26. Direnggut Semesta

6.1K 679 32
                                    

Hari ini mungkin adalah hari yang paling bahagia menurut Revan. Karena setelah sekian lama akhirnya Darren kembali. Sosok yang dulunya tidak pernah melihatnya, kini beralih menjadi sosok yang paling peduli.

"Lo mau sarapan dulu ga?" Tanya Darren seraya mengalihkan atensinya kearah Revan. Sedangkan Revan? Laki - laki tersebut hanya bisa menggeleng pelan sebagai jawaban.

"Gue ga laper"

"Obatnya belum di minum kan?"

"Belum"

"Kalau gitu kita sarapan dulu" ujar Darren seraya menepikan mobilnya pada sebuah warung yang berada di pinggir jalan.

"Darren ini udah siang, mana sempet kita makan. Tar yang ada kita telat" Revan berusaha mengingatkan, sedangkan Darren? Laki - laki tersebut memilih untuk abai.

"Lo tunggu disini, gue keluar bentar" ujar Darren sebelum akhirnya beranjak keluar dari mobil. Meninggalkan Revan yang hanya bisa menghela nafas pelan. Seperti yang ia katakan sebelumnya, Darren benar - benar keras kepala.

Butuh waktu sekitar lima menit bagi Revan untuk menunggu kedatangan sang kakak. Sampai akhirnya sosok Darren datang lengkap dengan satu kantong plastik berisi makanan di dalamnya.

"Seharusnya kita gak usah berhenti disini, gak ada makanan"

"Ya terus itu apaan?" Tanya Revan seraya menunjuk kantong plastik yang berada di genggaman sang kakak.

"Roti sama air putih, sementara lo makan ini dulu ya" ujar Darren yang sukses membuat Revan mengulum senyum tipisnya.

"Gausah senyum - senyum lo" ujar Darren seraya memutar bola matanya malas. Sedangkan Revan? Bukannya takut, laki - laki tersebut justru terkekeh kecil.

"Lo ngingetin gue sama mama, Darr"

Darren tersenyum miris sebelum akhirnya memilih untuk mengalihkan atensinya, berusaha sekuat mungkin untuk menghindari topik yang saat ini Revan buat. Revan yang menyadari satu hal pun langsung menghentikan aksinya, dan berakhir dengan menghela nafasnya pelan.

"Maaf"

"Kita jalan sekarang" ujar Darren sebelum akhirnya kembali melajukan mobilnya. Mengabaikan Revan yang saat ini hanya bisa menghela nafas pelan. Revan merutuki dirinya sendiri, tidak seharusnya ia membahas hal yang yang begitu sensitif bagi kakaknya.

***

Darren membawa langkahnya turun lebih dulu dari mobil, sedangkan Revan? Laki - laki tersebut tampak mengekor di belakangnya. Suasana seketika menjadi canggung, sebab Revan takut jika Darren kembali marah padanya. Tapi sayang, semua persepsinya terbantahkan. Setidaknya tepat setelah sosok Darren berjalan menghampirnya.

"Badan lo masih panas banget, Ree" ujar Darren seraya mengecek kembali suhu adiknya.

"Pulang sekolah kita kerumah sakit ya?"

"Ngapain? Gak usah. Lagian cuma demam biasa doang"

Darren menghela nafas pelan, "Kepala lo masih pusing?"

"Dikitt sih"

"Kita pulang ya? Lo istirahat di rumah aja" ujar Darren polos yang sukses membuat Revan menjatuhkan rahangnya tidak percaya.

"Gila lo, yakali kita balik lagi"

"Ya terus gimana? Lo ga mungkin bisa sekolah kalau lagi sakit kaya gini, Ree"

"Darren, lo dengerin gue ya. Gue tu cuma demam biasa, jugaan di kelas gue cuma tinggal duduk sambil dengerin materi doang kan? Jadi lo ga usah khawatir, gue bisa jaga diri" Revan berusaha memberikan pengertian, berharap dengan cara seperti itu Darren tidak khawatir lagi.

"Yaudah kalau gitu, tapi inget istirahat nanti jangan lupa minum obat"

"Iya Darren" balas Revan sebelum akhirnya mengikuti langkah Darren menuju kelas. Keduanya tampak berjalan berdampingan, dengan Revan yang sengaja memasukkan kedua tangannya kedalam jaket. Sedangkan Darren? Laki - laki tersebut memilih untuk fokus dan mengabaikan beberapa pasang mata yang menatap kagum kearahnya.

"Darr" panggil Revan yang sukses membuat Darren menghentikan langkahnya seraya mengernyit bingung.

"Lo duluan aja, gue mau ke kamar mandi bentar"

"Mau gue anter?"

"Gak lah, dikira gue bocil kali ya"

Darren mengangguk pelan sebelum akhirnya berlalu pergi dari sana. Meninggalkan Revan yang hanya bisa menghela nafas lega, bukan apa - apa hanya saja Revan tidak ingin jika Darren sampai mengetahui jika dirinya sedang tidak baik - baik saja.

Ia mungkin pintar menyembunyikan semuanya, hanya saja ia tidak sekuat itu untuk menahan rasa sakitnya seorang diri. Revan meringis pelan seraya memegangi kepalanya. Rasa pening mulai menguasai, belum lagi rasa sesak di dadanya yang kembali menyiksa. Semuanya seolah - olah telah di rancang oleh semesta untuk menyiksanya.

Revan membawa langkah pelannya menuju salah satu kursi kosong yang berada di koridor sekolah, karena jika boleh jujur— kakinya sudah tidak kuat lagi untuk menopang tubuhnya. Revan tampak kepayahan, dan semuanya tidak luput dari pandangan semua orang.

"Revan? Lo gak papa?" Tanya seseorang yang langsung di jawab gelengan pelan oleh Revan. Ia hanya tidak ingin semua orang tau kelemahannya. Kelemahan yang merupakan sebuah fakta menyakitkan untuknya.

"Lo yakin? Muka lo pucet banget"

"Gue gapapa"

"Gue panggilin Darren ya?" Tanya orang tersebut, sedangkan Revan sotak menggelengkan kepalanya cepat.

"Jangan panggil Darren"

"Kenapa? Lo berantem lagi sama dia?"

"Enggak"

"Terus kenapa?"

"Gue cuma gamau ngerepotin dia, jadi please jangan kasih tau Darren ya?" Pinta Revan lengkap dengan suara lirihnya. Karena percaya atau tidak kesadarannya hampir terenggut sekarang.

"Lo mau nyembunyiin apa lagi dari gue?"

Deghh

Revan tertegun, tepat setelah ia menyadari kedatangan seseorang. Darren? Kenapa laki - laki tersebut masih disini? Atau apa mungkin ada yang memberitahu Darren tentang keadaannya?

"Darr—" Revan terjatuh, tepat setelah kesadarannya di renggut paksa oleh semesta. Semuanya gelap, suara yang tadinya terdengar samar kita telah berubah menjadi sebuah dengungan. Revan tak sadarkan diri—

—Revan—

R E V A NTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang