Bagian 39

3K 309 26
                                        

"Dan yang terpenting diatas segala-galanya ialah keberaniannya. Kesederhanaannya adalah kejujuran, dan keberanian adalah ketulusan."

- Pramoedya Ananta Toer

                                  ⚓

Aku menahan napas dan untuk beberapa detik dan aku yakin duniaku juga sempat terhenti untuk sejenak. Aku pun tak bisa berkata-kata bahkan hanya untuk mengucapkan salam atau sekadar tersenyum.

"Silakan duduk." Ayah Gina duduk pada posisi paling ujung di sofanya, memutuskan untuk memecah keheningan dan menjadi yang paling pertama untuk menegurku. Aku mengangguk pelan, lalu tersenyum selebar mungkin untuk menghilangkan kecanggungan yang tercetak jelas pada wajahku. Memindah tangankan parsel buah tadi kepada Gina, kemudian berjalan ke arah kursi yang dimaksud oleh ayahnya, sambil dapat kurasakan tatapan intimidasi dari semua orang yang ada di ruangan itu.

Aku duduk pada satu-satunya bagian sofa yang kosong, tepat di sebelah mas Rayhan. Namun sialnya, aku juga berseberangan tepat dengan Adam. Aku membuang tatapanku dan berusaha mengatur irama napasku serta mencoba rileks.

Setelah aku memposisikan tubuhku dengan benar pada kursi tersebut, tak sengaja aku memergoki Adam yang tengah memerhatikanku sedari tadi. Lalu ketika pandanganku dan pandangannya bertubrukan, ia cepat-cepat mengalihkan wajahnya kembali ke arah lain.

Namun jika aku tidak salah menduga, raut wajahnya yang juga sama terkejutnya denganku ketika ia baru saja melihatku datang, sepertinya ia juga merupakan korban. Ia sama tidak tahu-menahunya seperti aku.

"Terimakasih atas kesediaan ibu dan mas dari Arina, yang sudah berkenan untuk hadir."

Aku merinding. Bahkan baru sepatah kalimat pembuka dari jenderal itu, sudah memberikan dampak yang kini membuat perasaanku berdebar tak karuan.

Kulihat ia menghela napas halus sebelum memulai perkataannya, kemudian tersenyum setelahnya. "Dulu, saya kenal baik dengan ayahanda dari Arina. Ia bahkan sahabat saya yang paling dekat ketika SMA." Beliau menjeda untuk menarik napas.

"Saya dulu tidak pernah ada niatan untuk mendaftar tentara. Justru karena selalu diajak dan dipaksa oleh Haris, akhirnya saya ikut mencoba."

"Pertama kali kami berdua mencoba untuk mendaftar Bintara Angkatan Darat, namun kami berdua sama-sama gagal. Di tahun kedua, kami mencoba mendaftar Akmil, dan kami berdua pun juga sama-sama tidak lolos. Lalu di tahun ketiga, saya sempat putus harapan dan tidak mau mencoba lagi, tapi Haris terus menyemangati saya. Akhirnya, kami berdua masih kembali mencoba mendaftar di AAL dan pada saat itu saya lah yang justru diterima dan Haris lah yang tidak lolos," mama tertawa kecil dan kulihat mas Rayhan tersenyum lalu menunduk.

Hatiku terasa bergetar ketika ada seseorang yang dengan senang hati mau menceritakan tentang papa kepadaku. Dan setelah mendengarnya tadi, aku pun juga ikut tersenyum mendengar cerita tersebut. Lalu pikiranku mulai berkelana, mencoba menghubungkan peristiwa-peristiwa masa kecilku yang masih aku ingat sampai sekarang.

Memang benar, kala itu papa memang senang sekali berolahraga dengan memboncengku sambil bersepeda mengelilingi komplek setiap hari Sabtu dan Minggu. Aku juga pernah merengek hingga berguling di jalan depan rumah karena ingin sekali ikut papa berlari sore dengan ayah tetangga di depan rumah.

Dan ... pantas saja. Semua foto papa yang mama tunjukkan kepadaku, potongan rambutnya selalu terlihat pendek dan rapi.

Ternyata, itulah alasannya. Aku tak tahu jika sampai pada saat itu, papa masih memiliki semangat akan hal tersebut.

"Pada saat sidang pengumuman itu, saya tidak tahu harus senang atau sedih. Tapi yang pasti, saya tetap menangis."

"Saya tahu Haris juga menangis ketika memeluk saya, tapi setelah itu dia kembali tersenyum dan memegang pundak saya. Dia akan menyusul walau dalam tempat dan tempaan yang berbeda, katanya. Dan ternyata, itu memang dia buktikan. Saya Akademi Angkatan Laut dan dia Institut Pemerintahan Dalam Negeri, kan? Saya rasa, kami sama saja. Ini hanya masalah tugas." Lalu sedetik setelahnya, kulihat ayah Gina menampilkan senyum tulusnya hingga memperlihatkan kerut-kerut tipis di sekitar matanya.

Satu Alasan [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang