28. Sebatas Kasihan

5.4K 642 29
                                    

Revan tampak mengalihkan atensinya kearah pergelangan tangannya, lebih tepatnya pada benda yang melingkar apik disana. Revan mengernyit, kira - kira sudah delapan jam semenjak kepergian Darren. Tapi kenapa laki - laki tersebut tak kunjung datang?

Revan berusaha menghubungi kakaknya, tapi alih - alih mendapat jawaban, yang ada hanya suara operator yang terdengar. Revan menghela nafas pelan, berusaha berpikir positif. Mungkin saja Darren sedang sibuk bukan?

Revan mengangguk pelan sebelum akhirnya tersenyum kecil. Sekelebat bayangan tentang sikap manis Darren akhir - akhir ini kembali terngiang. Dan hal tersebut sudah cukup membuat Revan merasakan kembali dunianya. Dunia yang awalnya hanya abu - abu, kini sudah mulai menemukan warnanya. Bahkan rasanya sekarang Revan lebih bersemangat untuk mempertahankan semuanya.

Setidaknya sekarang ia kembali mendapat pegangannya, ia tidak sendiri lagi, dan mungkin tidak akan pernah merasakan luka lagi. Karena apa? Karena Darren tidak akan pernah membiarkannya terluka. Setidaknya untuk saat ini itulah yang ada di benak Revan. Ia bahkan tidak tau jika badai mungkin bisa menerjangnya kapan saja.

Ceklek

Revan sumringah, tepat setelah netranya melihat kedatangan Darren. Tanpa pikir panjang sosoknya langsung merentangkan kedua tangannya, berharap bisa mendapat pelukan hangat dari sang kakak. Tapi alih - alih memeluknya, Darren justru kembali mengabaikannya.

Revan sempat mengernyit bingung sebelum akhirnya kembali tersenyum, seharusnya ia tidak lupa jika Darren memang tidak suka hal - hal yang berbau lebay bukan? Ya meskipun baginya pelukan itu wajar, tidak lebay sama sekali.

"Kenapa baru dateng? Gue udah nungguin lo dari tadi. Oh iya roti gandum gue mana?" Tanya Revan masih dengan rasa antusiasnya, mengabaikan jika saat ini Darren hanya bisa menghela nafas pelannya.

"Gak ada"

Revan mengernyit, rasa kecewa mulai menyelimuti hatinya. Tapi meskipun begitu sosoknya tak ingin memperlihatkannya pada Darren. Berbagai asumsi ia bayangkan di benaknya, mulai dari Darren yang tidak sempat membeli atau mungkin saking sibuknya laki - laki tersebut sampai lupa membelikannya roti gandum.

"Oh yaudah gapapa" balas Revan masih dengan senyuman manisnya. Sedangkan Darren? Laki - laki tersebut terlihat memutar bola matanya malas sebelum akhirnya membawa langkahnya menuju sofa.

Revan yang sepertinya menyadari sesuatu lebih memilih untuk diam. Ia tidak bodoh untuk mengetahui jika ada sesuatu yang coba Darren sembunyikan.

"Lo lagi ada masalah, Darr?"

"Darr?"

"Lo denger gue kan?"

"LO BISA DIEM GAK SIH?" Sarkas Darren yang sukses membuat Revan sedikit tersentak. Netranya bahkan menatap lirih kearah sang kakak, berusaha mencari tau apa yang sebenarnya terjadi. Tapi nihil, Revan bahkan tidak bisa menebaknya sama sekali.

"Maaf" lirih Revan pada akhirnya.

Darren beranjak dari duduknya, "Biaya rumah sakit udah gue tebus. Sekarang gue harus pergi"

"Mau kemana? Lo baru aja nyampe sini, Darr"

"Bukan urusan lo"

"Tapi nanti lo kesini lagi kan?"

"Gak usah manja. Lo pikir lo siapa? Jangan ngelunjak"

"Ya tap—"

"Apa?"

"Lo kenapa sih, Darr? Perasaan tadi sebelum lo pergi kita masih baik - baik aja. Tapi sekarang kenapa lo berubah lagi?"

"Berubah? Kalau lo lupa ini emang sikap gue"

"Ngga, Darr. Ini bukan lo. Lo lagi ada masalah ya? Ayo cerita, jangan gini. Sikap lo bikin gue sedih, Darr"

"Lo pikir gue peduli?"

"Gue kira lo udah bisa nerima gue lagi. Gue kira lo udah maafin gue. Setelah apa yang lo lakuin ke gue akhir akhir ini. Jujur, gue bahagia banget Darr" lirih Revan seraya menatap sendu kearah Darren.

"Saat gue sakit, lo satu satunya orang yang pling khawatir. Saat semua orang ngebenci gue, lo satu satunya orang yang paling peduli
Tapi sekarang kenapa lo berubah, Darr? Gue salah apa sama lo?" Lanjut Revan seraya berusaha menahan mati - matian air matanya agar tidak jatuh juga. Ia hanya tidak ingin terlihat lemah di hadapan Darren, tapi sayang sepertinya semesta tak ingin bekerja sama dengannya. Karena sekarang? Air matanya jatuh tanpa bisa ia cegah sebelumnya.

"Seharusnya lo tau kalau semua yang gue lakuin ke lo gak lebih dari rasa kasian, Ree"

"Cuma sebatas rasa kasihan?"

"Seharusnya lo ngaca, orang kaya lo tu gak pantes buat bahagia, Ree"

"Kenapa? Seharusnya kalau lo benci sama gue, lo gak usah pake segala bersikp baik sama gue Darr, karna secara gak langsung lo udah matahin hati gue darr. Gue kira selama ini lo tulus.  Tapi apa? Cuma sebatas rasa kasihan?" Tanya Revan lengkap dengan nada remehnya. Percaya atau tidak Darren berhasil melukai perasaannya untuk yang kesekian kalinya.

"Lo pikir setelah apa yang udah lo lakuin ke mama, bakal semudah itu gue maafin? Engga Re, gue gak mungkin bisa maafin pembunuh mama gue"

Revan tersenyum miris, tangannya terangkat untuk menghapus jejak air matanya. "Lo pikir ini semua kemauan gue? Engga, Darr. Kalaupun gue dikasih kesempatan buat milih, lebih baik gue yang mati bukan mama" jawab Revan sarat akan rasa kelecewaan.

"KALAU GITU KENAPA LO GAK MATI AJA, RE? Hidup gue mungkin bakal jauh lebih tenang kalau gak ada lo" Darren meninggikan suaranya, tidak peduli jika saat ini dirinya sedang berada di rumah sakit. Yang terpenting kekesalannya terlampiaskan.

"Segitu pengennya lo gue mati?"

"Bahkan kalau ada kata selain pengen, gue mungkin udah ngomong itu sekarang" Darren merendahkan intonasi suaranya, netranya terlihat menatap kosong kearah lantai. Entah apa yang saat ini sosok itu pikirian.

"As you wish, Darr. Gue bakal pergi, dan gue janji kalau hari ini adalah hari terakhir gue nyusahin lo"

"Terserah" ujar Darren sebelum akhirnya memilih membawa langkahnya pergi dari sana. Meninggalkan Revan yang saat ini hanya bisa menangis dalam diam. Seharusnya selama ini dirinya tidak usah berharap terlalu lebih. Karena pada kenyataannya Darren tidak akan pernah peduli padanya.

"Inget Ree, Darren cuma kasian bukan peduli. Gak usah berharap lebih"

—Revan—

R E V A NTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang