Bagian 22

4K 291 7
                                    

"Ketika seseorang berusaha menjauhi hidupmu, biarkanlah. Kepergianya hanya membuka pintu bagi seseorang yang lebih baik untuk masuk."

- Ismail Marzuki

Aku merasakan mataku yang bengkak dan sembab di pagi harinya bagai disengat ribuan lebah raksasa. Aku hanya menatap kosong jendela kamarku yang langsung menghadap ke taman belakang untuk beberapa saat.

Sekali lagi, aku menyadari bahwa aku selalu saja menjadi wanita yang menyedihkan dalam hal-hal seperti ini, terlebih jika itu menyangkut tentang dirinya.

Tapi aku juga menyadari betapa bodohnya diriku yang sudah mengatakan hal-hal gila semacam itu kepadanya. Dan kini, aku merasa bukan dirinya lah orang yang tak termaafkan itu, tapi ternyata, aku lah yang justru menjadi si wanita yang tak akan pernah dimaafkan olehnya. Semoga Ia selalu sehat dan baik-baik saja.

Aku beranjak malas dari kasurku. Berjalan gontai menuju kamar mandi, menyikat gigiku, kemudian memberikan beberapa basuhan pada wajahku. Lalu kutarik handuk kecil di belakang pintu untuk menyeka air yang masih bertengger di permukaan wajahku. Kemudian aku bercermin sekali lagi, memastikan bahwa memang akulah 'Si wanita yang tak termaafkan' itu.

Setelahnya, aku berjalan kembali ke arah kasurku, duduk di tepinya, kemudian meraih hp-ku yang terbaring di atas nakas di samping medan gravitasi terbesar kita semua, yang sejak tadi sudah memanggil untuk disentuh.

Aku menatapnya lagi, sembari mengingat telah tersimpan sebuah rekaman indah sekaligus menyakitkan di dalam sini. Aku membukanya perlahan, juga memberi jeda disetiap detiknya.

Ketika aku sudah membuka galeri, terpampanglah video itu tepat di permukaan albumnya. Aku menatapnya lagi, terus saja menatapnya, karena masih belum sanggup untuk memutar dan melihat seperti apa tepatnya isi video singkat itu.

Karena aku, sudah terlalu menyesal.

Tok...tok...tok...

Suara ketukan di pintu kamarku, telah menginterupsi lamunanku.

"Mbak Rin...di panggil ibu, sarapan dulu," terdengarlah suara Bude Yuli yang agaknya terlalu bertenaga. Aku hanya menoleh, tapi aku tak menggubrisnya. Aku sedang tak ingin makan apapun, mengunyah apapun atau menelan apapun.

Aku sedang dalam keadaan yang tidak baik-baik saja hari ini. Meskipun kuakui hampir setiap hari aku merasakannya.

Lalu terdengar lagi suara ketukan pintu yang berulang kali. Sebenarnya bukan, bukan ketukan, ini terdengar lebih seperti gedoran rentenir yang sedang menagih utang. Apa Bude Yuli sudah memulai sarapannya lebih dulu?, sehingga tangannya bisa mengetuk dengan sangat amat kencang hingga aku khawatir kalau-kalau pintuku akan bergeser dari tempatnya?

Beberapa detik kemudian, ketukan di pintu kamarku hilang secara tiba-tiba dan begitu misterius. Namun, terdengar juga sayup-sayup dua orang yang tengah berbisik, namun entah Bude Yuli dengan makhluk macam apa dan siapa di luar sana.

Aku menyatukan kedua alisku, kemudian menoleh ke arah pintu. Namun hasilnya nihil. Suara tadi telah hilang dan tak terdengar apapun lagi.

Aku kembali memutar kepalaku dan memfokuskan kembali pikiranku, kepada jariku yang hanya tinggal mendaratkan setitik sentuhannya pada layar, lalu terputarlah rekaman perpisahan itu, ala diriku yang merekamnya sambil menangis sesenggukan.

"Rin, ayo makan. Mas tunggu di bawah." Ujarnya singkat.

Setelah aku mendengarnya, aku terpaku sejenak. Tapi sedetik setelah aku menyadarinya, aku langsung melompat begitu saja ke arah pintu, memutar kuncinya, lalu menghambur dirinya dari belakang.

"Maaasss..."

Aku memeluknya, aku sudah memeluknya dengan seluruh jiwa dan ragaku, hingga kini aku bisa merasakan perutnya yang mengencang karena kesulitan bernafas. Rupanya, lelaki yang paling kucintai setelah ayahku ini, pulang lebih awal dan sama sekali tak terduga.

Ia membalikkan badannya. Masih dengan memegang tanganku, Ia menelusuri kedua mataku, menatapku datar, kemudian berkata,

"Akhirnya si galak bisa nangis juga," dengan sedikit menampilkan seringai aneh di akhir kalimatnya. Kemudian Ia menjitak dahiku ke belakang, lalu melepaskan pelukanku pada pinggangnya.

                                   ⚓

Setelah selesai sarapan, aku membantu Bude Yuli membereskan meja dan mengangkat piring-piring kotor. Aku juga bolak-balik dan mondar-mandir untuk mengamati isi kulkasku yang akan selalu menarik secara tiba-tiba apabila si karang laut itu sudah pulang. Akhirnya, aku menemukan klappertart dengan cup berbentuk oval di samping keju-keju gila itu yang sama menjengkelkannya seperti Mas Rayhan.

Aku meraihnya, kemudian membawanya ke teras depan untuk kunikmati disana sambil menikmati semilir angin pagi dengan matahari yang belum naik sepenuhnya.

Aku membuka wrap yang menutupinya, kemudian langsung memasukkan sesendok penuh pada mulutku. Aku sudah sarapan. Tapi aku juga heran mengapa aku tak kunjung merasakan kenyang. Apa ini pengaruh moodku yang terus saja membuatku lapar dan selalu ingin makan apa saja?

Saat sedang tenggelam dalam kelana pikiranku, dan tengah asyik-asyiknya makan, ternyata si karang laut itu mengagetkanku hingga rasanya jantungku sempat terangkat dan peganganku terhadap kudapan cantik itu terlepas.

Aku diam. Menatap kosong lurus ke depan dengan mulut yang separuh menganga. Sambil tetap terpaku dengan mempertahankan posisiku sebelumnya. Berusaha meredam seluruh kejengkelan diriku, namun nampaknya sudah mencapai ubun-ubun.

Kemudian, aku memberikan tatapan datar tajam, mengintimidasi, dan menginterogasi secara bersamaan ke arahnya secara perlahan, dan menahan semburan api dari mataku selama beberapa saat.

Ah. Rupanya Ia masih berani menggoda adiknya ini.

Aku mengambil ancang-ancang untuk menggebuknya. Mencari-cari titik lemahnya, lalu dalam hitungan ketiga, aku sudah berlari menuju dirinya dengan sendok yang kuacungkan tinggi ke arahnya.
Saat senjataku itu sudah hanya berjarak beberapa senti dari hidungnya, Ia berkata,

"Aku tau orangnya." Aku berhenti secara mendadak.

"Aku sudah liat orangnya." Kernyitan di dahiku semakin dalam.

"Bunga dan kotak itu, aku yang taruh. Aku juga yang terima langsung dari dia,"

"si tentara itu." Sambungnya. Tanganku seketika lemas. Dan aku menjatuhkan sendok tadi begitu saja ke lantai.

Satu Alasan [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang