55. Rasa Kecewa

4.6K 563 54
                                    

"Papa ngebongin aku? Revan adik kandung aku kan?"

"Kenapa kamu nanya gitu?" Wira berusaha mengalihkan topik. Mengabaikan jika tindakannya bisa saja membuat Darren semakin kecewa nantinya.

"Jawab aku pa, Revan adik kandung aku kan?" Darren kembali bertanya, air matanya bahkan jatuh tanpa bisa ia cegah. Hatinya terluka seiring dengan kebohongan papanya yang kini mulai terbongkar.

"Engga Darren, dia bukan adik kamu!" Wira tetep kekeuh mempertahankan jawabannya.

"Kalau bukan, kenapa bisa golongan darah papa sama Revan itu sama? Semuanya gak mungkin kebetulan kan? Aku udah gede, jadi aku ga sebodoh itu buat papa bohongin" teriak Darren sarat akan kekecewaan. Tidak peduli jika sosok yang baru saja ia teriaki adalah ayahnya sendiri. Menurutnya kali ini Wira benar - benar kelewatan. Dan bodohnya, ia justru percaya dengan semua drama yang Wira perbuat.

"Maafin papa, Darren" lirih Wira seraya menundukkan kepalanya. Saat ini dirinya bahkan takut jika Darren akan memilih untuk meninggalkannya. Karena percaya atau tidak, Darren merupakan kelemahan terbesarnya.

"Maaf? Setelah apa yang papa lakuin ke Revan? Papa ga mikir gimana terlukanya Revan? Papa gak mikir gimana rasanya jadi Revan? Dan bodohnya aku justru percaya sama papa dan ikut ngebenci Revan. Orang yang jelas - jelas adik kandung aku sendiri!"

"Sebenernya Revan salah apa? Kenapa rasanya papa benci banget sama dia? Bahkan disini papa sampai bawa nama mama. Papa bilang mama selingkuh, dan Revan adalah anak dari selingkuhan mama. Apa papa gak mikir kalau secara gak langsung papa juga nyakitin mama? Apa ini yang namanya cinta? Setau aku cinta itu saling menyayangi, bukan menyakiti apalagi sampai buat orang lain menderita!" Ujar Darren lengkap dengan isak tangisnya.

Bohong jika Darren mengatakan dirinya baik - baik saja. Karena setelah apa yang terjadi, ia bahkan ragu jika Revan akan memaafkannya. Kesalahannya begitu besar, dirinya bahkan membenci Revan tanpa ada alasan yang jelas.

"Maafin papa Darren, papa terpaksa bohong sama kamu. Papa tau papa salah, seharusnya kebencian papa sama Revan gak hrus melibatkan kamu sejauh ini!" Lirih Wira yang sukses membuat Darren terkekeh sinis.

"Setelah apa yang papa lakuin— kenapa papa baru nyesel sekarang? Semua udah terlambat pa! Revan bakal benci sama aku. Dan semua ini gak bakal terjadi kalau bukan karena papa!"

"Maafin papa, Darren"

"Aku gak butuh maaf papa. Yang aku butuhin cuma alasan papa! Sebenernya Revan salah apa sama papa? Kenapa papa bisa setega ini sama orang yang jelas - jelas darah daging papa sendiri?"

"Darren...."

"Coba papa bayangin. Kalau misalnya aku yang ada di posisi Revan. Aku mungkin udah menderita banget dan milih nyerah sama keadaan. Tapi sayang, aku bukan Revan pa. Dan aku gak sekuat Revan"

"Kamu gak bakal ninggalin papa kan?"

"Setelah apa yang papa lakuin ke Revan, apa papa pikir aku bakal mau tinggal sama papa lagi?" Tanya Darren yang sukses membuat Wira kembali menjatuhkan air matanya. Sosoknya bahkan menggeleng cepat, tidak setuju dengan apa yang baru saja Darren katakan.

"Jangan tinggalin papa, Darren. Papa cuma punya kamu, dan papa gak bisa hidup tanpa kamu. Seharusnya kamu tau itu"

"Lalu apa kabar dengan Revan? Revan cuma punya kita, tapi papa malah ngusir dia dari rumahnya sendiri? Apa itu yang seorang ayah lakuin ke anaknya?" Teriak Darren lengkap dengan air matanya. Mengabaikan jika saat ini sosok Wira hanya bisa menundukkan kepalanya dalam diam.

"Selama ini Revan selalu menghormati papa. Dia bahkan gak pernah ngelawan sedikitpun setiap kali papa siksa dia. Revan gak pernah ngeluh, Revan gak pernah nunjukin gimana terlukanya dia selama ini. Dan Revan— hikss" Darren bahkan tidak mampu melanjutkan kembali kalimatnya.

"Kalau aku jadi Revan mungkin aku udah benci banget sama papa. Tapi sayang, Revan bukan aku pa. Alih - alih ngebenci papa, dia bahkan selalu manggil papa dalam doanya"

"Sesayang itu, pa. Sesayang itu Revan sama papa! Sedangkan papa? Papa bahkan gak layak disebut sebagai seorang ayah. Papa jahat, papa egois, papa gak punya hati, papa—" teriak Darren sarat akan emosi. Mengabaikan jika saat ini sosok Wira hanya bisa menitikkan air matanya. Jangankan untuk membalas perkataan putranya, saat ini lidahnya bahkan terasa sangat kelu.

Darren terkekeh sinis, "Sekarang aku tau apa alasan Revan ngehindarin kita di taman. Semuanya gara - gara papa kan?"

"Enggak Darren"

"Enggak? Setelah apa yang terjadi papa masih berani bilang engga? Sumpah aku baru tau ternyata selain pembohong yang hebat, papa juga gak mau kalah!"

"Darren....!"

"Waktu itu Revan pingsan. Dan aku rasa itu ada hubungan sama penyakitnya dia yang sekarang" lirih Darren seraya mengingat kembali kejadian beberapa hari yang lalu.

"Sekarang apa papa puas? Revan mungkin gak bakal bisa buka matanya lagi, dan papa? Papa udah terlambat buat minta maaf!" Ujar Darren yang sukses membuat Wira mengalihkan atensinya kearah pergelangan tangannya.

"Tiga jam lagi, aku rasa semuanya udah berakhir disini pa!" Lirih Darren seraya mengusap kasar air matanya. Mengabaikan jika saat ini sosok Wira hanya bisa menatap kosong kearah benda yang melingkar apik di tangannya.

—Revan—

Double UP
Ramein buat Triple :)

R E V A NTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang