40. Om Pelit

4.5K 633 31
                                    

Revan membawa langkah pelannya menyusuri jalanan ibu kota, tangannya terangkat untuk mengusap keringat yang kini mulai membasahi wajahnya. Sedangkan satu tangannya lagi ia gunakan untuk menenteng tas ranselnya.

Kali ini Revan benar - benar akan menjalani hidupnya sendiri, ia akan berusaha sebisa mungkin untuk berdiri dengan kedua kakinya. Setidaknya untuk saat ini, Revan tidak ingin menjadi laki - laki lemah.

"Lo pasti bisa Ree, semangat"

"Cari kontrakan, habis itu cari kerja. Semangat semangat semangat" ujarnya sebelum akhirnya kembali melanjutkan langkahnya.

Setidaknya untuk saat ini sudah ada empat kontrakan yang ia singgahi, namun tak ada satupun yang menerimanya. Alasannya hanya satu, Revan tidak mempunyai cukup uang untuk membayar uang mukanya.

Revan bahkan sudah mengatakan jika dirinya akan melunasi biaya sewanya setelah ia mendapatkan pekerjaan. Tapi tetap saja, alih - alih mendapat tempat kontrakan. Dirinya justru di hadiahi sapu oleh si pemilik kontrakan.

"Gila, kalau gini mah gue harus nyari kerja dulu" ujarnya seraya mengatur kembali pernafasannya. Sosoknya sedikit ngos - ngosan mengingat bagaimana dirinya lari kocar - kacir karena di kejar ibu kontrakan.

Revan terkekeh, belum menyewa saja si pemilik kontrakan sudah galak. Apalagi jika dirinya tidak bisa membayar kontrakan? Bisa mati di gantung dia.

"Sekarang gue jadi tau, yang nentuin kebahagiaan seseorang tu bukan cinta ataupun kelurga. Tapi uang, asli dah palid no debat" ujarnya seraya mempoutkan bibirnya kesal.
Saat ini dirinya sudah tidak punya apa - apa lagi, jangankan uang untuk menyewa kontrakan, uang untuk makanpun masis tersisa sepuluh ribu.

Revan menghela nafasnya pelan sebelum akhirnya tidak sengaja melihat benda yang sedari tadi berada di genggamannya. "Apa iya gue harus jual handphone?"

Sosoknya terlihat berpikir keras sebelum akhirnya tersenyum tipis. Setidaknya untuk saat ini ia harus berusaha untuk bertahan hidup. Jika menjual ponsel bisa membuatnya mendapatkan uang, kenapa tidak?. Lagipula ia bisa membelinya lagi nanti, itupun kalau dirinya telah mendapatkan pekerjaan tetap.

"Oke gapapa Ree, lagi pula lo gak terlalu pake Hp kan?" Ujarnya seraya meyakinkan dirinya sendiri. Revan tersenyum pelan sebelum akhirnya mencari gerai handphone terdekat.

Ia tau, semuanya mungkin tidak akan mudah jika ia jalani sendiri. Tapi dirinya juga tidak boleh menyerah begitu saja. Ia yakin, selama ia mau mencoba tuhan pasti akan memberikan jalan yang mudah.

***

"Satu juta"

"Gak bisa lebih ya pak?"

"Gabisa dek, maaf!"

"Hp saya masih bagus loh pak. Gamungkin harganya cuma satu juta. Saya berani jamin kualitasnya, memorinya juga masih banyak pak"

"Satu juta dua ratus"

"Dua juta deh pak"

"Satu juta dua ratus"

"Dua juta lah pak"

"Sembilan ratus ribu" ujar sosok tersebut yang sukses membuat Revan membelalakkan matanya kaget.

"Lah kok sembilan ratus sih pak"

"Kamu niat jual gak sih? Kalau niat saya cuma bisa kasik harga segitu. Kalau gak mau juga gakpapa, cari aja toko lain" ujar sosok tersebut, sedangkan Revan? Laki - laki tersebut hanya bisa meringis takut.

"Yaudah, satu juta dua ratus kan?"

"Iyaa"

"Oke gak papa deh pak"

"Tunggu disini" ujar sosok tersebut yang langsung di jawab anggukan pelan oleh Revan.

"Dulu saya belinya empat jutaan loh pak, masa pas saya jual cuma satu juta dua ratus" Revan kembali membuka suara, sedangkan laki - laki di hadapannya hanya bisa memutar bola matanya malas.

"Kalau kamu lupa, barang bekas sama barang baru emang beda harga"

"Ya tapi perbandingannya gak sejauh itu juga pak"

"KAMU NIAT JUAL HP GAK SIH?"

"Gak usah galak - galak kali pak"

"Habis dari tadi kamu ngomonggggg terus"

Revan terkekeh pelan, "Saya lagi butuh uang pak"

"Butuh uang? Buat narkoba ya?"

"SETAN— eh maap maap" lanjut Revan seraya meringis pelan.

"Ya terus? Lagipula dari penampilan kamu— saya kira kamu orang kaya"

"Penampilan kan bisa menipu pak"

"Iya sih, terus uang sebanyak ini mau kamu pake apa?"

"Nyewa kontrakan sama biaya makan sehari - hari" jawab Revan dengan entengnya.

"Saya juga mau nyari kerja pak, lagian uang segini mana cukup buat buat bertahan hidup" lanjut Revan yang sukses membuat sosok tersebut mengernyit bingung.

"Kamu serius mau kerja? Biasanya anak seumuran kamu tuh mainnya di mall atau nongkrong di angkringan" ujar sosok tersebut seraya menyerahkan amplop coklat berisi uang kepada Revan.

"Itu kan mereka pak, bukan saya. Takdir orang mah beda - beda hehe, tugas kita cuma bersyukur aja" Revan menerima amplop coklat tersebut lengkap dengan  senyuman tipisnya. Mengabaikan jika saat ini sosok di hadapannya hanya bisa menatap kosong kearah Revan.

"Yaudah kalau gitu saya pamit dulu ya pak" ujar Revan seraya beranjak dari duduknya. Laki - laki tersebut baru saja akan membawa langkahnya pergi, tapi—

"Kamu butuh kerja kan?"

"Butuh pake bangetttt bangett bangettt"

"Kalau gitu kamu kerja disini aja, kebetulan saya emang lagi nyari tenaga" ujar sosok tersebut yang sukses membuat Revan senang bukan main.

"Bapak seriuss?"

"Saya serius" balas sosok tersebut yang sukses membuat Revan mengucapkan rasa syukur berkali - kali.

"Makasi pak, makasi banget. Saya janji, saya bakal bekerja segiat mungkin. Dan saya gak bakal ngecewain bapak" ujar Revan lengkap dengan senyum khas andalannya.

"Saya percaya sama kamu—"

"Revan, nama saya Revan pak"

"Okee Revan, semangatt" ujar sosok tersebut, sedangkan Revan hanya bisa mengangguk mantap sebagai jawaban.

"Sekali lagi makasi ya pak"

"Jangan panggil saya pak, kamu kira saya bapak kamu?" Ujar sosok tersebut yang sukses membuat Revan menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

"OM PELIT" ujar Revan, sedangkan sosok tersebut hanya bisa mengernyitkan alisnya bingung.

"Saya panggil bapak, OM PELIT AJA" ujar Revan lengkap dengan kekehan pelannya. Mengabaikan jika saat ini sosok tersebut hanya bisa menggelengkan kepalanya heran.

"Nama saya Fahri, tapi terserah kamu mau panggil saya siapa"

"Siap laksanakan Om Pelit"

"Oh iya, kamu belum punya tempat tinggal kan?"

"Belum sih, kenapa? Atau jangan - jangan om mau ngasik tempat tinggal juga ya?" Ujar Revan dengan santainya.

"Kalau kamu mau!"

"Hah serius? Om gak lagi boong kan?"

"Seriuss Revan"

"Tapi—"

"Tapi apa?"

"Om kenapa bisa sepercaya itu sama aku? Om gak takut gitu kalau misalnya aku penjahat?"

Fahri terkekeh sebelum akhirnya mengusak lembut rambut Revan. "Gak usah bawel, lagipula saya jauh lebih takut kalau kamu jadi gembel di jalanan"

Revan—

R E V A NTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang