11. Topeng Sandiwara

6.2K 746 18
                                    

Daren, kini laki laki tersebut sedang berdiri di depan cermin seraya membenahi tatanan rambutnya. Tangannya terangkat untuk menyentuh ujung bibirnya, lukanya mungkin tidak berbekas— tapi rasa sakitnya masih cukup terasa.

"Enak ya jadi lo, kalau mau liat setan tinggal ngaca" celetuk Revan tiba - tiba. Darren mengalihkan atensinya seketika sebelum akhirnya mengernyit bingung. Entah sejak kapan laki - laki tersebut sudah ada di kamarnya.

"Lo ngatain gue setan?"

"Ga kok, gue cuma bilang enak ya jadi lo, kalau mau liat setan tinggal ngaca aja" Revan kembali mengulang ucapannya dengan begitu santai. Mengabaikan jika saat ini sosok Darren hanya bisa memutar bola matanya malas.

"Lebih enak lagi kalau bisa liat setan secara langsung"

"Dimana?"

"Dihadapan gue, lagi duduk di atas kasur sambil makan makanan yang jelas - jelas bukan punya dia" jawab Darren yang sukses membuat Revan menghentikan aksi makannya.

"Gue dong?"

"Emang elo, udah sana pergi" kesal Darren seraya menarik asal Revan agar segera keluar dari kamarnya.

"Pelan - pelan napa, lo kira gue kambing seenaknya lo tarik - tarik?" Gerutu Revan yang hanya di abaikan oleh Darren.

"Balik ke habitat lo sekarang!"

"Dih di kiranya gue fauna apa ya? Pake segala di suruh balik ke habitat"

"Bacot"

Brak

Pintu tertutup rapat, tepat setelah Darren membanting kuat pintu kamarnya. Mengabaikan jika saat ini masih ada Revan yang hanya bisa mengelus dadanya sabar. Untung ia tidak punya riwayat penyakit jantung, coba kalau punya. Mungkin saat ini jantungnya sudah berubah jadi cumi cumi.

Revan menghela nafasnya pelan sebelum akhirnya memilih beranjak dari tempatnya, membawa langkahnya menuju ruang tengah dan merebahkan tubuhnya pada sofa.

Jika boleh jujur, ia benar - benar lelah seharian ini. Apalagi setelah mendorong si joni mengelilingi ibu kota Jakarta. Rasanya benar - benar seperti odading Mang Oleh.

"Darrennnn"

"Darrennnnnnn"

"Oiii setan lo denger gua ga sih?"

"Darrrr"

"Darren anying"

"Berisik" ujar Darren lengkap dengan wajah datarnya, sosoknya terlihat menuruni anak tangga seraya melipat lengan bajunya yang kepanjangan.

"Gue laper"

"Ya terus? Urusannya sama gue apa?"

"Ga ada niat buat masakin gue gitu?"

"Tangan sama kaki lo masih berfungsi kan?"

"Ya masihh, tapi gue capek Darren"

"Lo pikir gue peduli?" Ujar Darren seraya membawa langkahnya pergi dari sana. Meninggalkan Revan yang hanya bisa mempoutkan bibirnya kesal.

"Lo beneran ga mau buatin gue?"

"Gausah manja"

"Tapi gue capek Darren"

"Lo pikir disini yang capek cuma lo doang? Gue juga capek bangsat. Gausah nyusahin orang bisa? Kalau lo laper ya masak, tangan sama kaki lo juga masih lengkap kan?"

"Ohh okee"

"Ga usah masang muka sedih, lo pikir gue bakal kasihan sama lo? Engga. Lagian lo udah gede, seharusnya lo juga udah bisa mandiri. Jangan apa - apa gue, apa - apa gue. Lo pikir gue babu lo?"

"Oke maaf" lirih Revan seraya menghela nafasnya pelan. Darren benar, seharusnya ia tidak usah manja. Ia sudah dewasa, seharusnya ia bisa belajar lebih mandiri lagi.

"Thank's, gue janji kalau gue ga bakal nyusahin lo lagi" lanjut Revan lengkap dengan senyuman tipisnya. Sedangkan Darren? Laki - laki itu hanya bisa memutar bola matanya malas.

Tidak ada yang bisa menebak perihal kata, apa yang saat ini telah terlontar bisa saja menjadi boomerang di kemudian hari.

***

Waktu telah menunjukkan pukul delapan malam, sedangkan kini Revan sedang berada di balkon kamarnya. Netranya terlihat mengamati indahnya angkasa di atas sana. Revan tersenyum tipis, sebelum akhirnya memilih menyandarkan punggungnya pada tembok pembatas. Revan butuh ketenangan, dan malam adalah salah satu obatnya.

"Bintang"

"Gue mau cerita"

"Lo dengerin ya" lirih Revan pelan seraya mengamati bintang - bintang di atas sana.

"Pernah ga sih lo ngerasa pengen sendiri banget, ga kemana - mana, ga ketemu orang dulu, di kamar aja gitu dengerin lagu, ngegame, baca buku, jungkir balik, apa ngapain kek, intinya ga pengen di ganggu dulu"

"Pernah ngga?"

"Bintang??"

"Lo denger gue kan?"

"Kok lo diem?"

"Lo marah ya sama gue? Sampe - sampe lo juga ga mau ngomong sama gue"

"Bintangg"

"Oh iya gue lupa kalau lo ga punya kamar"

"Mungkin gara - gara itu kali ya lo gamau jawab pertanyaan gue?"

"Okedeh gapapa, yang penting sekarang lo cukup dengerin gue aja ya"

"Gue cuma mau bilang satu hal sama lo, gue capek, gue pengen nyerah, tapi kenapa rasanya susah banget ya Tang?"

"Padahal gue sendiri tau kalau keberadaan gue cuma jadi benalu disini, jangankan Darren— papa aja ga mau kalau gue ada" lirih Revan lagi, netranya bahkan masih setia mengamati bintang di atas sana.

Air matanya berkaca - kaca, seiring dengan rasa sesak yang mengusiknya. Katakan Revan cengeng, karena pada kenyataannya ia tidak akan membantah sama sekali.

Ia rapuh, ia terluka— hanya saja ia terlalu pintar menggunakan topeng. Sehingga tidak ada satu orangpun yang menyadari kelemahannya. Lebih tepatnya belum ada.

—Revan—

R E V A NTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang