39. Sama - sama Menderita

4.5K 551 44
                                    

"Jauhi putra saya!"

"Aku gak mungkin bisa jauhin Darren, pa"

Wira terkekeh sinis, "Seharusnya kamu gak lupa, kalau keberadaan kamu cuma ngebuat putra saya menderita"

"Pa—"

"Jauhi putra saya, atau saya gak akan segan buat ngelakuin hal yang bakal kamu sesali, Revan"

"Segitu bencinya papa sama aku? Apa gak bisa sedikit aja papa buka hati buat aku?" Ujar Revan seraya menatap sendu kearah Wira.

"Sampai matipun saya gak bakal pernah buka hati buat anak pembawa sial seperti kamu" Wira menegaskan, sedangkan Revan? Laki - laki tersebut hanya bisa tersenyum miris. Seharusnya ia cukup sadar diri bukan?

"Papa boleh benci sama aku. Tapi satuhal yang harus papa tau— aku sayang papa" lirih Revan yang sukses membuat Wira membuang muka begitu saja.

"Dan ya— papa mau aku jauhin Darren kan? Sesuai keinginan papa. Aku bakal jauhin Darren"

"Bagus kalau kamu sadar diri"

"Titip Darren ya, pa. Bilang kalau aku sayang banget sama dia"

Bukannya merasa iba, Wira justru tertawa remeh. Laki - laki tersebut bahkan tidak peduli sama sekali, karena yang terpenting baginya sekarang hanyalah Revan segera pergi dari hidupnya.

"Sekarang lebih baik kamu pergi dari sini!"

"Aku bakal pergi, tapi seenggaknya kasik aku kesempatan sampai Darren sadar, pa" pinta Revan seraya menatap lirih kearah papanya. Berharap laki - laki tersebut mau memberikannya kesempatan.

"Kalau saya bilang pergi ya pergi. Keberadaan kamu disini juga gak akan memperbaiki keadaan Revan"

"Tapi pa—"

"Pergi Revan!!" Teriak Wira yang sukses membuat Revan sedikit tersentak.

Revan mengulum senyum tipisnya, langkahnya ia bawa mendekat kearah Wira. Setidaknya untuk saat ini Revan benar - benar ingin memeluk sosok tersebut. Meskipun bukan ayah kandungnya, Revan tidak dapat membohongi dirinya sendiri kalau ia teramat menyayangi Wira sebagai ayahnya.

"Aku boleh peluk papa?" Tanya Revan lengkap dengan isak tangisnya. Sedangkan Wira? Bukannya mengiyakan, laki - laki tersebut justru mendecih sinis sebelum akhirnya membawa langkahnya pergi dari sana. Meninggalkan Revan yang saat ini hanya bisa menangis dalam diam.

"Oke, gak papa Revan. Lo kuat, dan lo pasti bisa" ujarnya berusaha menguatkan dirinya sendiri.

Mungkin untuk saat ini pergi adalah satu - satunya jalan. Meskipun ragu, sebisa mungkin ia berusaha meyakinkan hatinya. Karena cepat atau lambat dirinya juga harus pergi bukan?. Revan menghela nafas pelan, netranya ia alihkan kearah pintu ruangan Darren.

"Cepet sembuh ya, Darr. Gue sayang lo" lirih Revan lengkap dengan senyum tipisnya. Lagi, untuk kesekian kalinya air matanya kembali jatuh. Tapi kali ini ia buru - buru menepisnya.

"Gue pergi, Darr" ujar Darren sebelum akhirnya meninggalkan tempat tersebut.

***

Sedangkan disisi lain, saat ini Wira hanya bisa menatap sendu kearah putranya. Ia tidak pernah membayangkan jika Darren akan berada di posisi sekarang. Putranya kritis, dan semua tidak akan terjadi kalau Darren tidak berhubungan lagi dengan Revan. Kehadiran Revan di keluarganya benar - benar membawa pengaruh buruk. Setelah apa yang ia lakukan pada istrinya, kini lagi - lagi sosok tersebut mengulangnya pada Darren.

Rasa bencinya pada Revan benar - benar sukses menghilangkan hati nuraninya. Ia bahkan tidak peduli lagi jika Revan adalah darah dagingnya. Karena yang terpenting baginya sekarang hanyalah perihal balas dendam. Revan pantas mendapatkan semuanya, dan Revan pantas untuk menderita.

Kadang Wira tidak habis pikir, kenapa dirinya bisa memiliki putra seperti Revan. Sejak anak tersebut lahir kedunia, segalanya berubah. Perusahaannya bangkrut, istrinya meninggal dan sekarang? Dirinya hampir kehilangan Darren.

"Darren, papa kangen" lirih Wira seraya menggenggam erat tangan putranya. Sedangkan saat ini? Sosok Darren terlihat tenang dalam tidurnya. Matanya mungkin masih terpejam, tapi Wira yakin jika Darren akan mendengarkannya.

"Mau sampai kapan kamu tidur kaya gini? Kamu gak kangen papa hm?"

"Papa kangen denger suara kamu, papa kangen dengerin omelan kamu Darr"

"Kamu inget gak? Biasanya jam segini kamu selalu ngerengek minta di temenin main PS sama papa" lirih Wira seraya terkekeh pelan. Tangannya bahkan terangkat untuk mengusap lembut surai putranya.

"Seharusnya dari awal kamu dengerin papa, jangan berhubungan lagi sama Revan. Sekarang kamu lihat kan? Kamu gini gara - gara dia, Darren"

"Papa kira setelah kamu tau kalau Revan bukan adik kandung kamu, kamu bakal ngejauhin dia Darr. Tapi papa salah, ternyata ikatan kalian cukup susah buat papa pisahin"

"Papa tau kalau kamu sayang banget sama Revan, tapi kamu juga harus tau kalau keluarga kita menderita gara - gara siapa Darr. Jadi maafin papa, sekali lagi papa harus pisahin kalian"

"Papa gak bakal biarin Revan deketin kamu lagi. Papa cuma takut kalau kejadian ini keulang lagi. Papa takut kehilangan kamu, Darren" lirih Wira lengkap dengan air matanya yang jatuh tanpa bisa ia cegah. Mengabaikan jika saat ini Darren juga menangis dalam tidurnya.

Wira mungkin menderita, tapi ia lupa jika saat ini ia bukan satu - satunya orang yang menderita.

"Cepet sembuh ya, disini papa bakal selalu nungguin kamu" ujar Wira sebelum akhirnya mengecup pelan kening putranya.

—Revan—

R E V A NTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang