73. Percaya Pada Semesta

5.8K 423 1
                                    

Kira - kira sudah dua jam lamanya Darren menunggu, netranya bahkan tidak ia alihkan sedikitpun dari arah pintu dengan tulisan UGD tersebut. Sosoknya terlihat begitu khawatir, ia bahkan tidak peduli jika saat ini seragamnya masih dipenuhi oleh darah milik Revan.

"Darr, mending sekarang lo bersihin dulu seragam lo" ujar Raska seraya mengambil posisi disamping Darren.

Darren menggeleng pelan sebagai jawaban sebelum akhirnya memilih untuk abai. Sedangkan disisi lain, kini para tim medis tengah berusaha untuk menyelamatkan Revan. Tekanan darahnya menurun, seiring dengan kondisinya yang kian memburuk. Sejujurnya Revan tidak boleh terlalu kelelahan, apalagi mengingat jika penyakit yang saat ini Revan idap tidak bisa dikatakan jinak.

Saat ini Revan terlihat masih tenang dalam pejamnya, denyut nadinya kian melemah seiring dengan tekanan darahnya yang kian menurun. Wajah Revan bahkan terlihat sangat pucat, membuat seluruh tim medis menjadi sedikit was - was. Sesuatu yang buruk mungkin saja terjadi, tapi setidaknya untuk saat ini hanya doa yang bisa menyelamatkan.

"Dok detak jantungnya" teriak salah satu perawat yang sukses membuat seluruh pasang mata mengalihkan atensinya kearah mesin elektrokardiograf.

"Implant defibrillator" teriak sang dokter begitu panik. Suasana yang tadinya hening kini berubah menjadi sedikit mencekam. Keringat dingin bahkan membasahi wajah mereka, apalagi mengingat jika operasi bisa gagal kapan saja.

"Sekali lagii"

Deghhh

"Gagal" ujar suster tersebut lengkap dengan helaan nafasnya. Detak jantung Revan bahkan tidak bisa dibaca oleh mesin elektrokardiograf.

"Sekali lagi" tidak mau menyerah, dokter tersebut kembali mengarahkan alat tersebut ke tubuh Revan. Dengan satu hentakan, setidaknya kali ini cukup membuahkan hasil.

Detak jantung Revan kembali, tapi kondisinya bahkan tidak bisa dikatakan dalam keadaan baik. Saat ini Revan masih belum bisa melewati masa kritisnya. Entah kapan laki - laki tersebut akan sadar, yang jelas semua orang merindukan kehadirannya.

Canda tawa dengan segala tingkah konyolnya. Sosok yang selalu tersenyum meskipun cobaan tiada henti mengusiknya. Jadi apa boleh mereka mengatakan jika Revan adalah sosok yang kuat? Sosok yang spesial? Serta sosok yang tak di inginkan kepergiannya.

Ceklekk

Pintu ruangan Revan terbuka, sosok Darren bahkan terlihat berdiri disana. Tatapannya kosong, wajahnya kian pucat serta penampilannya yang masih acak - acaknya. Bohong jika Darren mengatakan dirinya baik - baik saja, karena yang terlihat justru sebaliknya.

Darren tidak pernah baik - baik saja jika semuanya menyangkut Revan. Ibarat kata, Revan adalah nyawa baginya. Jika tidak ada Revan, maka Darren tidak bisa bertahan lagi.

Darren menghela nafas pelan, air matanya jatuh tanpa bisa ia cegah. Langkahnya ia bawa mendekat sebelum akhirnya berhenti tepat disisi adiknya. Netranya tampak mengamati bagaimana sosok tersebut tenang dalam pejamnya. Seakan tidak terusik sedikitpun dengan keadaan sekitar.

"Ree, disaat ada banyak orang kenapa harus lo?"

"Disaat lo udah cukup menderita, kenapa lagi - lagi harus lo yang ngerasain ini?"

"Dari sekian banyak orang jahat di luar sana kenapa harus orang sebaik lo yang menderita kaya gini?"

"Gue tau, gue mungkin gak pantes buat ngomong kaya gini. Tapi lo berhak buat bahagia, Ree"

"Udah cukup lo nanggung semuanya sendiri"

"Kalau boleh, gue bahkan ga keberatan sama sekali kalau harus ngebagi sakit yang lo rasain saat ini"

"Ree, boleh gak sih gue bilang kalau takdir itu gak adil?"

"Kita baru aja ngerasain bahagia, tapi kenapa sekarang takdir malah mau ngerebut lo dari gue?"

"Apa ini karma buat gue? Karma karena dulu gue pernah jahat sama lo?"

"Gue gamau kehilangan lo, Ree. Ayo bertahan, seenggaknya kalau bukan buat gue— please bertahan buat Raska. Bukannya dia sayang banget sama lo? Lo gak pantes ninggalin orang sebaik Raska, Ree"

Darren kembali terisak, tangannya bahkam terangkat untuk mengusap lembut surai adiknya. Wajah pucat tersebut entah kenapa sukses menyayat perasaannya. Dadanya sesak, bahkan lidahnya terasa kelu.

Ternyata begini rasanya hampir kehilangan orang yang paling berharga dalam hidup. Sulit dijabarkan melalui kata, dan hanya bisa ungkapkan oleh rasa.

"Bangunnnn"

"Gue janji, kalau lo bangun gue bakal traktir lo seblak sepuasnya" lirih Darren lengkap dengan air matanya yang kembali membasahi wajah tampannya.

Sedangkan disisinya, kini sosok Raska hanya bisa mengamati dalam diam. Sedari tadi ia berusaha menenangkan Darren. Tapi jujur, jangankan Darren dirinya bahkan tak kalah kacaunya dengan Darren.

Tak ada hubungan darah, tapi Raska bahkan bisa merasakan ikatan yang cukup kuat dengan Revan. "Darren udah, Revan bakal sedih kalau dia tau lo kaya gini"

"Gue takut, Ras. Revan bisa aja ninggalin gue kapan aja. Gue ga siap kalau semua beneran terjadi"

"Revan gamungkin ninggalin kita. Lo kakaknya, seharusnya lo percaya sama dia. Lagipula dia udah janji bakal sembuh kan? Jadi gue harap lo hargain usaha dia, jangan sedih kaya gini. Yang ada lo justru ngebuat dia jadi lebih down, Darr"

"Tap—"

"Cukup berdoa, dan percaya sama semesta. Dia ga bakal mungkin ngecewain kita"

—Revan—

R E V A NTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang