48. Rasa Penasaran

4.6K 553 14
                                    

"Raska, Sebenernya apa yang terjadi? Revan gapapa kan?" Tanya Fahri tepat setelah dirinya sampai di rumah sakit. Sosoknya terlihat begitu khawatir seiring dengan deru nafasnya yang memburu. Sederhananya Fahri hanya tidak ingin  sesuatu yang buruk terjadi pada Revan.

"Tadi aku gak sengaja ketemu Om Wira"

"Wira?"

"Om Wira ternyata papanya Revan, pa" lirih Raska yang sukses membuat Fahri kaget bukan main.

"Kamu ga lagi bohongin papa kan?" Tanya Fahri yang langsung di jawab gelengan pelan oleh Raska.

"Buat apa aku bohongin papa?"  Lirih Raska seraya memejamkan matanya sejenak, mengabaikan jika saat ini sosok Fahri hanya bisa mengacak rambutnya frustasi. Dari sekian banyak orang di luar sana, kenapa harus Wira?

"Kita harus pisahin Revan dari Om Wira pa" ujar Raska yang sukses membuat Fahri mengernyitkan alisnya bingung.

"Revan udah cukup menderita karena keluarganya, dan aku gak mau kalau Revan lebih menderita lagi kalau dia harus balik ke kesana" lirih Raska pelan, sedangkan Fahri? Laki - laki tersebut hanya bisa mengangguk setuju sebagai jawaban.

"Papa juga gak mau kalau Revan sampai kenapa - napa" lirih Fahri lengkap dengan nada sendunya. Karena percaya atau tidak, Fahri bahkan sudah menganggap Revan sebagai anaknya sendiri.

Raska tersenyum sebelum akhirnya kembali mengalihkan atensinya kearah ruangan dimana Revan sedang di periksa. Kira - kira sudah tiga puluh menit lamanya laki - laki tersebut di tangani, tapi tak ada satupun dokter atau perawat yang memberitahunya kejelasan tentang kondisi Revan. Raska benar - benar khawatir, mengingat bagaiamana dingin dan pucatnya wajah Revan tadi.

Ceklek

Dapat di lihat jika pintu ruangan tersebut mulai terbuka, beberapa suster dan perawat mulai keluar dari ruangan tersebut. Meninggalkan dokter Satria yang saat ini hanya bisa tersenyum kearah Fahri dan juga Raska.

"Dok, gimana keadaan putra saya?" Tanya Fahri lengkap dengan nada khawatirnya. Sosoknya bahkan membawa langkahnya mendekat diikuti dengan Raska di belakangnya.

"Mohon maaf sebelumnya, apa bapak ini keluarganya?" Tanya dokter tersebut yang sukses membuat Fahri terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk cepat sebagai jawaban.

"Iya saya ayahnya"

"Kondisi Revan saat ini baik - baik saja, tapi untuk menghindari hal - hal yang tidak di inginkan kami dari pihak rumah sakit menganjurkan agar saudara Revan di rawat sementara disini sampai keadaannya benar - benar membaik"

"Lakukan apapun itu asal putra saya bisa sembuh, dok"

"Seharusnya pasien sudah mulai menjalankan kemotrapi, mengingat jika sel kangker ditubuhnya semakin membahayakan. Tap—"

"Tapi apa dok?"

"Semuanya terlalu beresiko, apalagi mengingat jika saudara Revan memiliki penyakit bawaan sejak kecil" lanjut dokter Satria pada akhirnya. Sedangkan kini? Baik Raska maupun Fahri hanya bisa menundukkan kepalanya pelan. Mereka bahkan tidak tau harus melakukan apalagi untuk kesembuhan Revan.

"Terus sekarang kita harus gimana dok? Revan bisa sembuh kan?" Tanya Raska lengkap dengan air matanya yang jatuh tanpa bisa ia cegah sebelumnya.

"Transplantasi jantung"

"Maksud dokter?"

"Sebelum melakukan kemotrapi, kita harus segera menemukan donor jantung yang cocok untuk saudara Revan"

"Donor jantung?" Tanya Fahri yang langsung di jawab anggukan pelan oleh dokter di hadapannya.

"Untuk sekarang hanya itu satu - satunya cara agar pasien bisa mengikuti kemotrapi"

"Tapi Revan bisa sembuh kan, dok?"

"Jika tuhan berkehendak, saudara Revan pasti akan sembuh"

"Paa... kita harus cari donor dimana?" Lirih Raska yang sukses membuat Fahri memikirkan hal yang sama. Ia juga bingung, mengingat tidak akan ada satu orangpun yang bersedia memberikan jantungnya secara cuma - cuma.

***

Sedangkan disisi lain, kini sosok Wira hanya bisa menatap kosong kearah berkas - berkas di hadapannya. Entah kenapa perasaannya tiba - tiba tidak tenang. Apalagi setelah mengingat kejadian beberapa jam lalu.

Raska, laki - laki tersebut terlihat begitu familiar dimatanya. Rasanya mereka sempat bertemu sebelumya, tapi Wira bahkan lupa dimana. Entah kenapa Wira merasa jika sosok tersebut mengetahui banyak hal tentang dirinya. Laki - laki tersebut bahkan tidak takut sedikitpun ketika menatap matanya. Dan matanya? Entah kenapa mata tersebut sukses mengingatkannys pada seseorang. Seseorang yang bahkan tidak mau Wira sebut namanya.

"Sebenarnya siapa anak itu? Dan lagi— kenapa dia bisa sedekat itu dengan Revan?" Lirihnya pelan, mengabaikan jika saat ini sosok Darren tengah berdiri di ambang pintu ruangannya.

"Paa" panggil Darren yang sukses membuat Wira sedikit tersentak.

"Darren? Sini sayang"

"Papa lagi mikirin apa?" Tanya Darren seraya mengamati wajah ayahnya. Sedangkan Wira? Laki - laki tersebut hanya bisa menunjukkan senyuman khasnya.

"Cuma masalah kerjaan doang. Bye the way tumben kamu nyamperin papa kesini, kenapa?"

"Sebenernya aku mau nanya sesuatu sama papa. Tapi gajadi, keliatannya papa juga lagi capek banget"

Wira terkekeh, tangannya bahkan terangkat untuk mengusak pelan rambut putranya. "Emang kamu mau nanya apa hm?"

"Papa kenal sama Raska?"

Degh

—Revan—

R E V A NTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang