66. Khawatir

4.3K 436 5
                                    

Revan membawa langkahnya menuju kelas, senyuman tipis bahkan masih terpatri jelas di wajahnya. Bisa dibilang jika saat ini ia cukup bahagia, tapi sayang— karena semuanya tidak berlangsung lama. Setidaknya tepat setelah sosok Vito menghadang jalannya.

"Gue kira lo udah mati, eh taunya masih nafas juga" ujar Vito lengkap dengan nada remehnya. Mengabaikan jika saat ini sosok Revan hanya bisa memutar bola matanya malas. Revan bahkan tidak tau alasan kenapa Vito sangat membencinya, sosok tersebut bahkan tidak akan segan untuk mencari masalah dengannya.

"Kalau gue masih hidup kenapa? Gasuka?"

Vito terkekeh sebelum akhirnya membawa langkahnya mendekat kearah Revan, tangannya bahkan terangkat untuk menepuk pelan pundak Revan. "Sayangnya gue lebih seneng lo mati daripada hidup"

Revan tertawa, entah kenapa sosok dihadapannya sukses membuat Revan gemas. Revan memutar bola matanya malas sebelum akhirnya membisikkan sesuatu tepat di telinga Vito. "Tapi gue rasa lo lebih butuh gue deh. Lumayan buat jadi temen war"

Revan mendorong kasar tubuh Vito agar menjauh darinya. Sosoknya bahkan terlihat meniup tangannya, seolah - olah bersentuhan dengan Vito akan membuat dirinya terkontaminasi oleh kuman.

Merasa tak terima,  Vito justru kembali mendorong sosok dihadapannya. Tangannya sengaja ia gunakan untuk mengunci pergerakan Revan.

Revan mengepalkan tangannya kuat - kuat, tak habis pikir dengan jalan pikiran sosok dihadapannya.

"Lo denger ya? Gue gak bakal lepasin lo gitu aja" ujar Vito seraya menepuk pelan pipi Revan. Mengabaikan jika saat ini sosok Revan hanya bisa menatap tajam kearahnya.

"Gue gak takut" balas Revan yang hanya dijawab kekehan sinis oleh Vito.

Vito membawa langkahnya pergi darisana, meninggalkan Revan yang hanya bisa menghela nafasnya pelan. Revan terduduk, setidaknya tepat setelah rasa pening kembali menyerangnya.

Satuhal yang paling Revan benci adalah menjadi lemah. Bukannya ingin mengeluh, hanya saja ia lelah jika harus bertahan dalam kondisi seperti ini. Ia tau jika dirinya harus sembuh, mengingat kini semua orang tengah menaruh harap padanya. Revan tidak ingin membuat mereka kecewa, tapi rasanya sangat sulit untuk terlihat kuat.

Revan memejam, berusaha menetralisir rasa pening di kepalanya. Wajahnya kian memucat seiring dengan nafasnya yang terdengar tidak beraturan. Sejujurnya ia kewalahan, tapi semuanya tidak berlangsung lama. Setidaknya tepat setelah sosok Darren datang dan merengkuh tubuhnya.

"Are u okay?" Bisik Darren seraya menghapus keringat yang kini mulai membasahi wajah adiknya. Terlihat jelas jika saat ini Darren benar - benar khawatir.

Revan tersenyum sebelum akhirnya mengangguk pelan sebagai jawaban. Karena mau bagaimanapun, ia tidak ingin membuat Darren khawatir.

"Cuma pusing dikit"

"Kita ke UKS ya?"

Revan menggeleng pelan sebelum akhirnya berhambur kepelukan sang kakak. "Cukup kaya gini aja, Darr"

Darren tersenyum, tangannya bahkan terangkat untuk membalas pelukan adiknya. "Jangan buat gue khawatir, Ree"

"Gue gapapa, Darren"

"Muka lo pucet"

"Gapapa"

"Gue takut lo kenapa - napa"

Revan tersenyum, netranya terlihat menatap sosok dihadapannya dengan sendu. "Percaya sama gue, gak ada hal yang perlu lo takutin"

Darren mengusap lembut rambut adiknya, sosoknya tersenyum sebelum akhirnya memilih untuk merogoh tasnya. "Lo minum ya?"  Darren menyerahkan minuman yang memang sengaja ia bawa kepada Revan.

"Sejak kapan lo bawa minuman ke sekolah?"

"Sejak gue tau kalau lo bakal kaya gini kapan aja"

Revan menghela nafas pelan, "Gue nyusahin banget ya, Darr"

"Lo gak pernah nyusahin gue sama sekali, Ree. Jadi stop berpikiran kaya gitu"

"Tap—"

"Ga ada tapi - tapian"

Revan tersenyum sebelum akhirnya memilih menyandarkan kepalanya pada bahu Darren, "Lo gapapa bolos jam pelajaran?"

"Gapapa, yang penting gue bisa jagain lo"

"Tapi lo bisa aja dimarahin guru"

"Mereka pasti ngerti, Ree"

Lagi, untuk yang kesekian kalinya Revan terlihat menghela nafas pelan. Meskipun merasa tak enak, tapi dirinya juga tidak bisa berbohong jika saat ini ia memang membutuhkan sosok Darren.

Revan memejam seiring dengan kepalanya yang masih bersandar pada bahu kakaknya. Situasi sekolah cukup sepi mengingat jika saat ini jam pelajaran tengah berlangsung. Keduanya tampak nyaman dalam diam, Revan yang tertidur sedangkan Darren yang entah memikirkan apa.

Darren menarik tangan Revan dan mulai menggengamnya. Bohong jika Darren mengatakan dirinya baik - baik saja, karena sebenarnya ia justru sangat khawatir.

Darren takut jika ia akan kehilangan Revan untuk yang kedua kalinya. Jadi jika boleh Darren berharap, tolong jangan ambil Revan. Ijinkan Darren untuk memperbaiki semua kesalahannya. Ijinkan Revan bahagia, karena selama ini sosoknya terlalu banyak memendam duka.

"Jangan sakit - sakit lagi, lo buat gue khawatir Ree" lirih Darren seraya mengusap lembut rambut adiknya. Mengabaikan jika saat ini sosok Revan hanya bisa mengulum senyum tipisnya.

Revan tidak sepenuhnya tidur.

Revan

R E V A NTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang