42. Sebuah Kepercayaan

4.1K 606 30
                                    

Detik konstan jarum jam seolah mengisi keheningan yang sempat terjadi. Sosok Darren bahkan masih enggan untuk sekedar membuka matanya, sedangkan Wira? Laki - laki tersebut tampak setia menemani. Kira - kira sudah tiga hari lamanya setelah Darren dinyatakan koma oleh pihak rumah sakit.

"Pagi kesayangannya papa"

"Sampai kapan mau tidur hm? Papa kangen" lirih Wira seraya mengamati bagaimana mata tersebut terpejam. Wira bahkan tidak tau, entah kapan Darren akan membuka matanya kembali.

"P—pa...."

"Darren? Kamu sadar?" Ujar Wira lengkap dengan senyumannya. Tangannya bahkan terangkat untuk mengusap lembut rambut putranya. Ia bahkan tidak bisa menjabarkan perasaannya saat ini.

"Re-revan mana pa?"

"Kamu baru sadar, seharusnya kamu pikirin diri kamu sendiri. Gak usah mikirin orang lain, Darren"

"Tapi Revan bukan orang lain, pa. Re-van adik aku" Wira menghela nafas pelan, berusaha menghindari topik yang coba Darren buat.

"Revan gak papa kan pa? Revan baik - baik aja kan?"

"Kita gak usah bahas Revan dulu bisa?" Ujar Wira yang sukses membuat Darren memejamkan matanya perlahan. Entah kenapa ia merasa jika sesuatu yang buruk telah terjadi.

"Papa cukup jawab pertanyaan aku sekali, setelah itu aku gak bakal nanya lagi—"

"—Revan dimana?"

"Papa bahkan gak tau Revan dimana"

"Maksud papa?"

"Papa gak ngusir Revan kan?" Lanjut Darren yang sukses membuat Wira terkekeh pelan.

"Kalau papa mau ngusir dia, udah dari dulu papa usir"

"Revan kabur?"

"Papa gak tau, bahkan disaat kondisi kamu kaya gini dia sama sekali gak ada niatan buat jenguk kamu, Darr"

"Gakk, gak mungkin. Aku tau Revan, dia gak mungkin gitu"

"Gak mungkin? Tapi kamu liat kan? Disaat kamu sadar pun dia gak ada disini"

"Papa gak lagi bohongin aku kan?"

"Buat apa papa bohongin kamu, Darr?"

"Revan kabur? Tapi kenapa? Bahkan sebelumnya hubungan kita baik - baik aja" ujar Darren seraya menatap kosong kearah pintu dihadapannya.

"Revan pergi itu keinginan dia, seharusnya kamu biarin aja gitu. Jangan ikut campur terlalu banyak Darren"

"Aku gak masalah dia pergi asal itu bisa buat dia bahagia pa, tapi yang aku bingungin disini tu cuma satu. Kenapa?"

"Kamu baru siuman, jadi jangan mikirin hal - hal yang gak penting, Darr"

"Revan itu penting buat aku, pa"

"Intinya papa cuma gak mau kalau kamu sampe jatuh sakit lagi, Darren"

"Papa khawatir" lanjut Wira yang sukses membuat Darren sedikit merasa bersalah.

"Maafin aku ya pa"

"Kamu gak salah sayang" ujar Wira seraya menarik Darren kedalam pelukannya. Sedangkan Darren? Sosok tersebut hanya bisa menghela nafasnya pelan.

"Ree, lo dimana?" Batinnya

***
Revan membawa langkahnya menyusuri anak tangga. Ini adalah hari pertamanya bekerja, jadi tak bisa di pungkiri jika saat ini Revan benar - benar bersemangat.

"Pagi om pelittt"

"Sarapan dulu, habis itu kita langsung ke toko"

"Om aja deh, aku gak biasa makan pagi soalnya"

"Makan, atau om bakal marah"

Revan mengerucutkan bibirnya kesal sebelum akhirnya membawa langkahnya mendekat kearah Fahri. "Sekarang aku tau kalau hobby om ternyata suka ngancem, ya?"

"Makannya nurutt"

"Iya iya, aku nurutt om pelitku yang jelek tapi baik hati dan tidak sombong"

"Tolong, yang bagian jeleknya itu di delete"

"Gak boleh, habisnya om kan emang jelek. Udah gitu valid no debat lagi" ujar Revan lengkap dengan kekehannya. Mengabaikan jika saat ini sosok Fahri hanya bisa menghela nafasnya pelan.

Revan memang aneh, kadang sosoknya juga sangat sulit untuk di tebak. Revan itu misterius, tapi Fahri berani jamin jika Revan adalah sosok yang baik.

"Kamu mau pake selai coklat apa kacang?" Tanya Fahri seraya mengalihkan atensinya kearah Revan. Sedangkan Revan? Laki - laki tersebut terlihat memperhatikan sebelum akhirnya tersenyum tipis sebagai jawaban.

"Coklat aja deh om, aku lagi gak boleh makan kacang soalnya"

"Kenapa? Alergi ya?"

"Aku sakit hehe"

"Sakit?" Tanya Fahri seraya mengernyitkan alisnya bingung. Bagaimana mungkin sosok tersebut sakit disaat fisiknya bisa dikatakan sehat?

Revan tersenyum miris, sorot matanya bisa menebak jika saat ini laki - laki dihadapannya tengah bingung. Mungkin banyak orang yang mengira dirinya sehat, karena pada kenyataannya Revan terlalu pintar berpura - pura.

"Gak enak banget jadi orang penyakitan kaya aku om"

"Kamu sakit apa?"

"Leukemia sama kelainan jantung om—" Fahri tampak terkejut, netranya terlihat mengamati sosok Revan yang berusaha kuat untuk mempertahankan senyumannya.

"Om pasti gak nyangka kan? Sama aku juga" balas Revan dengan santainya.

"Dan kamu lebih milih buat nyembunyiin ini semua?"

"Aku cuma gak mau ngerepotin semua orang om"

"Tapi seharusnya kamu juga gak lupa kalau penyakit kamu it—"

"Bukannya semua orang bakal mati ya om? Siap gak siap ya harus siap. Takdir udah di tentuin, jadi tugas kita cuma ngejalanin aja kan?" Balas Revan yang sukses membuat Fahri kagum bukan main. Tapi disisi lain dirinya juga tidak rela jika harus melihat Revan menanggung semuanya seorang diri.

"Kamu pasti sembuh, Rev. Saya bakal bantuin kamu"

"Om— aku gak mau di kasianin"

"Om bukannya kasihan, tapi om peduli sama kamu"

"Seharusnya aku gak bilang sama om" ujar Revan seraya mempoutkan bibirnya lucu. Sedangkan Fahri? Laki - laki tersebut hanya bisa mengulum senyum tipisnya.

"Makasi karena kamu udah percaya sama om"

—Revan—

R E V A NTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang