52. Terlambat Menyadari

4.7K 550 8
                                    

Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi, dan itu artinya jam istirahat baru saja berbunyi. Sosok Darren terlihat membawa langkahnya menuju kantin, saat ini hanya ada satu nama yang ingin ia temui. Sosok yang setidaknya dapat memberikannya kejelasan untuk semuanya.

Vano, sosok tersebut adalah Vano. Percaya atau tidak untuk saat ini hanya Vano yang bisa Darren andalkan. Bukankah selama ini mereka begitu dekat? Jadi percaya atau tidak, Vano pasti mengetahui satu hal yang mungkin tidak pernah ia ketahui sebelumnya.

"Vanooo" teriak Darren yang sukses membuat seluruh pasang mata beralih menatapnya. Sedangkan tidak jauh dari posisinya, sosok Vano terlihat mengernyitkan alisnya bingung sebelum akhirnya memilih untuk abai.

"Bisa ngomong sebentar?" Tanya Darren tepat setelah ia sampai di hadapan Vano.

"Gak bisa" balas Vano enteng sebelum akhirnya memilih untuk mengabaikan Darren. Sedangkan tidak jauh dari tempatnya, sosok Adrian hanya bisa menyimak dalam diam. Lagipula dirinya tidak terlalu peduli dengan keberadaan Darren. Biarkan saja Darren menyesal, karena ia memang pantas mendapatkannya bukan?

"Lo pasti tau dimana Revan kan?" Ujar Darren to the point. Mengabaikan jika saat ini sosok Vano justru menatap remeh kearahnya.

"Kalau gue tau sekalipun, gue juga gak bakal ngasih tau lo, Darr"

"Van please, ada hal penting yang harus gue omongin ke dia"

Vano terkekeh sinis, sosoknya bahkan terlihat menyeruput minumannya dengan santai. Berusaha terlihat santai disaat dirinya benar - benar muak dengan tingkah laku Darren. "Gue rasa gak ada yang perlu kalian omongin lagi"

"Van, kali ini gue bener - bener butuh bantuan lo. Tolong kasih tau gue dimana Revan"

"Ngerti bahasa manusia ga? Kalau gue bilang engga ya engga!" Vano kembali menegaskan, karena percaya atau tidak— dirinya bahkan masih teramat kesal dengan sosok di hadapannya.

"Adrian!" Seru Darren tiba - tiba, mengabaikan jika sosok tersebut sempat tersentak karena seruan Darren yang begitu tiba - tiba.

"Lo pasti tau Revan dimana kan?"

Adrian memutar bola matanya malas, "Lo kakaknya kan? Seharusnya lo lebih tau dong daripada gue"

"Adrian please, kasih tau gue dimana Revan" Lirih Darren sarat akan keputusasaan. Ia benar - benar ingin bertemu Revan saat ini. Karena, percaya atau tidak— dirinya sangat merindukan sosok tersebut. Sosok yang sempat ia sia - siakan sebelumnya.

"Revan udah bahagia sekarang, seharusnya lo gak usah ganggu dia lagi" Vano kembali menimpali lengkap dengan nada sarkasnya.

"Gue cuma mau tau Revan dimana, Van. Gue tau gue bukan kakak yang baik buat dia, ter—"

"Akhirnya lo sadar diri juga" sindir Vano lagi, mengabaikan jika saat ini sosok Darren hanya bisa menyesali perbuatannya.

"Cukup kasih tau gue dimana Revan, tolong!!"

"Gue gak tau"

"Van, please"

"Revan udah cukup menderita karena lo, jadi gue gak mungkin buat dia makin menderita karena ngasih tau lo dimana dia sekarang"

"Ngga Van, tolong kasih tau gue dimana Revan hikss" lirih Darren lengkap dengan air matanya yang jatuh tanpa bisa ia cegah.

"Kalau lo beneran sayang sama Revan, seharusnya lo juga bisa iklasin kepergiannya dia. Revan udah nemuin kebahagiaannya sekarang, jadi gue harap lo gak usah ganggu dia lagi" ujar Adrian sarat akan penekanan, ia bahkan tidak peduli dengan air mata yang kini mulai membasahi wajah Darren.

"Sebaiknya lo pergi sekarang! Percuma lo nangis - nangis disini karena baik gue ataupun Adrian gak bakal ngasih tau lo keberadaan Revan sekarang" ujar Vano sebelum akhirnya membawa langkahnya pergi dari sana. Meninggalkan Darren yang saat ini hanya bisa menundukkan kepalanya seraya terisak pelan.

"Ree, lo dimana?"

"Maafin gue hikss"

"Revannn" Darren kembali terisak seiring dengan tubuhnya yang jatuh terduduk. Ia bahkan tidak peduli lagi jika saat ini dirinya sukses menjadi pusat perhatian seluruh siswa di sekolahnya.

"Darren?" Panggil seseorang yang sukses membuat Darren mengalihkan atensinya kearah sosok tersebut.

"Gue udah berusaha sebisa gue, Ken. Gue udah berusaha nyari dia kemana - mana, tapi hasilnya tetep nihil. Gue bahkan gak tau dia dimana" lirih Darren seraya menatap sendu kearah Ken, sahabatnya.

"Bangun, jangan siksa diri lo kaya gini. Kalay li lupa, lo baru aja sembuh Darr" ujar Ken seraya membantu Darren untuk kembali berdiri.

"Gue cuma mau ketemu Revan, Ken"

"Dimana pun Revan sekarang, seenggaknya lo percaya kalau dia bakal baik - baik aja Darr"

"Gue gak bakal bisa tenang sebelum gue ketemu langsung sama Revan, Ken"

"Waktu ini lo bilang Revan lagi sama orang seumuran kita kan? Lo juga bilang kalau mereka kelihatannya deket banget. Gue yakin kalau dia pasti bakal jagain Revan, Darr"

Darren mengalihkan atensinya kearah Ken sebelum akhirnya terkekeh sinis, "Seharusnya gue seneng kalau dia bisa ketemu orang yang jauh lebih baik daripada gue. Tapi kenapa rasanya gue gak pernah iklas, Ken?"

"Gue bahkan gak rela kalau harus lihat Revan deket sama orang lain selain gue, Ken"

"Gue tau kalau lo udah mulai buka hati buat Revan, tapi seenggaknya disini lo gak boleh egois, Darr"

"Ken—"

"Itupun kalau lo gak mau Revan risih karena sikap lo yang terlalu egois" Ken kembali mengingatkan, mengabaikan jika saat ini Darren hanya bisa menundukkan kepalanya pelan. Entah kenapa kata - kata Ken tadi sukses membuat dirinya kepikiran.

—Revan—

R E V A NTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang