35. Pengakuan

4.8K 625 29
                                    

Darren menarik kasar tangan Vano. Sosoknya bahkan tidak segan mengunci pergerakan sosok di hadapannya. Tidak peduli jika tindakannya bisa saja di adukan ke guru BK.

"Apa - apaan sih lo? Lepasin bangsat!"

"Kalau gue gak mau, gimana?"

"Gila lo?" Kesal Vano seraya menatap heran kearah sosok di hadapannya. Tidak ada angin tidak ada hujan, sosok Darren justru menghadang jalannya.

"Kalau gue gila, lo mau apa?"

"Sumpah, lo kenapa sih? Lepasin gue anjing!"

"Gue bakal lepasin lo, tapi dengan satu syarat" ujar Darren yang sukses membuat Vano mengerutkan alisnya bingung.

"Jauhin Revan" lanjutnya santai, sedangkan Vano? Laki - laki itu hanya bisa tertawa remeh menanggapinya.

"Lo pikir lo siapa? Kalau lo lupa, lo gak ada hak buat nyuruh gue jauhin Revan"

"Gue jelas punya hak, gue kakaknya"

"Tapi bukan kakak kandungnya kan?" Ujar Vano yang sukses membuat Darren tersentak. Bagaimana mungkin Vano bisa tau?

"Lo- lo tau?"

"Apa sih yang gak gue tau soal Revan? Dia sahabat gue, jadi apapun yang berkaitan dengan Revan. Gue pasti tau" ujar Vano lengkap dengan nada santainya. Terlalu muak dengan sikap Darren yang menurutnya kurang masuk akal.

"Dan ya? Tadi lo bilang apa? Jauhin Revan? Lo gila?" Lanjut Vano seraya menggelengkan kepalanya heran. Sedangkan Darren? Laki - laki tersebut hanya bisa menyorot tajam kearah Vano.

"Lo gak mikir gimana perasaan Revan kalau semua orang ngejauhin dia? Lo kakaknya, tapi kenapa lo seneng banget liat dia menderita?"

"Gak usah sok tau"

"Gue bukannya sok tau, tapi gue tau Darren"

"Gak usah banyak bacot, gue cuma minta lo jauhin Revan. Jad—"

"Punya hak apa lo nyuruh Vano buat jauhin gue?"

Deghh

Baik Darren maupun Vano kompak mengalihkan atensinya kearah sumber suara. Dan benar saja, sosok Revan kini berdiri tidak jauh dari keduanya.

"Revann—"

"Gue tanya, punya hak apa lo nyuruh Revan buat jauhin gue?"

"Ree, udahh. Gak usah di perpanjang elah" Vano tampak mengingatkan.

"Segitu bencinya lo sama gue, sampai lo gak pengen gue punya temen?" Lirih Revan seraya menatap kecewa kearah Darren.

"Ree please dengerin gue. Gue bisa jelasin semuanya!"

Revan terkekeh sebelum akhirnya memilih mengalihkan atensinya kearah lain. Kemana saja, asal tidak kearah Darren. Karena percaya atau tidak— dengan melihat Darren sudah cukup membuat hatinya terluka.

"Mau jelasin apa lagi, Darr? Semuanya udah jelas kan?"

"Lo salah paham, Ree"

"Udahlah, Darr. Gue lagi males debat, gue capek" ujar Revan seraya membawa langkahnya pergi dari sana. Meninggalkan Darren yang saat ini hanya bisa menatap kosong kearah kepergian Revan.

"Gue mungkin gak tau apa alasan lo nyuruh gue jauhin Revan, tapi seharusnya lo juga tau kalau saat ini Revan cuma punya gue sama Adrian. Jadi, kalau lo punya hati— tolong.... ngertiin perasaan Revan sekali aja" ujar Vano sebelum akhirnya memilih mengikuti kepergian sahabatnya.

Darren terdiam, apakah dirinya seegois itu?

***

"Revannn"

"Ree, tunggu"

"Gue bisa jelasin ke lo"

"Jelasin apa lagi sih, Darr? Semuanya udah jelas kan?"

"Nggak, semuanya belum jelas. Jadi please dengerin gue dulu"

Revan menghela nafas pelan "lima menit dari sekarang"

"Gak disini tempatnya, dan lagii... gue cuma mau ngomong berdua sama lo" ujar Darren seraya melirik sinis kearah Vano yang saat ini berdiri disamping Revan.

"Lo ngusir gue?" Merasa tak terima, Vano langsung berkacak pinggang.

"Ngomong disini kan bisa?"

"Ree please! Kali ini aja, dengerin gue" ujar Darren yang sukses membuat Revan menghela nafas pelan.

"Van, lo balik duluan aja. Nanti gue nyusul" ujar Revan seraya mengalihkan atensinya kearah Vano.

"Lo serius? Gapapa?

"Iya gapapa, lo duluan aja"

"Ya udah, gue duluan ya" ujar Vano sebelum akhirnya pergi meninggalkan tempat tersebut. Meninggalkan Revan dan juga Darren yang saat ini hanya bisa menghela nafas pelan.

"Lo ikut gue ya?" Ujar Darren seraya menarik pelan tangan adiknya, namun bukannya menerima— Revan justru menepisnya kasar.

"Gak usah pegang - pegang"

Darren menghela nafasnya pelan, "yaudah ikut gue"

Revan mengangguk pelan sebagai jawaban sebelum akhirnya mengikuti kemana Darren membawanya pergi.

"Sekarang lo jelasin semuanya"

"Eee— eee"

"Darren?"

"Gue gak suka liat lo deket - deket sama Vano"

"Alasannya?"

"Ya gue gak suka aja, Revan"

"Gak mungkin, gue yakin pasti ada alasan kenapa lo bisa gak suka gue deket sama Vano"

"Gak ada alasan lain lagi"

Revan terkekeh sinis, "Darr, lo tau gimana deketnya gue sama Vano. Lo tau kalau kita udah sahabatan dari kecil, dan seharusnya lo juga tau kalau gue gak bisa jauh - jauh dari Vano. Bahkan gue udah nganggep Vano kayak sodara gue sendiri, dan sekarang lo? Lo justru nyuruh dia buat jauhin gue?"

"Justru karena itu gue gak suka liat lo deket sama Vano, Ree" Darren tidak sengaja berteriak, sedangkan Revan? Laki - laki tersebut hanya bisa menghela nafas kasarnya.

"Segitu bencinya lo sama gue? Sampai - sampai lo gak suka liat gue bahagia, Darr?"

"Gak gitu, Revan"

"Ya kalau bukan itu terus apa, Darr?" Teriak Revan yang sukses membuat Darren terdiam cukup lama.

"Diem kan lo? Udah gue tebak, kalau lo gak bakal bisa jawab" ujar Revan sarat akan kekecewaaan.

"Udahlah gue capek" lanjut Revan seraya membawa langkahnya menjauh dari sana. Meninggalkan Darren yang saat ini hanya bisa menundukkan kepalanya sejenak.

"Gue cemburu liat lo deket sama Vano, Ree"

Degh

Revan seketika menghentikan langkahnya, netranya ia alihkan kearah Darren yang saat ini terlihat enggan menatapnya.

"Gue gak rela kalau harus liat lo bahagia karena orang lain" lirih Darren lagi, sedangkan Revan? Laki - laki tersebut lebih memilih untuk diam. Berusaha mencerna apa yang baru saja Darren katakan.

"Gue gak suka liat lo deket sama orang lain selain gue" ujar Darren lagi yang sukses membuat Revan terkekeh pelan.

"Lo egois, Darr!"

—Revan—

R E V A NTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang