasti dengar apa yang aku bilang!"

"Aku cinta sama kamu! Aku suka sama kamu! Dan aku mohon supaya kamu bisa yakinin aku kalau kamu adalah seseorang yang bisa bantu aku buat sembuhin segala trauma dan rasa raguku!"

Aku terisak kencang, "aku trauma—"

" ... aku minta tolong."

Bibirku bergetar hebat. "Apa kamu masih belum paham juga, Dam?"

"Dimana lagi bagian yang masih belum kamu paham?" kataku masih dengan isakan tangis yang tak dapat kubendung. Aku benar-benar mengeluarkan segala tangisanku saat ini, berharap aku tak akan menangis lagi dengan alasan yang sama.

Hujan dan kilat cahaya yang menjadi latar pecahnya tangisku terlukis dengan begitu sempurna. Namun, Angin yang bertiup selalu berusaha untuk mengeringkan air mata yang menetes di kedua pipiku.

Ia menatapku lagi dengan tatapan yang selalu sama dan sama sekali tak dapat kuartikan. Lantas aku memilih pergi sebelum aku jatuh terkulai tanpa seorangpun yang akan bersukarela menolongku disini.

Kuhapus semua air mata yang mengucur bersamaan dengan hujan yang turun melewati pipiku dan berusaha menegakkan kepalaku sekali lagi.

Dengan tubuh yang sama bergetarnya dengan bibirku, kulangkahkan kakiku untuk menjauh cepat-cepat dari tatapan busuknya yang sama sekali tak memiliki rasa berbelas kasih. Sejujurnya melihat dirinya yang sedingin ini juga membuatku sangat terluka. Namun bagaimana pun juga, seseorang tak mungkin mampu membantu mengubah sifat seseorang yang lain, jika ia juga tak mau membantu mengubah dirinya sendiri.

Satu Alasan [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang