"Kenapa harus bohong?"
"Maaf"
"Lo gak tau gimana khawatirnya gue tadi? Gue khawatir Ree. Gue takut lo kenapa - kenapa"
"Makasi ya, Darr" lirih Revan pelan seraya mengamati sosok di hadapannya ini. Revan tersenyum tipis sebelum akhirnya mengambil tangan Darren dan menggenggamnya kuat.
"Lo tau ga? Sekarang gue lagi bahagia banget. Gue seneng kalau akhirnya lo peduli lagi sama gue" lirih Revan lengkap dengan senyum tipisnya, mengabaikan jika saat ini sosok Darren hanya bisa diam seraya mengamati bagaimana senyum tulus tersebut terpatri di wajah adiknya.
"Sebenernya lo kenapa? Lo sakit apa? Karena sumpah, gue belum pernah liat lo sekacau ini Ree" Darren berusaha mengalihkan pembicaraan, Revan yang mengertipun langsung mengulum senyum tipisnya. Berusaha untuk mengerti.
"Cuma kelelahan aja"
"Lo yakin?"
"Tadi dokter bilangnya cuma itu doang kan?" Tanya Revan yang langsung di jawab anggukan pelan oleh Darren.
"Yaudah kalau gitu lo istirahat dulu ya, gue mau nemuin papa dulu. Biaya rumah sakit lo harus segera di tebus" ujar Darren seraya mengusap lembut surai adiknya. Revan tersenyum tipis sebelum akhirnya mengangguk pelan sebagai jawaban.
"Gue pergi dulu ya?"
"Kalau balik, gue nitip roti gandum" Ujar Revan lengkap dengan cengiran khas andalannya. Sedangkan Darren hanya bisa mengangguk pelan sebagai jawaban sebelum akhirnya beranjak pergi dari sana.
Meningalkan Revan yang saat ini tidak bisa menghentikan tawanya. Revan bahagia, rasanya bahkan ia tidak sabar menunggu kedatangan kakaknya.
***
"Paa, Revan lagi sakit dan gak seharusnya papa kaya gini. Kalau papa lupa Revan juga anak papa" Jujur Darren kecewa dengan sikap ayahnya, ia tau kalau Wira sangat membenci Revan, tapi ia tidak tau jika Wira akan tetap bersikap seacuh ini. Revan sakit, dan saat ini laki - laki tersebut sedang tidak sadarkan diri di rumah sakit. Tapi apa? Jangankan untuk datang, peduli pun Wira tidak.
Darren bahkan sampai memohon pada ayahnya, karena percaya atau tidak Revan benar - benar membutuhkan Wira sekarang. Tapi tetap saja, semuanya hanya akan berakhir dengan sia - sia. Wira tidak akan pernah mau membuka hatinya untuk Revan.
"Sejak kapan kamu peduli dengan anak itu? Bukannya dulu kamu yang paling membenci dia?" Tanya Wira seraya tersenyum remeh, mengabaikan jika saat ini sosok Darren hanya bisa menatap kecewa kearahnya.
"Aku emang benci sama Revan, tapi aku juga punya hati pa. Revan adik aku, dan sekarang dia lagi sakit. Aku cuma gak mau Revan kenapa - kenapa"
"Bodoh"
"Bodoh? Justru disini yang bodoh itu papa, pa. Bukan aku"
"Papa? Gila kamu ya?"
"Ayah mana yang tega nyakitin anaknya sendiri? Ayah mana yang gak pernah peduli sama sekali sama anaknya? Cuma papa kan? Jadi apa salah kalau aku bilang papa bodoh? Jangankan aku, semua orangpun kalau papa tanya jawabannya bakal tetep sama. Papa bodoh" ujar Darren sarat akan emosi, sedangkan Wira? Laki - laki itu hanya bisa menatap tajam kearah putra sulungnya. Tidak habis pikir jika putra yang selama ini ia bangga - banggakan justru menghinanya dengan kata - kata demikian.
"Bergaul dengan Revan, ternyata udah bisa ngerubah kamu jadi anak pembangkang, Darren"
"Aku gak berubah, pa. Disini aku cuma pengen papa sadar. Kalau apa yang selama ini papa lakuin ke Revan itu salah"
"Kamu bilang salah? Lalu apa yang benar Darren? Kematian mama kamu? Apa bisa semua itu papa katakan benar? Kalau kamu lupa, mama kamu meninggal gara - gara dia" teriak Wira yang sukses membuat Darren tersentak. Air matanya jatuh tanpa bisa ia cegah. Ia akan selalu terlihat lemah jika semua meyangkut mamanya.
"Kenapa diam? Ayo jawab. Apa kematian mama kamu harus papa benarkan juga? Kalau bukan karena anak itu, mama kamu gak mungkin ninggalin kita Darren" Wira jatuh terduduk, air matanya juga jatuh tanpa bisa ia cegah. Karena percaya atau tidak, Wira merupakan satu - satunya orang yang paling terpukul dengan kepergian istrinya.
"Sampai kapan papa mau ngebenci Revan, pa?"
"Sampai matipun papa gak bakal pernah bisa buat maafin dia"
"Paa—"
"Apalagi Darren? Kamu mau belain dia? Dikasih apa kamu sama dia sampai berani ngelawan papa?"
Darren memejamkan matanya perlahan, sebelum akhirnya tersenyum miris. "Awalnya niat aku kesini cuma mau minta tolong sama papa, Revan masuk rumah sakit dan sekarang aku butuh biaya buat nebus semuanya. Tap—"
"Butuh biaya?" Wira tertawa remeh sebelum akhirnya kembali mengalihkan atensinya kearah Darren. "Dia bukan tanggung jawab papa, jadi kalau dia sekarat sekalipun papa ga bakal pernah ngeluarin uang sedikitpun buat dia"
"Papa sadar sama apa yang baru aja papa bilang? Dimana rasa simpati papa? Kalau papa lupa, Revan juga anak papa"
"Dia bukan anak papa" Wira menegaskan, sedangkan Darren? Laki - laki tersebut hanya bisa tersenyum miris sebagai jawaban.
"Papa udah gila ya?"
Wira tertawa remeh, "Dia emang bukan anak papa Darren"
"Sumpah, becanda papa gak lucu"
"Kamu pikir selama ini papa ngebenci dia karena kematian mama kamu? Engga Darren, kalaupun iya itu cuma salah satunya" Ujar Wira lengkap dengan nada lirihnya. Mengabaikan jika saat ini sosok Darren tengah berusaha mati - matian untuk menahan air matanya.
"Gak lucu pa"
"Revan emang bukan anak papa, Darren. Dia bukan saudara kandung kamu" Wira kembali menegaskan, sedangkan Darren? Laki - laki tersebut masih berusaha untuk tidak percaya dengan ucapan ayahnya, tapi kenapa rasanya begitu sulit?
"Kalau papa ngomong kaya gini cuma buat ngejauhin Revan, maaf usaha papa gagal"
"Terserah Darren, terserah kamu mau percaya atau engga. Toh semuanya juga gak bakal memperbaiki keadaan kan?"
"Revan bukan adik kandung aku?"
"Dia emang bukan adik kandung kamu, Darren"
"Kasik aku alasan kenapa aku harus percaya sama papa!"
"Apa sikap papa selama ini belum cukup buat menjelaskan semuanya?"
"Kalau Revan bukan adik aku, kenapa papa harus nyembunyiin ini semua dari aku? Kenapa papa baru ngasih tau aku sekarang?" Tanya Darren lengkap dengan tatapan kosongnya. Ia bahkan masih belum mengerti dengan apa yang baru saja Wira katakan. Bukan saudara kandung? Haruskan Darren percaya?
"Karena udah seharusnya kamu tau semuanya. Revan bukan adik kamu, dia cuma anak dari perselingkuhan mama kamu. Dan bodohnya gara - gara dia kita harus kehilangan mama kamu"
Degh
Anak dari hasil perselingkuhan? Bukan saudara kandung? Oh ayolah kenapa dirinya baru mengetahui fakta sebesar ini? Dan kenapa semuanya harus terungkap disaat dirinya mulai bisa menerima Revan? Kenapaaa?
—Revan—
KAMU SEDANG MEMBACA
R E V A N
Fiksi Remaja"Kalau jalan tu pake mata, ngerti kata hati-hati ga sih?" -Darrendra Aldebaran "Ya gimana mau hati hati, orang mata gue aja lo tutupin gini" -Revan Aldebaran Start ; 07 Januari 2021 Finish ; 14 April 2021