Kantin, setidaknya hanya tempat ini yang layak mereka sebut sebagai surga. Karena selain dapat menikmati mie ayam, mereka juga dapat menikmati es teh seraya bersantai ria di atas meja. Ya, meskipun mereka tau jika semuanya tidak ada yang gratis.
Revan yang sedari tadi memilih menyandarkan bahunya pada kursi, seketika beranjak dari duduknya. Adrian mengernyit bingung, sedangkan Vano baru saja tersedak akibat gerakan Revan yang begitu tiba tiba, kaget ceritanya.
"Lo kalau mau bangun bisa santai dikit ga sih? Ini pentolnya belum gue kunyah, kalau langsung ketelen lo mau tanggung jawab?" Kesal Vano seraya mengunyah pentol baksonya.
"Alay lu"
"Lagian lo kenapa sih?" Adrian menimpali
"Pengumuman di grup kelas, lo berdua udah tau?" Tanya Revan seraya menatap kedua sosok di hadapannya secara bergantian.
"Pengumuman yang mana? Perasaan banyak banget dah. Yang tentang b*kep? tugas? Ulang tahun si Inul, at—"
"Darren mau berantem?" potong Revan cepat, tepat setelah dirinya merasa jika pembahasan Vano mulai melenceng dari topik. Maklum, kalau kata Adrian, otak Vano ketinggalan di jok motor.
"Ohh, ngomong dong dari tadi"
"Lo tau?"
"Noh, tanya Adrian. Kan dia yang ngumumin di grup" ujar Vano santai sebelum akhirnya memilih melanjutkan aksi memakan pentolnya. Mengabaikan jika saat ini baik Revan maupun Adrian hanya bisa memutar bola matanya malas.
"Lo bisa jelasin ke gue?"
"Kaga - kaga, kalau lo penasaran mending lo tanya dia langsung. Lo kan adiknya" tolak Adrian santai sambil menyeruput es tehnya hingga tandas.
"Tu anak ya, hobby banget buat gue senam jantung" kesal Revan seraya menghela nafasnya pelan. Tidak habis pikir dengan jalan pikiran kakaknya.
"Berantem sama siapa?" Tanya Revan lagi, sedangkan kedua sahabatnya hanya menjawab dengan kedikan bahu. Karena pada kenyataannya, mereka memang tidak tau siapa sosok yang baru saja menantang Alfa.
Revan beranjak dari duduknya, tapi sebelum itu sosoknya menyempatkan diri untuk menyeruput minumannya hingga tandas. Sedangkan Vano yang sedari tadi mengamati, akhirnya kembali angkat bicara.
"Mau kemana lo?"
"Nyari Darren"
"Nyari Darren? Mending ga usah dulu deh. Yang ada bukannya dapet jawaban, lo malah kena tonjok tu anak" Vano mengingatkan, bukan apa apa— dirinya hanya tidak ingin jika Revan dijadikan bahan pelampiasan oleh Darren. Apalagi mengingat jika hubungan keduanya tidak pernah akur sama sekali.
"Dahlah, lagian ngapain sih lo masih peduli sama tu anak? Mau dia berantem atau engga, ya— itu bukan urusan lo Van. Inget, dia ga pernah nganggep lo ada kan? " Adrian memperjelas, lagipula dirinya memang tidak suka jika Revan bersikap terlalu baik pada Darren. Dirinya hanya tidak ingin jika sahabatnya tersebut harus menanggung luka untuk yang kesekian kalinya.
"Ga usah di pikirin, lagipula kehadiran lo cuma bakal memperkeruh suasana, apalagi sekarang Darren pasti lagi emosi banget. Jadi kasik waktu buat Darren nenangin dirinya dulu oke?" Vano menambahi
Revan mengangguk, mereka benar— mungkin Darren memang membutuhkan waktu untuk sendiri. Jadi daripada kedatangannya hanya akan memperkeruh suasana, diam mungkin jauh lebih baik.
Vano tersenyum tipis, sedangkan Adrian hanya bisa menghela nafas lega. Menghadapi manusia seperti Revan memang memerlukan tenaga ekstrak. Karena selain menguji kesabaran, sosok Revan tergolong kedalam orang yang moody-an. Jadi sedikit saja mereka salah bicara, jadi jangan harap mereka dapat membujuk Revan dengan mudah.
"Mau bolos, atau balik?" Tanya Revan seraya memasukkan ponselnya kedalam saku celana, tapi sayang— bukannya masuk kantong, hp nya justru jatuh berserakan di lantai.
Tidak, kali ini bukan Revan yang ceroboh. Hanya saja, lengannya memang tidak sengaja di dorong oleh orang lain. Revan menatap datar sosok di hadapannya, sebelum akhirnya tertawa remeh.
"Lo lagi lo lagi"
"Gue mau ngomong sama lo" ujar sosok tersebut, Revan mengernyit pelan sebelum akhirnya kembali angkat bicara.
"Gue rasa ga ada yang perlu di omongin lagi deh"
"Ada"
"Kalau gue gamau?"
"Ya lo sendiri bakal tau akibatnya!"
"Dan lo pikir gue bakal takut?" Tanya Revan lengkap dengan nada remehnya. Dirinya bahkan tidak peduli jika sosok yang saat kini berdiri di hadapannya adalah kakak kelasnya sendiri.
"Lo berani sama gue?" Geram sosok tersebut seraya menarik kasar kerah baju Revan.
"Woyy santai dong lo!" Kesal Vano, langkahnya ia bawa mendekat kearah sosok tersebut. Berusaha melepaskan Revan, namun hasilnya nihil— karena anak buah sosok tersebut dengan sigap mengunci pergerakannya.
"Cara lo cupu bangsat!" Adrian menimpali, tepat setelah dirinya juga mendapatkan perlakuan serupa.
Berbanding terbalik dengan Revan, jika kedua sahabatnya berusaha mati matian untuk menahan emosinya, maka ada Revan yang hanya bisa mengulum senyum santainya. Tidak peduli dengan rasa sesak yang kini mengusiknya.
"Vitooo, udah berapa kali gue bilang sama lo? Masalah lo itu sama gue, bukan Revan. Jadi nyelesainnya juga sama gue. Ga usah jadi pengecut, lepasin Revan sekarang juga!" Ujar seseorang yang sukses membuat seluruh pasang mata mengalihkan atensinya.
"Darrendra Aldebaran, akhirnya lo dateng juga"
"Cupu, cara lo cupu bangsat" ujar Darren seraya terkekeh sinis.
"Kenapa? Selama cara ini bisa bikin lo turun tangan langsung, kenapa engga?" Ujar Vito lengkap dengan nada remehnya. Tangannya bahkan masih setia mengait leher Revan, tidak peduli jika tindakannya sukses membuat Revan sedikit kewalahan.
"Lepasin Revan sekarang juga!"
"Kalau gue ga mau?"
"Gue bilang lepasin ya lepasin!"
"Huhuuuu, gausah ngegas dong lo"
"Lepasin!"
"Lo santai aja, gue pasti bakal lepasin dia. Tapi nanti, setelah gue puas main-main sama adik kesayangan lo ini"
—Revan—
KAMU SEDANG MEMBACA
R E V A N
Teen Fiction"Kalau jalan tu pake mata, ngerti kata hati-hati ga sih?" -Darrendra Aldebaran "Ya gimana mau hati hati, orang mata gue aja lo tutupin gini" -Revan Aldebaran Start ; 07 Januari 2021 Finish ; 14 April 2021