12. Bolos

5.5K 626 7
                                    

Revan memejamkan matanya perlahan, berusaha menghalau rasa sesak di dadanya. Ini memang bukan yang pertama baginya, tapi tetap saja dirinya akan selalu kalah jika di hadapkan dengan rasa sakit ini.

Revan tidak sekuat yang orang lain bayangkan, dirinya rapuh bahkan sangat rapuh. Hanya saja sosoknya terlalu pandai bersembunyi di balik topeng. Bersikap seolah olah semuanya baik baik saja.

Dirinya cukup sadar diri, selama ini dirinya hanyalah beban keluarga. Keberadaannya tidak pernah di anggap, dan hidupnya selalu di penuhi tekanan.

Revan beranjak dari tidurnya, membawa langkah pelannya menuju kamar mandi. Badannya mungkin masih terasa lemas, rasa sesak di dadanya juga belum kunjung pulih, tapi badannya benar benar terasa lengket. Dan Revan rasa, dirinya memang harus segera mandi.

Sekali lagi, untuk yang kesekian kalinya Revan kembali memejam. Tepat setelah rasa pening tersebut kembali mengusiknya. Revan meringis pelan, tangannya terangkat untuk memegangi pelipisnya.

"Ga Van, jangan sekarang. Lo kuat" lirihnya pelan sebelum akhirnya memilih menarik nafas panjang. Dan kemudian melanjutkan langkahnya menuju kamar mandi.

Tidak makan seharian, serta fisiknya yang terlalu lelah mungkin menjadi salah satu alasan dari sakitnya kali ini. Revan sakit, hanya saja tidak ada satu orangpun yang mengetahuinya— baik itu Darren, papanya bahkan kedua sahabatnya sekalipun.

Revan pintar bukan? Menyembunyikan hal sebesar ini hanya karena tidak ingin menyusahkan. Semuanya ia simpan rapat - rapat di balik senyum handalannya.

Entah apa yang akan terjadi nantinya, yang jelas untuk saat ini dirinya hanya ingin belajar menjadi pribadi yang lebih mandiri. Jika tersiksa adalah salah satu konsekuensi yang harus ia terima— maka Revan siap. Bahkan sangat siap.

Butuh waktu sepuluh menit bagi Revan untuk membersihkan dirinya, dan kini? Laki - laki tersebut terlihat sedang berdiri di depan cermin. Mengamati setiap inci wajahnya yang terlihat cukup pucat, sebelum akhirnya tersenyum tipis.

"Ga usah alay, lo itu cuma sakit biasa— jadi ga usah manja" ujar Revan pada dirinya sendirinya.

***

"Netizen kalau senam jempol di ponsel nggak pakai pendinginan, pantes komennya bikin panas terus"

"Lo kenapa dah Van? Dari tadi ngomel mulu perasaan" celetuk Vano seraya mengalihkan atensinya kearah Revan. Bukan apa - apa, hanya saja dirinya merasa jengkel mendengar omelan Revan yang entah di tunjukkan untuk siapa.

"Gue lagi kesel"

"Ya keselnya tu kesel kenapa?"

"Mending sekarang lo liat sendiri, komennya kaga ada akhlak semua" ujar Revan seraya menyerahkan ponselnya kearah Adrian. Vano mendekat, berusaha mencari tau apa yang sedari tadi membuat Revan seperti cacing kepanasan.

"Yaolohhh, coment - coment kaya gini tu seharusnya ga usah lo masukin hati bangsat"

"Emang keliatan banget ya kalau keberadaan gue tu cuma jadi benalu di hidupnya Darren?" Ujar Revan seraya mengamati kembali layar di ponselnya, ralat— lebih tepatnya pada sebuah postingan yang baru saja ia unggah.

Padahal foto yang ia unggah tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan Darren. Tapi tidak jarang ia mendapat komentar berupa sindiran yang selalu membanding - bandingkan. Bukannya tidak suka, tapi seburuk ituka dirinya?

"Udahlah boy, ga usah kesel - kesel gitu mukaknya. Inget muka lo tu udah jelek, jadi kaga usah di jelek - jelekin lagi" Adrian mengingatkan, sedangkan Revan? Tetap saja dirinya masih kesal dengan komentar - komentar dajjal tersebut.

"Mereka statusnya doang rohani, kelakuannya rohalus"

"Udah kali Van, lo kalau kesel mulut lo pedes juga ya" ujar Vano seraya menggelengkan kepalanya heran.

"Gimana ga kesel coba, orang mereka comentnya kaga ada akhlak semua"

"Lo ngomongin akhlak mulu dari tadi, emang lo punya akhlak?"

"Punya, tapi masih gue pinjemin ke tetangga sebelah"

"Ga gitu juga konsepnya bambank"

Revan menghela nafas pelan sebelum akhirnya merebahkan kepalanya di atas meja dengan kedua tangannya yang ia gunakan sebagai bantal. Dirinya cukup lelah hari ini, entah kenapa orang - orang selalu berlomba untuk menjatuhkannya.

Apakah ia setinggi itu sehingga tak sedikit orang yang ingin menjatuhkannya? Tak sadarkah mereka jika ia sudah cukup menderita saat ini?.

"Udahlah Van, dari pada lo galau ga jelas kaya gini mending kita bolos, gimana?" Adrian memberika usul, sedangkan disisinya sosok Vano hanya bisa menggelengkan kepalanya heran. Tidak mengerti dengan jalan pikiran sahabatnya, bagaimana mungkin sosok ketua kelas justru mencontohkan sesuatu yang buruk pada rakyat - rakyatnya.

"Ketua kelas apaan lo? Gimana mau mengayomi rakyat - rakyatnya kalau otak lo aja sering ketinggalan di jok motor"

"Berisikk lo, intinya mau bolos ga nih?"

"Aman ga? Gue ga mau ya kalau kena imbasnya lagi. Yang ngajakin siapa, yang kena hukum siapa" ujar Revan seraya mempoutkan bibirnya kesal.

Vano terkekeh kecil, sedangkan Adrian hanya bisa menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Merasa bersalah lebih tepatnya.

"Dijamin kali ini aman"

"Jaminannya apa dulu?"

"Traktir bakso teh Aci"

"Free es teh juga ga?"

"Iya iya free es teh, itupun kalau ketahuan bolos"

"Oke deal"

—Revan—

R E V A NTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang