16. Tidak Berhak

5.6K 662 17
                                    

Revan membawa langkah pelannya menyusuri koridor sekolah, sosoknya terlihat begitu santai seolah - olah tidak pernah terjadi sesuatu sebelumnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Revan membawa langkah pelannya menyusuri koridor sekolah, sosoknya terlihat begitu santai seolah - olah tidak pernah terjadi sesuatu sebelumnya. Senyum manisnya selalu ia gunakan untuk menyapa orang - orang di sekitarnya, tidak peduli jika kondisi hatinya masih jauh dari kata baik.

Revan memang pandai berpura - pura, bahkan mau sehancur apapun dirinya— ia tetap tersenyum. Bersikap seolah - olah semuanya baik - baik saja. Meskipun ia sendiri tau jika semuanya tidak semudah membalikkan telapak tangan.

"Van"

Revan menghentikan langkahnya, netranya terlihat menelisik kesegela arah, berusaha mencari tau darimana sumber suara tersebut berasal.

"Gimana kemarin? Lo aman kan? Gak di marahin kan? Sumpah gue khawatir banget gara - gara lo gak bales chat gue semalem" ceroscos Vano, tepat setelah laki - laki tersebut sampai di hadapan Revan.

"Hp gue mati kemarin"

"Tapi lo beneran gak di marahin kan? Sumpah gue khawatir banget anying"

Revan tersenyum, tangannya terangkat untuk menepuk pelan pundak sahabatnya. "Gak usah alay, gue gak papa. Dan gue juga gak kena marah"

Vano menyipitkan matanya, berusaha mencari kebohongan di wajah Revan, namun hasilnya nihil. Karena laki - laki dihadapannya terlihat begitu tenang, seolah - olah memang tidak ada masalah yang perlu di khawatirkan.

"Oke gue percaya" balas Vano yang sukses membuat Revan tersenyum tipis, cukup merasa lega jika sahabatnya tersebut sama sekali tidak menaruh curiga padanya.

Bukannya ingin berbohong, hanya saja Revan memang tidak ingin melibatkan orang - orang terdekatnya untuk masuk kedalam masalah yang sedang ia hadapi.

"Adrian mana?"

"Di kelas, lagi ngurusin piket"

"Ohhh"

"Lo udah makan belum? Gue laper nih, pengen makan" ujar Vano seraya menepuk pelan perutnya.

"Lo laper?"

"Banget"

"Gue ada sih daging, tapi daging buaya, itupun gak sengaja liat tadi, kayaknya mati kelindes deh, soalnya udah penyet gitu, tapi gatau juga— itu beneran buaya apa kadal, soalnya mirip banget njir" ujar Revan yang sukses membuat Vano mengusap dadanya pelan.

"Gue mau - mau aja sih makan tu daging, tapi takut aja gitu"

"Takut?"

"Takut jadi manusia kadal" ujar Vano yang sukses membuat Revan tertawa lepas.

"Sebelum lo makan tu daging, muka lo juga udah mirip kadal Van" ledek Revan lengkap dengan tawanya, mengabaikan jika saat ini sosok Vano hanya bisa mempoutkan bibirnya kesal.

Oh ayolah, ini masih pagi. Jadi tolong, jangan menguji kesabaran Vano dengan kesintingan Revan.

"Ngomong sekali lagi, sepatu gue melayang Van" Vano memperingati seraya mengambil ancang - ancang untuk melepaskan sepatunya.

Revan terkekeh seraya mengangkat kedua tangannya keudara, berharap jika Vano mengurungkan niatnya, karena sangat tidak etis bukan jika jidatnya benjol gara - gara sepatu Vano.

"Yaudah kalau gitu gue traktir makan gimana?" Revan menawari.

"Traktir apaan dulu nih?"

"Makanan setan" jawab Revan polos, sedangkan Vano? Laki - laki tersebut terlihat berusaha mati - matian untuk menahan emosinya.

"Kayaknya lo emang mau nyari mati sama gue deh, Van"

"Isss, jangan salah paham dulu dong lo. Makanan setan yang gue maksud itu kayak, mie setan, cilok tuyul, ramen iblis sama es buto ijo" ujar Revan santai seraya menyebutkan satu persatu makanan setan handalannya.

"Kenapa gak sekalian aja seblak roh halus?"

"Boleh juga, gue keep buat usaha nenek gue nanti"

"Nenek? Lo punya nenek?"

"Ada, nenek lampir sama nenek sihir"

"Setan lo"

"Bukannya kita emang setan?" Tanya Revan yang sukses membuat Vano benar - benar ingin membunuh Revan saat itu juga.

Sedangkan tidak jauh dari posisi mereka berada, sosok Darren tengah mengamati dari jauh. Tatapannya datar, namun terlihat jelas jika Darren masih menaruh rasa peduli pada adiknya.

Mau sebenci apapun Darren, ia juga tidak bisa melupakan fakta jika mereka itu sedarah. Rasa khawatir, rasa ingin melindungi, bahkan rasa sayangpun masih bisa ia rasakan ketika dirinya melihat Revan. Hanya saja, semuanya terlupakan ketika rasa benci mulai mendominasi.

"Keliatannya lo benci banget sama adik lo" ujar seseorang yang sukses membuat Darren mengalihkan atensinya. Darren tersenyum sinis, tepat setelah ia mengetahui siapa pemilik dari suara tersebut, Vito.

"Bukan urusan lo"

"Kita kerjasama gimana?" Tanya Vito dengan begitu santainya, tidak peduli jika saat ini sosok Darren terlihat seperti menuntut sebuah penjelasan.

"Kayaknya kalau kita habisin Revan, bakal seru deh"

"Sedikit aja lo sentuh dia, lo berhadapan sama gue" Darren memperingati lengkap dengan nada tajamnya, sedangkan Vito hanya bisa terkekeh kecil menanggapinya.

"Kenapa? Kalau lo lupa, lo gak ada hak buat ngatur - ngatur gue"

"Dan lo juga gak punya hak buat nyelakain Revan"

Vito tertawa remeh, tidak berhak katanya? Oh ayolah, apakah selama ini Darren tidak sadar dengan kesalahannya?

"Kalau kakak aja bisa nyakitin, kenapa gue yang bukan siapa - siapanya harus peduli? Ya, selama orang yang gue incer itu musuh gue, lo juga gak berhak buat ikut campur" Vito menegaskan sebelum akhirnya berlalu dari sana. Meninggalkan Darren yang hanya bisa mengepalkan kedua tangannya erat - erat.

—Revan—

Sengaja update malem biar tau siapa aja yang sehati sama gua🤣

R E V A NTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang